26

344 75 0
                                    

***

Syuting sudah berlangsung seperempat jalan dan sejauh ini tidak ada masalah. Jadi, Lisa berbisik pada Donghyun yang duduk disebelahnya, di lantai sudut studio, bersama Lisa mendampingi syuting itu. "Aku akan keluar sebentar," bisik Lisa, berpamitan untuk kemudian pergi ke ruang monitor.

Di dalam ruang monitor itu, Jiyong tengah menonton hasil rekaman mereka lewat monitor-monitor yang sudah terpasang. Sembari mengigit toast ketiganya, pria itu fokus menonton pembicaraan para juri yang kebingungan memilih enam peserta terbaik berdasarkan penilaian mereka.

"Ya! Sutradara Kwon, kau masih disini? Kau tidak pergi menemui Direkrut Dong?" tegur Lisa, mengambil duduk di sofa, merebahkan punggungnya yang lelah setelah lama duduk di atas kursi sutradara.

"Sudah," tenang Jiyong.

"Lalu hasilnya?"

"Mungkin potong gaji tiga bulan," susulnya santai, sebab hanya ada Chaerin dan Hanbin di dalam ruangan itu— mereka yang sedang mempersiapkan syuting selanjutnya.

"Siapa? Semua orang atau hanya kau?"

"Hanya aku."

"Whoa... Kau baik-baik saja, Sutradara Kwon?" tanya Lisa, keheranan dengan respon santai lawan bicaranya itu.

"Hanya potong gaji, tidak lebih menakutkan daripada dimaki-maki sepanjang malam," balas Jiyong, membuat Lisa menutup rapat mulutnya, dibarengi gerakan tangan terkepal seolah ingin meninju lawan bicaranya. "Kapan video IU diputar?" tanya Jiyong, kali ini pada Hanbin, yang bersama Donghyun menyortir video-video audisi.

"Setelah istirahat nanti," jawab Hanbin, sembari membaca catatannya sendiri, mencocokannya dengan layar yang Jiyong tonton.

"Pastikan salah satu dari mereka memilih IU," tenangnya.

"Ya! Kwon Jiyong! Kenapa-" Lisa membuka mulutnya, akan memprotes.

"Ikuti saja kata-kataku, aku jamin ratingnya akan tinggi. Rating paling tinggi dari semua acara yang pernah kau kerjakan," potong Jiyong, menutup mulut Lisa dengan ucapannya. "Kembali lah ke sana, kau hanya perlu memastikan salah satu dari mereka memilih IU. Tapi jangan sampai terlihat seperti semuanya sudah disetting begitu," perintahnya kemudian.

Pekerjaan hari ini berakhir setelah makan malam. Sementara Jiyong pergi menemani para juri makan malam di restoran dekat sana, Lisa harus memantau staff lainnya untuk berbenah. "Aku akan menyusul setelah disini selesai," kata Lisa, pada Jiyong yang harus lebih dulu pergi bersama enam jurinya. Mereka tidak selalu perlu makan malam bersama, namun hari ini BIBI datang menggantikan Kim Namjoon. Jiyong perlu menjelaskan situasinya, agar tidak seorang pun salah bicara. Ia pun perlu memberitahu para juri tentang syuting selanjutnya— minggu depan.

Lepas pekerjaan masing-masing selesai, Jiyong menghampiri Lisa di tempat parkir. Sebagian staff sudah pergi, sudah kembali ke stasiun TV untuk menyimpan barang-barang. Lisa yang sudah memastikan tidak ada barang tertinggal berencana menghampiri Jiyong dan juri lainnya ke restoran. Namun pria itu justru lebih dulu menghampirinya.

"Mereka semua sudah pulang," kata Jiyong, secara tersirat mengatakan kalau makan malam termasuk pekerjaannya sudah selesai. "Kau sudah makan malam?" tanyanya kemudian, siapa tahu Lisa sudah makan bersama seluruh staff tadi. Makan malam di lokasi syuting, dengan sekotak kimbab tuna.

"Belum-"

"Mau makan malam bersamaku?" ajak Jiyong, menyela jawaban Lisa. "Akan aku belikan makan malam, pizza?"

"Pizza? Aku yang memilih tempatnya?"

"Hm..." pria itu mengangguk.

"Okay, ikuti mobilku dari belakang," Lisa ikut mengangguk dan Jiyong menyetujuinya. Pria itu lantas kembali ke mobilnya sementara Lisa masuk ke dalam miliknya sendiri. Mulai mengemudi menuju restoran pizza yang ia inginkan. Akan aku kuras isi dompetnya— niat Lisa sembari menyalakan mesin mobilnya.

Selang beberapa menit, keduanya bersamaan keluar dari mobil masing-masing. Jiyong memarkir mobilnya di sebelah Lisa memarkir miliknya. "Ya! Berjalanlah di depanku, aku akan mengambil foto punggungmu," suruh Jiyong kemudian, berhenti dengan gerakan tangan yang menyuruh Lisa cepat bergerak.

"Apa? Untuk apa?"

"Mengunggahnya," tenang Jiyong. "Cepat! Ini termasuk urusan pekerjaan," suruh pria itu. Ia raih bahu Lisa, dengan hati-hati menggenggam lengan bagian atasnya kemudian mendorong gadis itu agar cepat berjalan di depannya. "Akan aku buat fotonya cantik, cepatlah," katanya, memaksa Lisa untuk menuruti semua yang ia inginkan.

"Ya! Kau tidak bisa sembarangan mengambil foto orang lain!" protes Lisa. "Bahkan model saja dibayar," gerutunya, tetap melangkah, mau tidak mau tetap menuruti permintaan Jiyong.

"Karena itu aku mentraktirmu pizza sekarang, ayo makan... Aku lapar," balasnya yang justru berlari kecil, mendahului Lisa dan masuk ke dalam restoran itu.

Jiyong mengeratkan jaketnya, mengatakan kalau dirinya kedinginan karena berada diluar terlalu lama. Meski Lisa yang hanya mengenakan kaus dan celana jeansnya, tidak merasakan suhu dingin itu. Jiyong sudah mengambil duduk di sudut, Lisa yang mengekor lantas duduk di depannya. Keduanya memesan dua loyang pizza, dengan semangkuk camilan yang digoreng dan dua gelas bir. Lisa yang memesan semua itu, sebab Jiyong yang akan membayarnya.

"Hari ini melelahkan sekali," keluh Lisa, bersandar ke kursinya dengan kaki yang ia julurkan sampai menyentuh kaki kursi Jiyong. Kaki gadis itu kini berada diantara kaki lawan bicaranya. "Boleh aku cuti besok?" tanyanya namun Jiyong menggelengkan kepalanya.

Pria itu sudah lebih dulu mengajukan cuti besok. Jadi Lisa harus ke kantor untuk mengerjakan pekerjaannya. Harus ada seseorang yang bisa mengambil keputusan di kantor. "Kenapa? Kenapa kau cuti besok?" tanya gadis itu, cemberut sebab Jiyong sudah mendahuluinya.

"Pindah rumah," santainya, yang ikut bersandar lantas duduk dengan cara yang sama seperti Lisa. Meski ia harus membuka kakinya karena ada kaki Lisa diantara miliknya. "Akan aku ambil barang-barangku di rumahmu sebelum kau pergi kerja," susulnya.

"Heish!" Lisa mengeluh. "Sampai kapan oppa akan merepotkanku? Apa selama ini hidupmu memang seberantakan itu? Dua hari terakhir ini, aku merasa seperti tidak mengenalmu sama sekali. Rasanya seperti... Wah... Yang selama ini aku lihat bukan Kwon Jiyong, ini Kwon Jiyong yang sebenarnya. Berantakan dan merepotkan," komentarnya.

Pria di depannya hanya menaikan bahunya. Seolah ia tidak peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya. Meski Lisa menyebutnya berantakan, pada kenyataannya rating acaranya tetap lebih baik, selalu lebih baik dari gadis itu. Meski ia membuat banyak masalah selama prosesnya, hasil dari keseluruhan proses itu tidak pernah mengecewakan.

Dua gelas bir dan semangkuk chicken strips datang lebih dulu. Kini keduanya sama-sama merubah posisi duduk mereka, meraih lantas meneguk bir masing-masing. Merasakan kesegaran menerobos tenggorokannya, Lisa lantas tersenyum. "Aah! Segarnya!" seru gadis itu, tidak terlalu keras tapi cukup untuk di dengar telinga Jiyong.

"Ya! Tetap tersenyum seperti itu," kata Jiyong, menyuruh Lisa berhenti bergerak agar ia bisa mengambil foto gadis itu. "Aku butuh lebih banyak stok fotomu karena BIBI terus bertanya," susulnya. "Dia masih mengingat sandi handphoneku, dia bisa membuka handphoneku dan akan curiga kalau aku tidak menyimpan fotomu. Hanya akan aku simpan sampai syuting selesai," katanya.

"Dia tahu sandi handphonemu? Kalau begitu oppa ganti saja sandi handphonemu!"

"Lalu aku yang tidak akan ingat sandi baru handphoneku," balas Jiyong, beberapa kali mengambil foto lawan bicaranya termasuk foto tangan Lisa ketika mengambil sepotong chicken strips di atas meja. "Aku berjanji akan menghapusnya nanti, setelah selesai syuting, tenang saja," tegasnya.

Hanya setelah tiga foto, Jiyong meletakan handphonenya. Pria itu ikut menikmati chicken strips di depannya, ikut menenggak birnya juga. "Oppa, sebenarnya apa hubunganmu dengan BIBI?" tanya Lisa kemudian, ia tidak punya kelebihan tenaga untuk berdebat dengan pria di hadapannya itu.

"Mantan pacarku," jawabannya, sesingkat mungkin.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang