***
Sepotong tiramisu cake, segelas kopi dan sebuah plester mengejutkan Lisa malam ini. Ia tengah makan sendirian di restoran dekat stasiun TV, makan malam yang terlambat ketika Jiyong tiba-tiba muncul, masuk ke dalam restoran dan memberinya bingkisan kecil itu. Gadis itu mengangkat kepalanya, melihat Jiyong yang berdiri di depannya sembari membaca menu di dinding. "Bibi, aku pesan semangkuk sup di sini," katanya yang mengambil tempat tepat di depan Lisa tanpa meminta izin lebih dulu.
"Apa ini?" bingung Lisa, setelah ia menelan sesendok sup yang belum sempat ia kunyah.
"Aku membelinya di depan," kata Jiyong, memberikan informasi yang sudah Lisa ketahui. Di depan restoran itu ada sebuah cafe yang juga menjual beberapa jenis kue, dari kotak cake-nya saja, Lisa tahu dimana Jiyong membeli bingkisan itu.
"Untuk apa?"
"Untuk diberikan padamu?"
"Padahal oppa tidak perlu melakukannya," gumam Lisa. "Tapi terima kasih, akan memakannya nanti," susulnya, yang masih harus menghabiskan semangkuk supnya. "Bagaimana oppa tahu aku di sini?" tanyanya sekali lagi.
"Donghyun memberitahuku," tenang Jiyong, yang kemudian berterima kasih atas sup yang baru saja di sajikan untuknya. Beberapa menit yang lalu pria itu berpapasan dengan Seo Donghyun, asisten Lisa di toilet. Karena ingin pada kopi yang Lisa berikan padanya beberapa hari lalu, Jiyong bertanya pada Donghyun— "apa Sutradara Jung sudah pulang?"— lantas ia diberitahu kalau Lisa baru saja pergi makan malam ke restoran sup di depan stasiun TV.
"Ahh..." Lisa mengangguk-anggukan kepalanya setelah mendengar jawaban singkat itu. Gadis itu melanjutkan makan malamnya, begitu juga dengan Jiyong yang sekarang mulai menikmati supnya. Lantas, ditengah-tengah acara makan yang sepi itu, Lisa bertanya, "apa tidak apa-apa kalau oppa makan di sini?" katanya.
"Kenapa?" tanya Jiyong, ia angkat wajahnya untuk menatap Lisa. Sebelah alisnya terangkat karena pertanyaan itu, mencoba menebak kemana arah pembicaraan Lisa. Apa gadis itu khawatir akan digosipkan berkencan dengannya? Atau yang lainnya?
"Penggemarnya Kim Namjoon," bisik Lisa, khawatir orang-orang di sebelah mereka akan mendengarnya. "Sudah tiga hari mereka protes di depan stasiun TV," katanya kemudian.
"Kau takut mereka mengganggumu karena melihatmu makan denganku?" tanya Jiyong dan Lisa tersedak, buru-buru ia gelengkan kepalanya, terbatuk-batuk kemudian menerima segelas air mineral dari Jiyong yang ada di depannya. "Justru bagus kalau mereka mengganggumu, aku jadi bisa menuntut mereka," katanya kemudian, setelah Lisa selesai dengan batuknya.
"Aku tahu oppa gila tapi sejak kapan oppa jadi separah ini?" heran Lisa kemudian. "Aku bukannya takut akan diganggu, aku sedang mengkhawatirkanmu sekarang. Kenapa oppa membuatku terlihat buruk?" keluhnya.
"Khawatirkan saja acaramu, tidak perlu mengkhawatirkanku," santai Sutradara Kwon. Tidak peduli pada wajah sebal lawan bicaranya.
"Oppa benar-benar menyebalkan," komentar Lisa, yang langsung kehilangan nafsu makannya setelah Jiyong menyinggung tentang rating acaranya. "Kita benar-benar tidak cocok," keluhnya yang kemudian bangkit, meninggalkan selembar uang lima puluh ribu di atas meja dan meraih kopi serta kuenya.
"Terima kasih makanannya," santai Jiyong, menganggap kalau uang lima puluh ribu yang Lisa tinggalkan bisa ia gunakan untuk membayar dua porsi sup mereka. Seolah Lisa yang tengah mentraktirnya sekarang.
"Tsk... Siapa yang mau mentraktirmu? Gajimu lebih besar, kau yang bayar," ketus Lisa, berbalik untuk mengambil lagi uang lima puluh ribu yang ia tinggalkan tadi. "Bibi, orang ini yang akan membayar makananku, terima kasih!" serunya kemudian, memaksakan dirinya mengukir senyum singkat untuk Jiyong, lantas melenggang pergi meninggalkan restoran sup itu.
Masih dimalam yang sama, Lisa melangkah pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu berjalan meninggalkan stasiun TV, melewati pintu utama dan berbelok di trotoar. Ini belum tengah malam, masih ada waktu satu setengah jam sebelum tengah malam. Sembari memasang earphone-nya, gadis itu berjalan ke rumahnya. Jarak rumahnya tidak seberapa jauh dari kantornya, hanya sekitar satu jam kalau gadis itu berjalan kaki.
Meski begitu, di malam yang sudah larut ini Lisa tidak akan berjalan kaki. Gadis itu berdiri di halte bus, menunggu taksi yang mungkin lewat. Lama gadis itu menunggu, sampai sebuah sedan hitam berhenti di depannya. "Hei! Nona! Menunggu taksi?" tanya si pengemudi yang menurunkan jendela mobilnya.
"Tidak, aku menunggu kekasihku," jawab Lisa, harus menunduk untuk menatap si pengemudi.
"Kurasa dia tidak akan datang, masuklah," suruhnya, yang kemudian terkekeh. "Mungkin dia belum lahir, atau masih jadi suami orang lain," candanya, dengan kekehan renyah khasnya.
"Sialan," cibir Lisa, ikut terkekeh. Ia kemudian membuka pintu sedan hitam itu, duduk di sebelah wanita lain yang mengemudi. "Kenapa kau membawa mobil oppamu?" tanyanya kemudian. "Kau hampir membuatku salah paham," protesnya.
"Kenapa? Kau tidak senang bertemu denganku? Kau berharap Bogum oppa yang akan menjemputmu? Heish... Jadi sia-sia aku mengambil jalan memutar?" keluh Kim Jennie, si pengemudi sedan hitam itu.
"Hm..." Lisa mengangguk. "Aku berharap Bogum oppa yang menjemputku, kenapa? Kau cemburu?" susulnya dan Jennie berdecak, mengatakan kalau dirinya tidak perlu cemburu karena dia sudah punya kekasih.
"Aku tidak membutuhkanmu lagi, sayang," kata Jennie, sengaja menggoda teman dekatnya.
"Kalau begitu menginap saja di rumah kekasihmu, kenapa kau ke rumahku?" kata Lisa, sengaja membuat nada bicaranya terdengar kesal.
Kim Jennie mengangkat bahunya, mengatakan kalau sebenarnya ia ingin menginap di rumah Park Seojun namun mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin terlihat terlalu mudah untuk Seojun. Ia tidak ingin terlihat terlalu bergantung pada kekasihnya. Aku juga punya teman, aku punya orang lain selain dirimu, aku bukan protagonis yang tidak punya siapapun dan harus selalu bergantung padamu— begitu kesan yang ingin Jennie buat.
"Kenapa tidak menginap di rumah Bogum oppa?" tanya Lisa selanjutnya.
"Kau gila? Bogum oppa tinggal dengan orangtuanya," kata Jennie. "Aku hanya akan menginap satu minggu, kau sungguh tidak suka aku tinggal di rumahmu?"
"Aku hanya penasaran," balas Lisa. "Kenapa kau tidak mau tinggal bersama paman, bibi dan sepupumu. Padahal kalau kau tinggal di sana, aku jadi punya alasan untuk berkunjung," ocehnya sembari menyisir rambutnya dengan jemarinya.
"Lalu mereka akan memberitahu orangtuaku kalau apartemenku dibobol pencuri," cerita Jennie. "Dan cerita selanjutnya, kau pasti sudah bisa menebaknya. Kembali ke New Zealand dan jadi petani di sana," gadis itu menggerutu masih sembari mengemudikan mobilnya. "Oh iya, aku dengar kau bertemu dengan Bogum oppa beberapa hari lalu, apa yang kalian bicarakan? Dia memberitahu tentang pekerjaannya?"
"Jangan bertanya," Lisa kini berubah gugup. "Aku sudah berjanji padanya untuk tidak memberitahumu," katanya, namun Jennie tidak menyerah semudah itu. Gadis itu melirik, memberi tatapan menyelidiknya, menuntut jawaban dari teman dekat yang sudah lama menyukai kakak sepupunya itu. "Heish... Aku benar-benar tidak bisa memberitahumu," kata Lisa, menoleh ke jendela, melihat jalanan yang mereka lalui demi menghindari lirikan menyelidik itu. "Intinya, ada hal-hal yang tidak ia sukai di projeknya kali ini tapi aku sudah bicara dengannya, aku sudah menenangkannya dan masalahnya sudah selesai, the end," tegas Lisa, berharap Jennie tidak akan mendesaknya untuk informasi yang lebih detail.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...