27

374 82 3
                                    

***

"Sebenarnya, aku tidak menganggapnya sebagai seorang wanita. Dia gadis yang baik, tapi aku tidak menyukainya. Kami terus bertemu karena dia sahabat sepupuku, aku tidak bisa bersikap kasar pada sahabat sepupuku, karena itu aku berusaha bersikap baik padanya. Tapi aku rasa dia salah paham. Hhh... Aku tidak tahu bagaimana harus memperlakukannya sekarang," suara seorang yang familiar terdengar samar-samar di telinga Lisa.

Lantas gadis itu menoleh, melihat Park Bogum yang baru saja masuk ke dalam restoran sembari menelepon. Pria itu kelihatan terburu-buru, mengatakan kalau ia sudah memesan tiga loyang pizza untuk dibawa pulang. Ia datang untuk mengambil tiga loyang pizza pesanannya, tanpa menoleh ke sekeliling restoran, tanpa menyadari keberadaan Lisa di sana.

"Aku sudah menolaknya, dengan hati-hati, tapi sepertinya dia belum mengerti," susul Bogum, yang kemudian berterima kasih pada si pelayan restoran dan pergi begitu saja setelah membayar pizza pesanannya.

Beberapa detik setelah pintu tertutup, Lisa masih membeku di tempatnya. Menoleh ke arah pintu, melihat pintu restoran yang tertutup. Isi kepalanya mendadak kosong, tubuhnya pun terasa begitu. Hatinya terluka, terasa begitu sakit hingga ia ingin menangis karena perih. "Hhh... Kenapa tidak pernah ada gerimis dalam hidupku? Hujannya selalu datang tiba-tiba dan langsung deras," keluh gadis itu, lantas meraih gelasnya, menenggak isinya sampai habis.

"Kami pesan segelas bir lagi," kata Jiyong, kali ini pada pelayan yang datang mengantarkan pizza mereka. "Makan lah, meski sakit hati, kau tetap harus makan," susul pria itu, mengambilkan sepotong pizza untuk Lisa. Ia tarik tangan gadis itu agar melepaskan gelas kosongnya dan mulai memegang pizzanya sendiri.

"Sebentar-"

"Tidak," tahan Jiyong. Ia bangkit dari duduknya, menahan Lisa yang akan berdiri, mungkin ingin menghampiri Park Bogum yang seharusnya sudah pergi jauh dengan mobilnya.

Untuk memastikan Lisa tidak pergi, Jiyong bergerak pindah. Meja itu untuk dua orang, dan karenanya Jiyong harus menarik kursinya agar ia bisa duduk di sebelah Lisa. Masih sembari memegangi lengan gadis itu, menahannya agar tidak pergi, Jiyong mengambil lagi potongan pizza yang tadi ia berikan pada Lisa.

"Jangan menemuinya sekarang. Kau bisa pergi setelah makan, kau harus punya tenaga kalau ingin memarahinya, iya kan? Sekarang makan, ayo gigit pizzanya," bujuk Jiyong, menyodorkan sudut lancip dari potongan pizza itu ke depan mulut Lisa, memaksa gadis itu untuk mulai menggigit dan menelan pizzanya. "Wahh... Gadis pintar, ayo makan lagi," susulnya setelah ia berhasil membuat Lisa mengunyah sedikit pizzanya.

"Ish! Aku makan sendiri," keluh gadis itu, yang merebut pizza di tangan Jiyong sebab pria itu sekarang sedang mencekoki mulutnya dengan pizza, bukan menyuapinya. Lisa belum menelan pizza di mulutnya tapi Jiyong yang tidak sabaran sudah menyuruhnya mengambil gigitan lainnya.

Sama seperti Lisa, Jiyong menghabiskan sepotong pizza. Pria itu masih duduk di sebelah Lisa ketika pelayan datang mengantarkan segelas bir tambahan. Keduanya akan mulai mengambil potongan yang kedua, namun Lisa menatap tangannya. "Sampai kapan oppa akan memegangi tanganku? Aku tidak akan kabur," kata Lisa.

"Ah? Sungguh tidak akan kabur?" tanya Jiyong, membatalkan rencananya untuk menakan lagi sepotong pizza dan memilih untuk menatap Lisa, tepat di wajahnya. "Aku sudah sangat lelah hari ini dan tidak akan bisa mengatasi kekacauan yang mungkin terjadi karenamu, sungguh kau tidak akan pergi menemuinya sekarang?" ia kembali menanyakan hal yang sama.

"Karena seseorang aku kelelahan sejak kemarin, aku tidak punya tenaga untuk marah," jawabnya sembari melirik pria yang membuatnya kelelahan.

"Syukurlah," kata Jiyong. Kini dilepaskannya tangan gadis itu, juga ditariknya kursinya kembali ke tempat semula. Mereka kembali duduk berhadapan, kembali menjaga jarak agar tidak terlalu dekat.

Jiyong selesai makan sejak potong kelimanya. Ini adalah kali pertama ia makan pizza sebanyak itu dan semua ini terjadi karena Lisa memesan dua loyang pizza. Pria itu sudah selesai makan, bahkan untuk menenggak sisa cola tambahan yang ia pesan, perutnya sudah tidak sanggup lagi. Namun Lisa masih bisa mengigit sedikit demi sedikit pizza di depannya.

Dengan kepala yang ia tumpu menggunakan tangannya, gadis itu menggigit pizzanya. Helaan nafasnya terdengar keras, seolah ia ingin semua orang tahu kalau dirinya sedang patah hati sekarang. Satu gigitan, dua gigitan, tiga gigitan, diselingi dengan seteguk bir, kemudian ia mengigit lagi pizzanya.

"Sejak kapan makanmu jadi banyak begini?" tanya Jiyong. "Saat kita masih berkencan, kau hanya bisa makan tiga potong pizza. Itu pun sudah terhitung banyak," komentarnya, yang tanpa ia sadari mulai menonton acara mukbang membosankan sebab bintangnya tidak bicara.

"Sebanyak apapun aku makan, rasanya tetap kosong," balas Lisa sembari menghela nafasnya disusul satu gigitan pizza lagi. Hampir tiga jam mereka duduk di sana, menghabiskan dua loyang pizza dan lima gelas minuman.

"Kau mabuk? Hanya karena tiga gelas bir? Kenapa tiba-tiba jadi sentimental begitu? Menakutkan," komentarnya.

"Oppa, aku mau pulang saja," katanya, yang kemudian berdiri. Masih sembari memegangi sepotong pizza di tangannya, gadis itu beranjak keluar.

Jiyong menghela nafasnya. Ia masih harus membayar semua makanan itu, sedang Lisa sudah melangkah duluan tanpa membawa kunci mobil dan handphonenya. Entah gadis itu benar-benar mabuk atau sudah kehilangan akalnya. Masih ada dua potong pizza di atas meja dan Jiyong meminta pelayan restoran itu untuk membungkusnya. Ia merasa, dirinya perlu sesuatu untuk membuat Lisa sibuk selama perjalanan pulang nanti. Gadis itu mungkin akan menangis kalau sudah tidak punya apapun untuk menyumpal mulutnya, Jiyong enggan berurusan dengan air mata orang lain malam ini.

"Masuk lah ke mobilku, aku akan mengantarmu pulang," seru Jiyong, yang akhirnya melangkah menghampiri Lisa sembari membawa bungkusan pizza tadi.

Lisa yang sebelumnya tengah berjongkok di sebelah mobilnya, menatap pada ban mobilnya sembari mengigit pizzanya lantas menoleh. Ia lihat Jiyong yang melangkah ke arahnya, kemudian mengulurkan tangannya. Meminta Jiyong membantunya untuk berdiri. Pria itu akhirnya menuntun Lisa untuk masuk ke mobilnya. Mengatakan kalau ia akan mengantar mobil Lisa nanti, setelah ia mengantar Lisa pulang.

"Aku bisa-"

"Duduk dan makan saja, aku akan mengantarmu pulang," potong Jiyong, yang kemudian menyalakan mobilnya, mengeluarkan mobilnya dari sana dan mengantar Lisa pulang.

Perjalanan dari restoran itu ke rumah Lisa hanya berjarak lima belas menit dengan mobil. Terlebih dimalam yang sudah mulai larut dan sepi ini. Tiba di rumah gadis itu, Jiyong menyuruh Lisa turun. Ia pun memarkir mobilnya di depan rumah Lisa, dan ikut turun untuk memesan taksi.

"Masuklah," suruh Jiyong, yang kemudian mengembalikan handphone Lisa namun tidak memberikan kunci mobilnya. "Akan aku antar mobilmu ke sini, jangan tidur, tunggu sebentar," katanya dan Lisa menganggukan kepalanya.

"Padahal tidak perlu dikembalikan ke sini, oppa bisa membawa mobilku, toh besok pagi oppa tetap akan ke sini," gumam Lisa, yang sengaja bersandar pada pagar rumahnya. Jiyong menyuruhnya menunggu.

"Tidak mau," geleng Jiyong. "Mobilmu mengerikan, kau tidak pernah merawatnya," tolak pria itu. Ia lantas membuka pintu gerbang rumah lawan bicaranya. "Tunggu di dalam, aku akan segera kembali," katanya, bersamaan dengan taksi pesanannya yang datang.

"Tsk... Kau selalu punya cara yang merepotkan," gerutu Lisa, membawa pizza serta handphonenya masuk ke dalam rumah.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Jiyong kembali. Ia datang dengan mobil Lisa, memarkirkan mobil itu ke dalam garasi sedang si pemilik rumahnya masih duduk di beranda. Di undak-undakan anak tangga dekat pintu masuk. "Kenapa kau menunggu di sana? Sudah aku bilang untuk menunggu di dalam," kata Jiyong, yang menghampiri Lisa untuk mengembalikan kunci mobil gadis itu.

Lisa memperhatikan pintu garasinya yang perlahan-lahan kembali tertutup, lantas menoleh untuk menerima kunci mobilnya. "Oppa akan pergi sekarang?"

"Tentu saja, aku juga harus tidur."

"Kemana kau akan pergi? Tidur di kantor lagi?"

"Hotel."

"Sudah memesan kamarnya?"

"Akan aku lakukan begitu sampai di sana."

"Kalau begitu, kau mau menginap? Aku kesepian, Jennie tidak ada di sini," tawar Lisa, tentu membuat Jiyong kehilangan kata-kata.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang