***
Sudah sepuluh menit Jiyong mengekori dua gadis itu dari belakang. Melaju pelan hampir tidak menginjak pedal gas mobilnya. Jiyong sempat heran, kenapa gadis-gadis itu tidak segera menyadari keberadaannya. Kalau begitu terus, kedua orang itu bisa jadi sasaran empuk orang-orang jahat. Mereka terlalu acuh.
"Tapi, Jennie-ya, apa menurutmu mobil di belakang itu sedari tadi mengikuti kita?" Lisa akhirnya sadar, setelah sepuluh menit lamanya Jiyong mengekori mereka.
"Mobil? Mobil mana-"
"Jangan menoleh," tahan Lisa, menahan pipi Jennie agar gadis itu tidak menoleh ke arah mobil yang mengekori mereka.
"Oh! Oh!" gadis itu kemudian berseru, dengan nada yang lebih pelan dari sebelumnya. "Sepertinya kita benar-benar sedang diikuti," katanya, setelah melirik lewat sudut matanya.
Mobil hitam yang ada dibelakang mereka terus membuntuti, lajunya hampir setara dengan kecepatan langkah mereka. Ketika mereka berhenti, mobil itu pun berhenti. Ketika mereka berjalan, mobil itu pun bergerak mengikuti. Seolah tengah menggoda mereka dengan keberadaannya.
Rasa takut kemudian membuat keduanya berlari. Mereka berpegangan, lebih erat dari sebelumnya dan mulai memacu langkahnya jadi semakin cepat. Sadar kalau dirinya membuat kedua orang itu takut, Jiyong mendahului mereka. Ia percepat mobilnya kemudian berhenti beberapa meter di depan Lisa dan temannya. Tidak sampai di sana, pria itu pun keluar dari mobil, tiba-tiba, membuat Jennie juga Lisa menjerit terkejut.
"Ya! Kau membuatku takut!" bentak Lisa kemudian, setelah ia mengenali Jiyong yang melangkah menghampiri mereka.
"Augh!" Jennie ikut mengeluh. Ia tendang angin di depannya, melepaskan pegangannya dari Lisa kemudian berjongkok, merasakan kembali kakinya yang masih gemetar. "Orang sinting! Aku hampir buang air di celana karenamu!" kesal gadis itu. Membuat Lisa harus membungkuk untuk membantunya berdiri. Jennie lemah pada apapun yang menakutkan. Gadis itu bahkan membenci film horor.
"Padahal aku sudah membunyikan klakson," gumam Jiyong. "Kalian yang tidak menyadarinya, kenapa menyalahkanku?" gerutunya, enggan disalahkan atas ketidak pedulian dua perempuan itu.
"Whoa, kau dengar apa yang dia katakan? Orang ini benar-benar menyebalkan," gerutu Jennie, luar biasa kesal setelah dibuat ketakutan.
"Hhh... Sudahlah, aku mual," Lisa melerai, lantas menoleh pada Jiyong untuk bertanya alasan pria itu datang. Namun belum sempat Jiyong menjawab, Lisa juga Jiyong sudah lebih dulu terkejut dengan komentar Jennie.
"Hamil? Kenapa kau mual? Kau hamil?" celetuk Jennie, tentu tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Ia pun tahu Lisa tidak pernah tidur dengan pria manapun. Ia hanya ingin mengejutkan Jiyong, sama seperti bagaimana pria itu mengejutkannya.
"Hamil anak ayam? Yang benar saja," geleng Lisa, tidak percaya Jennie akan bilang begitu hanya untuk membalas Jiyong. "Kenapa oppa datang dengan sangat menyebalkan begitu? Kau harusnya membuka jendela mobilmu, memanggilku atau apapun yang bisa membuatku mengenalimu," gerutu Lisa.
"Sebentar saja, tolong aku," jawab Jiyong, langsung memeluk Lisa meski baru saja di marahi.
Melihatnya, mata Jennie langsung membulat sempurna. Wajah kecilnya ternganga dan tanpa suara ia bicara pada Lisa, "dia benar-benar sinting?" tanyanya lewat gerakan bibirnya, berharap Lisa bisa membaca itu.
Lisa yang dipeluk pun kebingungan. Tangannya memang bergerak untuk membalas pelukan itu, menepuk-nepuk punggung Jiyong dengan lembut, sembari mengerutkan dahinya. Dua sahabat itu berkomunikasi, lewat raut wajah mereka. Membicarakan Jiyong yang dua bulan terakhir ini terlihat begitu berbeda. Pria itu terombang-ambing dalam kesedihan, seolah baru saja kehilangan arah hidupnya. Perubahan yang terlalu ekstrim untuk bisa Lisa atasi sendirian.
"Permisi, hei? Kalau kau hanya ingin memeluk temanku tapi tidak mengencaninya, bukankah kau harusnya memberinya kompensasi? Temanku tidak akan pernah bisa berkencan kalau kau datang hampir setiap dua hari sekali untuk dipeluk olehnya," komentar Jennie, sembari menusuk-nusuk bahu Jiyong dengan jarinya, mencoba menarik perhatian pria itu.
Jiyong tidak menjawabnya. Pria itu hanya memeluk Lisa, memejamkan matanya sembari menenangkan jantung yang membuatnya sesak. Tepukan tangan Lisa di punggungnya, perlahan-lahan berhasil memandu jantungnya untuk berdetak lebih lambat, lebih tenang. Sebelah tangannya masih memeluk bahu Lisa, sedang sebelah lainnya bergerak, merogoh saku celananya, mengeluarkan dompetnya dan mengulurkannya pada Jennie.
"Whoa? Apa ini?" bingung Jennie. "Kau benar-benar akan membayarnya?" katanya setelah menerima dompet Jiyong. "Boleh aku buka?" tanya Jennie, tanpa suara. Hanya gerak bibir yang ia perlihatkan pada Lisa. Perlahan Lisa menggeleng, menanggapi pertanyaan Jennie. Jadi, meski Jiyong sudah memberikan dompetnya yang lumayan tebal, Jennie tetap tidak bisa mengintip isinya. "Sedikit saja?" bujuk Jennie, masih tanpa suara dan Lisa tetap melarangnya lewat ekspresi wajah yang ia tunjukan.
"Ya! Sudah, cukup," Jennie kembali menginterupsi. Tiga menit kemudian. "Kau harus memindahkan mobilmu, tidak boleh parkir di sana," suruhnya, mengganggu pelukan itu dengan menarik bahu Jiyong agar segera melepaskan tubuh sahabatnya. Ia kembalikan juga dompet Jiyong, mengatakan kalau dirinya belum mengambil apapun dari sana.
"Masuklah, aku akan mengantar kalian pulang," kata Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. Gadis itu tidak banyak bicara, ia masih sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Lisa masih sibuk, penasaran dengan hari yang baru saja Jiyong lalui. Penasaran kenapa pria itu terlihat sangat sedih malam ini. Ia memang sering terlihat murung dua bulan terakhir ini, namun hari ini, kesedihannya terlihat lebih dalam, lebih menyiksanya.
"Tentu saja kau harus mengantar kami, karenamu kakiku jadi lemas," cibir Jennie, menunjukan dengan jelas kalau ia masih kesal. Kesedihan yang bisa Lisa lihat pun tidak terdeteksi olehnya. Mungkin karena mereka memang hampir tidak pernah bertemu sebelumnya.
Jennie menarik Lisa untuk duduk di belakang bersamanya. Meski sedikit tidak sopan, Jiyong yang melihat itu memilih untuk mengabaikannya. Tidak ia tanggapi semua cibiran sinis yang Jennie keluarkan. Tidak juga ia tanggapi sikap tidak sopan itu. Tidak butuh waktu lama, mereka hanya perlu masuk ke dalam kompleks perumahannya, berbelok di persimpangan kedua dan sampai di rumah Lisa.
Lagi-lagi Jennie bersikap angkuh. Ia keluar dari mobil itu tanpa berterima kasih, melangkah lebih dulu untuk membuka pintu sedang Jiyong tetap di kursinya. "Lisa masuk!" teriaknya, memanggil Lisa yang baru membuka pintu di sebelahnya.
"Oppa juga, masuklah sebentar," ajak Lisa.
Tanpa peduli pada Jiyong yang akan mampir atau langsung pergi, Jennie melangkah ke lantai dua setelah melihat Lisa keluar dari mobil itu dan masuk ke halaman rumahnya. Jennie sudah di dalam rumah, ketika Lisa masih membuka gerbang rumahnya agar Jiyong bisa memasukan mobilnya.
"Bogum oppa akan menjemputku besok pagi, aku tidur duluan," kata Jennie, melangkah ke lantai dua meninggalkan Lisa dan Jiyong yang baru saja masuk. Itu adalah satu-satunya hal baik yang bisa Jennie lakukan pada pria yang membuatnya kesal. Ia akan naik ke kamar Lisa dan tidak menganggu lagi. Memberi dua orang itu waktu untuk berbincang.
"Kau masih menemuinya? Park Bogum?" tanya Jiyong, tidak lama setelah Lisa mengiyakan ucapan Jennie. "Kalian tetap dekat?" susulnya, karena penasaran.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...