23

381 86 10
                                    

***

Masih di lokasi syuting, tepatnya di dalam ruang monitor. Dengan rambut yang gelung dan ditusuk pena, jelas berantakan Lisa kembali masuk ke ruang monitor. Tepat setelah ia membuka pintunya, dapat ia lihatnya Jiyong berbaring di sofa. Ia harusnya pulang sejak tadi, semua orang sudah pulang tanpa tahu masalah yang terjadi di sana. Ia harusnya menolak ketika Jiyong memintanya tinggal untuk bicara. Ia harusnya tidak mengetahui apapun, lantas bisa beristirahat dengan tenang di rumah.

Sutradara Kwon sudah menyuruhnya pulang tadi. Ia sudah melangkah sampai ke tempat parkir, sudah duduk di dalam mobilnya namun tangannya enggan memutar roda kemudi. Kakinya enggan menginjak pedal gas mobilnya. Ia tidak bisa pulang setelah mengetahui masalah yang Jiyong buat. Sembari menahan dirinya, di dalam mobil yang belum ia nyalakan itu Lisa mulai menghubungi beberapa kenalannya. Ia bertanya kemana-mana, mengganggu tidur beberapa kenalannya namun tidak menemukan solusi apapun.

"Dia pasti punya rencana," pikir Lisa, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Terus ia berfikir begitu, sampai kakinya berhenti di ruang monitor dan melihat Jiyong berbaring, melamun di sofa.

Helaan nafas terdengar darinya, sedang Jiyong hanya melirik, sama sekali tidak bergerak. Pria itu sama bingungnya sepertinya, pria itu pun tengah memutar otaknya sekarang, Lisa harap kepala pria itu meledak karena keputusannya sendiri. Sutradara Jung lantas melangkah, duduk di ujung sofa dekat kepala Jiyong, tepat di atas sandaran tangan sofanya. Perlahan ia gerakan tangannya, merapikan rambut yang menutupi poni Jiyong kemudian tersenyum memerhatikan pria itu dari atas.

"Bagaimana? Kau sudah menyesali kebodohanmu?" tanya Lisa, dengan senyum yang menggambarkan ketidaksukaannya. Seulas senyum terpaksa bercampur prihatin menghiasi wajah yang harus Jiyong lihat sekarang. Perlu digaris bawahi, senyuman itu terbalik karena posisi mereka sekarang. Dalam sudut pandang Jiyong, Lisa jauh lebih mengerikan jika dilihat dari posisinya saat ini.

"Kau akan menciumku? Haruskah aku menutup mata?" balas Jiyong, hampir tidak berkedip.

Jelas apa yang pria itu dapatkan selanjutnya— kepalanya dipukul dengan batal sofa yang sebelumnya ia pakai berbaring. Kepalanya terbentur sandaran tangan sofa itu, dan wajahnya dihantam bantal empuk yang jelas berdebu.

"Ya! Sialan! Sialan!" marah Lisa, sekali lagi. "Bagaimana kau akan memperbaiki semua ini?! Sinting! Dasar gila!" keluhnya, masih memukul Jiyong namun ganti membidik bagian perutnya.

"Sedang aku usahakan! Diamlah!" balas Jiyong, sama kerasnya. Ia rebut bantal yang Lisa genggam, lantas menaruh bantal itu di belakang punggungnya sementara ia bergerak duduk di atas sofanya.

"Aku sudah menghubungi semua kenalanku dan tidak ada yang bisa membantu kita! Tidak ada yang bisa datang semendadak ini! Augh! Sudah aku bilang untuk tidak memilih Kim Namjoon dan kau tidak mendengarkanku! Sekarang kau juga yang membatalkannya! Kau benar-benar gila! Kau tahu itu kan?! Orang sinting!" maki Lisa, jelas tidak bisa lagi menahan dirinya. Sejak beberapa jam lalu, ia sudah mengatai Jiyong. Tidak perlu mengatai pria itu di belakang punggungnya, saking marahnya, Lisa berani melakukannya di depan wajah Jiyong sembari menunjuk-nunjuk wajahnya.

Di tengah-tengah keributan itu, handphone Jiyong akhirnya berdering. Sebuah panggilan baru saja masuk— BIBI— begitu nama yang tertulis di layarnya. Lisa sempat berharap setelah mendengar getar di atas sofa itu, namun setelah tahu siapa peneleponnya, gadis itu berdecak. "Dia akan pergi berlibur, aku sudah menghubunginya dan dia tidak bisa penerbangannya jam lima pagi nanti," kata Lisa, yang akhirnya memilih untuk duduk di sofa. Mengeluh, mustahil mendapatkan seorang juri pengganti tengah malam begitu.

"Ah... Begitu?" balas Jiyong yang kemudian menjawab panggilan itu, hanya setelah melihat anggukan cepat lawan bicaranya. "Hei, BIBI, kau sudah di bandara? Aku ingin menagih janjimu sekarang," kata Jiyong setelah mendengar suara lawan bicaranya di telepon.

"Oppa! Kekacauan apa yang kau lakukan?" seru BIBI dari ujung panggilan.

"Hhh... Bahkan orang lain pun tahu kalau kau sangat kacau, oppa, sinting, sangat kacau," cibir Lisa yang samar-samar mendengar suara BIBI dari tempatnya duduk. Ia berbisik, agar lawan bicara Jiyong itu tidak bisa mendengar suaranya.

"Dimana kau sekarang? Aku akan menemuimu," balas Jiyong, tidak peduli dengan apa yang Lisa dan BIBI katakan tentangnya.

"Jam berapa syutingnya?" kini, senyum Jiyong terukir. Senyum licik yang ia tujukan pada Lisa, menatap gadis itu seolah tengah memamerkan kemenangannya.

"Jam delapan pagi-"

"Ya!"

"Augh! Jangan berteriak," protes Jiyong. "Kau masih bisa merias kan?" tanyanya, kali ini pada Lisa yang menontonnya dengan penuh harap. Gadis itu mengangguk, lantas Jiyong kembali bicara pada teleponnya. "Sutradara Jung yang akan meriasmu, datang saja ke sini jam delapan tepat. Tidak setiap saat kau bisa dirias seorang sutradara, iya kan? Dia punya sertifikat merias, dia pernah bekerja di salon," katanya, jelas berbohong sebab Lisa mengerutkan dahinya. Lisa tidak pernah bekerja di salon dan ia tidak punya sertifikat apapun. Ia bahkan tidak tahu kalau ada lembaga yang mengeluarkan sertifikat untuk merias. "Tidak perlu membawa apapun, tidak perlu menyiapkan apapun. Segalanya akan aku siapkan. Kau hanya akan perlu datang. Bahkan kalau kau bosan dan tertidur saat syuting, aku akan mengeditnya. Tidak akan aku siarkan," bujuk pria itu, menenangkan BIBI yang jelas akan datang— setidaknya begitu menurut Jiyong.

"Kau berjanji, oppa? Tidak akan membuatku terlihat jahat?" tanya BIBI dan Jiyong mengiyakannya.

"Akan aku buat kau jadi satu-satunya malaikat paling baik di season kali ini. Malaikat super baik yang tidak pernah ada di Campus Rapper sebelumnya," tegas Jiyong.

"Aku sudah merekam ini," balas BIBI.

"Ya, kau bisa merekamnya. Aku bahkan bisa menandatangani perjanjian apapun kalau kau mau. Sutradara Jung bisa mengurus surat perjanjiannya sekarang, kau mau itu?" katanya, berdiri di ruang monitor, bersandar pada meja meeting besar di tengah-tengah ruangan.

"Termasuk menandatangani surat nikah?" tanya BIBI dan kali ini Jiyong membisu.

Beberapa detik, mereka terdiam. Jiyong sedang mencari-cari alasan, sedang BIBI menunggu alasan yang akan Jiyong katakan.

"Yang satu itu sedikit sulit aku kabulkan," kata Jiyong kemudian, yang justru berbalik, kemudian berkata pada BIBI. "Aku terlanjur kembali berkencan dengan Sutradara Jung, kau terlambat beberapa hari, sorry," katanya, memegangi bagian belakang kepalanya, siap di pukul bantal lagi. Sebuah bantal dilempar, hampir mengenai kepala pria itu. Karena lemparannya meleset, Jiyong harus menangkap bantal itu, menyelamatkan empat monitor yang sudah dipasang, disiapkan untuk syuting besok.

Mata pria itu kemudian membulat, menatap kejam pada Lisa yang juga melemparkan tatapan yang sama. Jiyong kesal karena Lisa hampir merusak monitor-monitor mereka, sedang Lisa kesal karena dijadikan alasan. Karena namanya disebut tanpa izin.

"Jahat," komentar BIBI. "Kirim saja alamatnya, aku tidak ingin bicara denganmu lagi!" serunya dan panggilan itu diakhiri secara sepihak.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang