28

351 81 5
                                    

***

Pagi tiba dan langsung membangunkan Jiyong yang terlelap di sofa. Sinar matahari dari pintu beranda yang membangunkannya. Tirai pintu itu tidak di tutup, membuat cahaya matahari masuk begitu saja, membelai wajahnya dengan hangat. Ia kemudian duduk di sofa, menatap sekeliling rumah yang rapi. Belum lama ia duduk di sana, perutnya bergemuruh. Pizza, bir dan cola yang semalam ia makan sudah memberontak ingin keluar. Maka pergilah ia ke kamar mandi.

Seperti yang ia dengar saat terakhir kali ke sana, pintu kamar mandinya memang rusak.  Pintunya sedikit macet, tidak mudah untuk dibuka. Sampai pria itu selesai menguras usus besarnya, Lisa masih belum bangun. Setelah Jiyong memutuskan untuk menginap, mereka berpisah. Lisa masuk ke kamarnya sedang Jiyong dipersilahkan untuk tidur di kamar utama, di kamar orangtua gadis itu. Namun karena ia merasa canggung tidur di kamar itu, Jiyong memilih untuk tidur di sofa.

Lepas menyelesaikan urusannya di kamar mandi— termasuk mandi dan membersihkan dirinya, pria itu mulai berkeliling. Pintu penghubung antara rumah dan garasi pun macet, beberapa pintu kabinet di dapur pun mulai longgar. Jadi, ia berinisiatif untuk memperbaikinya. Dengan beberapa peralatan dari mobilnya— karena ia malas mencari perkakas yang tersimpan di rumah itu— Jiyong memperbaiki segala yang bisa ia perbaiki.

Jiyong masih memperbaiki pintu kabinet di dapur ketika ia dengar langkah kaki turun dari lantai dua. "Ya! Apa kau tidak bisa melakukan ini sendiri?" seru Jiyong, menegur Lisa yang justru duduk di meja makan dan langsung menaruh kepalanya di atas meja itu. Gadis itu tetap tidak kelihatan bersemangat. "Kau hanya perlu memutar bautnya, dasar pemalas. Kau harus merawat barang-barangmu, bagaimana kalau pintunya menjatuhi kakimu?" komentar Jiyong.

"Jangan cerewet," balas Lisa, sedikit sinis. "Tidak ada yang menyuruhmu melakukannya," katanya, tetap pada posisinya. "Biasanya Bogum oppa yang memperbaikinya," kata Lisa yang kemudian membenamkan wajahnya ke dalam tekukan tangannya. Hatinya masih nyeri perkara kata-kata yang ia dengar semalam. Ucapan Bogum semalam, bagaikan sederet mimpi buruk yang terus menghantuinya.

"Mulai sekarang, lakukan ini sendiri. Jangan menunggunya," balas Jiyong, yang selesai dengan pintu kabinet terakhir. Ia kemasi perkakasnya lantas membawa barang-barang itu kembali ke mobilnya.

Lepas mengembalikan perkakasnya, dilihatnya Lisa masih berada dalam posisi yang sama. Ia hampiri gadis itu, kemudian mengusap kepalanya. "Kau benar-benar butuh cuti?" Jiyong bertanya, masih sembari mengelus-elus bagian belakang kepala Lisa. "Baiklah, kau boleh cuti hari ini, aku akan memindahkan barang-barangku nanti malam, sepulang kerja," susul pria itu.

"Oppa," Lisa akhirnya mengangkat kepalanya. Gadis itu masih memakai pakaiannya yang kemarin, ia pun belum menghapus riasannya sejak kemarin pagi. Semua yang terjadi terlalu melelahkan baginya, hingga ia tidak punya tenaga untuk sekedar membersihkan dirinya.

"Hm?" melihat Lisa sudah mengangkat kepalanya, Jiyong tarik tangannya. Berhenti mengusap-usap kepala gadis itu.

"Apa kau mau punya anak denganku?" tanya Lisa. Cukup tiba-tiba hingga Jiyong mengerutkan kepalanya. Gadis ini masih mabuk hanya karena tiga gelas bir? Jiyong tidak habis pikir. "Aku kesepian. Aku juga takut akan hidup sampai tua sendirian. Belakangan ini, aku sangat ingin punya anak. Aku rasa, oppa cukup layak untuk jadi ayah dari anakku," katanya, sembari memperhatikan raut wajah Jiyong yang jelas kaku. Tidak hanya terkejut, Jiyong pun berubah canggung disaat yang sama.

"Berarti kita harus..." Jiyong yang canggung tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Serasa ada angin dingin yang berhembus di lehernya, Jiyong merasa amat sangat tidak nyaman.

"Ah... Soal itu? Apa tidak bisa?" tanya Lisa, membuat Jiyong dengan susah payah menelan ludahnya. "Apa ilegal mendapatkan donor sperma dari kenalan?" susulnya, dan baru Jiyong bisa tersenyum. Senyuman tidak percaya, bercampur malu juga sedikit perasaan kesal. Jelas ada sebagian kekecewaan di wajahnya. Entah ia kecewa karena apa yang ia pikirkan tidak akan terjadi, atau kecewa karena kepalanya berfikir ke arah sana.

"Ah! Maksudmu sperma? Bukan aku, tapi spermaku?" komentar Jiyong, masih sedikit ragu— apa reaksinya sekarang sudah benar?— pria itu tidak tahu pasti reaksi apa yang harus ia tunjukan. "Tentu aku bisa memberikannya untukmu," susulnya, masih tidak yakin reaksinya sudah benar atau justru sebaliknya.

"Sungguh? Terima kasih!"

"Iya. Ya. Jika kau menginginkannya, aku pasti memberikannya. Tidak perlu khawatir. Kalau begitu, aku pergi ke kantor dulu. Sampai nanti," karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi di sana, Jiyong memilih untuk melarikan diri. Entah apa yang baru saja Lisa lihat, tapi Jiyong tahu pasti obrolan ini tidak akan pernah terjadi di dunia nyata. Lisa pasti meniru dari sebuah drama atau mungkin novel yang ia baca. Ia harus mencarinya nanti, ia harus bersiap untuk pertanyaan-pertanyaan mengejutkan lainnya. "Augh! Ada apa dengannya? Menakutkan. Aku pikir dia akan memperkosaku. Kenapa dia jadi sangat vulgar begitu?!" gerutu Jiyong sembari mengemudikan mobilnya, menjauh dari rumah Lisa.

Ditinggalkan sendirian, membuat Lisa justru mendengus. Sedikit kesal. Ia sudah dengan gamblang mengatakan kalau dirinya kesepian, ia bahkan meminta Jiyong menginap karena alasan yang sama. Namun pria kaku itu justru memilih untuk pergi. Kini, tidak ada yang bisa Lisa lakukan. Duduk sendirian di meja makannya justru membuatnya mengingat Bogum. Mengingat semua kebaikan pria itu kemudian merasa bodoh karenanya— "dia hanya bersikap baik padaku karena aku sahabat sepupunya, aku bodoh sekali karena menganggap dirinya menyukaimu," Lisa tidak bisa berhenti berfikir begitu.

Ia merasa teramat naif, merasa dirinya jadi sangat payah, terlampau bodoh karena terlanjur salah paham. Waktu bertahun-tahun yang ia pakai untuk mencintai seorang pria, rasanya telah terbuang sia-sia. Selama ini dia tidak menyukaiku, selama ini dia tidak memiliki perasaan apapun padaku, semua kebaikannya, semua perhatiannya, semua bantuannya, semua itu hanya karena Jennie, hanya karena aku berteman dengan Jennie— kenyataan yang kini Lisa pikirkan terlalu menyakitkan untuk bisa ia hadapi. 

"Augh! Lalisa! Kau benar-benar bodoh! Kenapa kau tidak menyadari itu?! Kenapa kau justru menciumnya? Untuk apa menyatakan perasaanmu?! Hhhh! Sialan!" gadis itu mengeluh sendirian. Ia menyesal karena sudah terlalu percaya diri, menyesal karena merasa Park Bogum juga memiliki perasaan yang sama sepertinya, bahkan setelah pria itu menunjukkan tanda-tanda penolakannya.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang