39

370 84 4
                                    

***

Untuk satu episode berdurasi satu jam, mereka perlu mengeditnya setidaknya dua hari. Masih di hari yang sama, Lisa yang baru tiba di kantor bergegas pergi ke mejanya. Ia dan timnya mulai mengerjakan laporan keuangan acara mereka. Sedang Jiyong dan timnya, yang bertanggung jawab untuk mengedit tiap episodenya. Mereka sebisa mungkin membagi tugas, membagi beban demi hasil yang lebih efisien.

Sampai siang, gadis itu duduk di mejanya. Mengerjakan ini dan itu bersama Donghyun juga timnya yang lain. "Hari ini Sutradara Kwon ke kantor?" tanya Lisa, pada Donghyun yang baru kembali setelah mengambil kotak makan siang dari kekasihnya di lobby.

"Ya, dia ada di ruang editor," kata Donghyun, yang sempat mengintip ke ruang editor setelah kembali dari lobby. Sandara dan Jisoo menggoda Donghyun, meledek pria yang baru kali ini berkencan dan dimanjakan kekasihnya. Lisa pun terkekeh melihat wajah malu-malu asistennya itu, namun belum sempat ia berkomentar, seseorang sudah lebih dulu meneleponnya. Seseorang yang nomor teleponnya tidak ia simpan sebelumnya.

Orang yang meneleponnya ternyata Hakim Kwon, ayah Jiyong. Dengan sopan pria itu menyapa Lisa, mengatakan juga kalau ia berada di sekitaran stasiun TV. Ia ingin menemui Lisa.

"Ya! Aku keluar sebentar, kalian makan siang duluan saja, tidak perlu menungguku," katanya, yang bergegas turun sebab Hakim Kwon sudah menunggu di lobby stasiun TV itu.

Gadis itu ingin memberitahu Jiyong tentang kedatangan ayahnya di sana. Ia menghampiri Jiyong ke ruang editor namun hanya ada Hanbin di sana. "Mana Sutradara Kwon?" tanya Lisa, mengatakan juga kalau tadi Donghyun melihat Jiyong ada di sana.

"Sutradara Kwon sudah pergi, baru saja," jawab Hanbin.

"Kemana?"

"Menemui Direktur Dong," jawabnya, sama sekali tidak kelihatan khawatir.

"Ah... Baiklah, katakan padanya untuk meneleponku kalau dia kembali," pinta Lisa, yang kemudian meninggalkan Hanbin sendirian namun baru dua langkah gadis itu pergi, ia kembali lagi. "Oh iya! Kalau hasil editingnya sudah selesai, tolong beritahu aku juga. Aku harus melihatnya lebih dulu, jangan sampai ada episode yang bermasalah lagi," pesannya sekali lagi.

Kali ini Lisa benar-benar pergi. Ia melangkah meninggalkan lantai tempatnya bekerja, masuk ke dalam lift dan berlari kecil menghampiri ayah Jiyong di cafe, di lobby itu. Ia membungkukan sedikit tubuhnya, menyapa ayah Jiyong dengan sopan sembari melepaskan gulungan lengannya. Menyembunyikan coretan pena yang ada di lengannya.

"Apa itu tattoo?" tanya ayah Jiyong, yang kebetulan sempat melihat coretan itu.

"Oh? Bukan," geleng Lisa dengan senyum canggung khasnya. "Hanya catatan, karena tadi pagi handphoneku tertinggal di mobil," katanya.

Tuan Kwon mengangguk, terlihat tenang karena Lisa tidak mentattoo tubuhnya seperti yang Jiyong lakukan. Setelahnya mereka duduk di cafe itu, Lisa memesankan dua gelas kopi untuk mereka kemudian menerima bingkisan berisi tas jinjing dari ayah Jiyong.

"Aku tidak tahu seleramu, tapi penjaga tokonya bilang itu model terbaru di toko mereka. Kau bisa menukarnya kalau tidak suka," kata ayah Jiyong, sedikit khawatir Lisa tidak akan menyukai tas jinjing hitam yang ia berikan.

Tentu Lisa menggelengkan kepalanya. Mengatakan kalau ia sangat menyukai tas pemberiannya. Lisa berterima kasih atas pemberian itu, namun ia juga merasa perlu mengetahui alasannya diberi tas. Ternyata, setelah sedikit berbincang, ayah Jiyong ingin memberi Lisa hadiah. Ia ingin berterima kasih karena Lisa sudah banyak membantunya sejak hari upacara pemakaman itu.

Ia bercerita, kalau saat mendengar kabar duka itu, kepalanya tiba-tiba kosong. Ia tidak bisa melihat apapun selain kegelapan, seolah dunianya baru saja runtuh. "Meski bukan putri kandungku, aku sangat menyayanginya. Ibunya adalah cinta pertamaku, dulu sekali sebelum aku menikah dan bercerai dengan ibunya Jiyong. Dan Rose terlihat begitu mirip dengan ibunya, dia membuatku menyanginya seperti putriku sendiri," cerita pria paruh baya itu. Yang mau tidak mau harus Lisa dengarkan sembari tersenyum.

Lisa menanggapi cerita itu dengan kata-kata manis yang bisa ia keluarkan. Mengatakan kalau ia mengagumi cinta yang tuan Kwon berikan pada istri keduanya, juga berharap suatu saat nanti ia bisa mendapatkan cinta yang seperti itu. Sembari minum kopi, keduanya berbincang cukup lama. Sampai Lisa yang awalnya khawatir karena Jiyong tidak kunjung menghubunginya, perlahan-lahan melupakan pria itu. Ia mulai tertarik pada pembicaraan mereka, tanpa khawatir Jiyong akan merasa risih karenanya.

"Sebenarnya aku sedikit sedih kemarin," kata Tuan Kwon tiba-tiba. "Kenapa kau tidak bilang kalau kita pernah bertemu? Jiyong pernah mengajakmu ke rumah, iya kan? Maaf karena aku tidak mengingatmu, baru kemarin Jiyong memberitahuku, kalau dia pernah mengajakmu datang ke rumah," ceritanya lagi dan kali ini Lisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mengaku kalau ia malu memperkenalkan dirinya sebagai mantan pacar Jiyong. "Kenapa? Kau malu karena pernah berkencan dengannya?"

"Tidak," Lisa langsung menggeleng. "Aku belum siap dengan pertanyaan selanjutnya," susulnya. "Kenapa waktu itu kalian putus?— aku malu kalau ditanya begitu," jawabnya.

"Aku tahu," secara mengejutkan pria paruh baya itu berkomentar. Bilang kalau ia tahu alasan mereka putus, juga mengatakan kalau Jiyong langsung setuju pergi wajib militer setelah putus. "Dia sedih sekali setelah kau meninggalkannya, lalu kebetulan surat pemberitahuan wajib militernya datang dan dia berangkat begitu saja, tanpa berfikir sama sekali. Meski kelihatannya tangguh, putraku suka sekali melarikan diri," ceritanya. "Saat itu aku pikir dia sudah dewasa, dia tahu tanggung jawabnya, dia tahu apa yang harus dilakukannya, tapi Rose memberitahuku kalau kakaknya sedang melarikan diri setelah dicampakan, Rose juga memberitahuku alasan kakaknya dicampakan, dia merasa bersalah setelahnya," katanya.

Lisa menganggukan kepalanya, mengatakan kalau kesalahpahaman itu sudah lama mereka selesaikan. Rose sudah memberitahunya, juga meminta maaf padanya. Meski begitu, bagi Lisa, kembali berkencan bukanlah jawaban yang tepat saat itu. Jadi tanpa disadari, hubungan mereka berakhir seperti sekarang, rekan kerja yang kebetulan mengerjakan sebuah projek bersama.

Obrolan itu menyenangkan, namun Tuan Kwon harus kembali bekerja. Ada sidang yang perlu ia hadiri beberapa jam lagi. Lalu, setelah berpamitan dan mengantar Tuan Kwon sampai ke mobilnya, Lisa kembali masuk ke dalam lift bersama tas barunya. Pintu lift terbuka setelah beberapa menit lalu Lisa menekan tombolnya. Dari dalam sana, Jiyong keluar.

"Oppa akan pergi?" tegur Lisa, batal masuk ke dalam lift yang tadi ia tunggu.

"Makan siang," tenang Jiyong, berdiri di luar lift, menarik Lisa ke dinding agar mereka tidak menghalangi jalan orang lain. "Kau sudah makan siang?" tanyanya dan Lisa mengangguk, ia makan siang di cafe tadi, menikmati roti isi daging dan kopi sebab Tuan Kwon tidak ingin menu lainnya.

"Aku baru dapat hadiah," pamer Lisa, menunjukan tas belanja berisi tas yang tadi ayahnya berikan. "Dari ayahmu," susulnya, sukses membuat Jiyong tertarik.

"Kau makan siang bersamanya?"

"Hm... Iya," angguk Lisa. "Dan diberi hadiah," ulangnya, ingin Jiyong menanggapi setidaknya memuji tas yang baru saja ia dapatkan dari ayahnya.

"Apa yang kalian bicarakan? Kenapa tidak memberitahuku kalau dia datang?"

"Banyak," santai Lisa. "Hanbin tidak menyampaikan pesanku? Lihat, aku dapat hadiah," ulangnya namun sayang, Jiyong tidak peduli dengan hadiah yang Lisa terima. Jiyong hanya peduli pada banyaknya obrolan yang mungkin Lisa dan ayahnya bicarakan.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang