32

352 80 17
                                    

***

"Ini baju favoritnya," kata seorang wanita yang jadi teman sekamar Rose. Ia berikan sebuah tas kertas pada Lisa, memberikan pakaian dan barang-barang yang Rose sukai kepadanya. Juga berterima kasih karena Lisa mau mengurus segalanya di saat mereka— teman dekat Rose— justru tidak bisa melakukan apapun.

Lisa menerima ucapan terima kasih itu. Ia tersenyum, inginnya berbincang sebentar namun di rumah duka orang-orang menunggunya. Tugasnya belum selesai, ia masih harus mengabari berita duka itu pada keluarga dan orang-orang di sekitar Rose. Di tengah sibuknya ia mengirim pesan, juga sesekali menerima telepon atas berita duka yang ia sebarkan, seorang petugas rumah duka memanggilnya. Meminta Lisa untuk mengecek sekali lagi pakaian yang mendiang kenakan. Memastikan pakaiannya sesuai.

Ia yang awalnya terlihat tangguh, mengurus segalanya seorang diri, akhirnya jatuh juga. Kakinya seketika lemas dan tangisnya pecah ketika melihat Rose dengan pakaian favoritnya. Itu adalah pakaian pemberiannya. Pakaian yang ia beli lewat Jennie dan ia berikan pada Jiyong. Pakaian yang awalnya ia pikir akan Jiyong berikan pada kekasihnya. Tidak pernah ia duga sebelumnya, hadiah yang ia pilih menjadi barang favorit untuk orang lain.

Merasa malu karena menangis di dalam ruang jenazah itu, Lisa melangkah keluar. Ia anggukan kepalanya, mengatakan kalau mendiang cocok mengenakan pakaian itu lantas menyeret kakinya untuk melangkah keluar dari sana. Tangisnya tidak terlalu keras, hampir tanpa suara. Meski handphonenya berdering, berkali-kali berdering, Lisa mengabaikan semua deringnya. Ia tengah berusaha menyudahi tangisannya sekarang, sampai akhirnya Jiyong keluar dari ruang istirahat keluarga yang berduka dan berdiri di depannya.

"Kau pasti sangat lelah," komentar Jiyong, mengusap-usap rambut Lisa setelah gadis itu bekerja sepanjang malam. "Sudah jam lima pagi, kau harus beristirahat sekarang," katanya, masih mengusap-usap rambut gadis yang duduk di depannya.

"Oppa harusnya bilang kalau pakaian yang aku pinjam waktu itu untuknya. Kalau tahu itu untuknya, aku akan mencarikan yang lebih bagus," kata Lisa, dengan isakan yang sesekali terdengar. "Kau harusnya memberitahuku kalau ingin membelikan pakaian untuknya, apa-apaan ini? Kenapa baju favoritnya seperti itu? Aku bisa mencarikan baju favorit yang lebih bagus dari itu," kesalnya, sebab ia tidak memberikan banyak usaha untuk baju yang Rose sebut sebagai baju favoritnya.

Jiyong tidak mengatakan apapun. Ia hanya berdiri dan mengusap rambut Lisa dengan tangannya yang gemetar. Kesedihan masih memenuhi dirinya. Sampai Lisa merasa tenang, baru lah Jiyong duduk di sebelah gadis itu. Keduanya tidak banyak bicara. Seolah tengah membayangkan kalau Lisa adalah adik tirinya yang baru berpulang, Jiyong menggenggam tangan gadis itu. Mengusap-usap punggung tangan Lisa dengan jemarinya, menahan dirinya agar tidak kembali tumbang.

"Kau harus kembali, akan aku carikan taksi atau supir pengganti," kata Jiyong, yang akhirnya berdiri lebih dulu. "Terima kasih, kau sudah sangat membantu, aku akan melakukan sisanya," susulnya.

Selanjutnya, Lisa akan kembali ke lokasi syuting dengan taksi, meski ia perlu menunggu sedikit lebih lama karena saat itu masih terlalu pagi. "Pakai ini," kata Lisa, memberikan handphone serta kunci mobilnya pada Jiyong. "Setelan untuk menemui tamu sudah aku taruh di ruang istirahat, pakai itu nanti," susulnya, kepada Jiyong yang menemaninya di depan rumah duka, menunggu taksi.

"Terima kasih," angguk Jiyong, yang kemudian merasakan pelukan Lisa melingkari tubuhnya.

Pelukannya terasa sangat hangat pagi ini. Begitu menenangkan seolah ada suntikan dopamin di dalamnya. Tepukan lembut di punggungnya pun sama, tepukan yang seolah tengah memandu bagaimana jantungnya harus berdetak. "Bertahanlah, aku akan datang lagi nanti," bisik Lisa, masih sembari memandu jantung Jiyong untuk berdetak dengan tenang, dengan lembut.

"Tetaplah di sini," Lisa terus bicara. "Tidak perlu memikirkan yang lainnya. Antar adikmu dengan baik, soal pekerjaan, tidak perlu khawatir aku yang akan mengerjakannya," katanya, yang kemudian merasakan sedikit perubahan di tubuh lawan bicaranya. Pria itu mulai tenang, tidak lagi gemetar. Jiyong menyandarkan dagunya ke kepala Lisa dan detak jantung yang sedari tadi Lisa dengarkan perlahan-lahan mulai tenang, tidak lagi berdetak sangat keras seperti sebelumnya. "Oppa bisa mengandalkanku kali ini, aku akan melakukannya dengan baik," tenang Lisa.

"Aku tidak tahu harus bilang apa," gumam pria itu, balas memeluk salah satu mantan pacarnya.

"Tidak perlu bilang apa-apa," Lisa mendongak. "Aku senang jadi yang bisa diandalkan," susulnya, tersenyum sebentar kemudian melepaskan pelukannya. Berdiri menghadap jalan dan mengatakan kalau taksinya sudah datang. "Jangan buru-buru kembali, tenangkan dirimu, aku yang akan bertanggung jawab di lokasi, mengerti?" tegasnya dan Jiyong menganggukan kepalanya.

"Tolong urus semuanya," kata pria itu, yang selanjutnya jadi acara perpisahan dengan beberapa lambaian tangan kecil. Lisa harus kembali ke lokasi syuting sekarang.

Lisa tiba di lokasi syuting dua jam sebelum syuting dimulai. Ketika tiba, Donghyun langsung menghampirinya, tentu bertanya apa yang terjadi dan bagaimana kelanjutan kejadian itu. Lisa memberitahu semua orang kalau mereka akan melayat secara bergantian, mereka yang pekerjaannya sudah selesai, bisa pergi melayat lebih dulu, supaya lokasi syuting itu tidak benar-benar kosong tanpa staff. "Mereka yang akan berangkat melayat harus memberitahuku lebih dulu," kata Lisa, agar syuting bisa tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Bahkan, ketika seseorang meninggal, dunia harus tetap berputar seperti biasanya.

Dari Hanbin, Lisa menerima handphone serta kunci mobil Jiyong. Gadis itu tidak tahu kode handphonenya, jadi lewat panggilan darurat, ia telepon nomor teleponnya sendiri. Butuh dua puluh menit sampai Jiyong ganti meneleponnya. Pria itu tidak menjawab telepon Lisa tadi. "Bajingan gila?" tanya Jiyong begitu Lisa menjawab teleponnya.

"Oh? Aku lupa menggantinya, sorry," kata Lisa. "Tapi, itu tidak penting sekarang. Aku tidak bisa membuka handphonemu, apa kodenya?" tanyanya.

"Tanggal ulangtahunku."

"Oh okay, kalau begitu bye-"

"Park Bogum meneleponmu, dan aku mengangkatnya," potong Jiyong.

"Tidak apa-apa, tidak perlu dipikirkan, fokus saja pada pemakamannya, oppa," tenang Lisa. "Beberapa staff berangkat ke sana sekarang, aku akan ke sana setelah syuting selesai, sekarang aku harus bekerja, sampai nanti," katanya, tanpa memberi jeda agar Jiyong bisa bicara.

Gadis itu lantas mengakhiri panggilannya. Menatap layar handphone Jiyong kemudian membuka kunci tombolnya. Karena Jiyong menyinggungnya, Lisa jadi penasaran nama apa yang Jiyong tulis untuk menyimpan nomor teleponnya. "Lalisa Jung? Hanya ini? Sama sekali tidak spesial," komentarnya, di dalam ruang monitor, menggantikan pekerjaan Jiyong untuk memerintah semua orang.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang