***
Rasanya seperti berada dalam jeda tiga detik di antara lampu merah dan hijau, di saat lampu kuning menyala di rambu lalu lintas. Pikirannya jadi kosong, tidak tahu apa ia terlalu cepat atau terlalu lambat? Hanya ada keraguan dalam dirinya. Tidak pernah ia ungkapkan perasaannya, rasa penasarannya, keragu-raguannya. Ia tahan semua perasaan itu, sembari meyakinkan dirinya sendiri kalau ia sudah melakukan hal yang benar.
Entah apa yang ia takutkan. Keangkuhannya tidak membantu kali ini. Rasa percaya dirinya, tidak membuat hidupnya jadi lebih mudah. Sampai akhirnya semua proses projek mereka selesai, meski ada beberapa episode yang belum ditayangkan. Jiyong sudah menyelesaikan semua tugasnya. Mereka hanya perlu menulis laporan sampai nanti, ketika rating dari episode terakhir nanti keluar.
Pekerjaan mereka kini berkurang banyak. Hanya perlu memantau reaksi penonton, reaksi publik, sedikit mengedit untuk menyesuaikan episode selanjutnya dengan reaksi publik dan mencicil laporan akhirnya nanti. Biasanya, Jiyong akan mulai memikirkan acaranya yang lain. Acara selanjutnya yang akan ia kerjakan. Namun kali ini, ia tidak punya semangat untuk melakukannya.
Akhirnya, Jiyong memutuskan untuk cuti panjang. Campus Rappers akan jadi projek terakhirnya sebelum cuti. Lepas memberitahu keputusannya pada Direktur Dong dan disetujui, ia menghampiri Lisa ke ruang kerjanya. Jiyong berencana memberitahu gadis itu tentang keputusannya, tentu saja sekaligus melimpahkan sisa tanggung jawabnya pada Lisa. Akan mengatakan kalau ia hanya akan ke kantor jika dibutuhkan.
"Sutradara Jung, bisa kita bicara sebentar?" Jiyong bertanya setelah mengetuk dan masuk ke ruang kerja Lisa bersama timnya.
"Ya," gadis itu menoleh, bertanya ada hal penting apa yang ingin Jiyong sampaikan.
"Aku akan cuti," katanya, sebab tidak ada siapapun di ruangan itu selain Lisa. Kebetulan sekali hanya ada mereka berdua di sana.
"Ah... Ya, aku sudah dengar dari Direktur Dong," angguk Lisa. "Oppa cuti mulai besok?" tanyanya, sembari memasukan handphonenya ke dalam tasnya. Tas baru yang ayah Jiyong berikan padanya.
"Hm... Aku serahkan semuanya padamu. Tapi tidak perlu khawatir, kau bisa menelepon kalau butuh bantuanku," jawab Jiyong yang Lisa balas dengan anggukan kecil.
Di saat yang sama, Donghyun membuka pintu ruang kerja itu. Memberitahu Lisa kalau mobilnya sudah siap dan mereka bisa pergi sekarang. "Ada pertunjukan musikal malam ini, aku akan menontonnya dengan timku. Apa masih ada yang perlu kita bicarakan? Kalau tidak, aku akan berangkat sekarang, sebelum jalanan ramai," kata gadis itu. Lagi-lagi membuat Jiyong merasa kalau dirinya benar-benar sedang dihindari.
"Kenapa kau menghindariku?" pria itu akhirnya tidak tahan. Ia akhirnya bertanya, diluar keinginannya. Pertahanannya baru saja runtuh.
"Huh? Aku? Kenapa? Aku tidak pernah begitu," bingung Lisa, ia menoleh, melihat wajah Jiyong yang kelihatan sangat serius, kemudian merasa ada sesuatu yang salah di sana. Maka ia batalkan rencananya. "Donghyun-ah, kalian berangkat saja duluan. Masih ada yang perlu kami bicarakan," katanya, menyuruh Donghyun untuk kembali meninggalkan mereka berdua di sana.
Kini, Lisa tinggalkan tasnya di kursi kerjanya, sedang ia bersandar, setengah duduk di ujung meja kerjanya. Ia perhatikan wajah Jiyong, memiringkan kepalanya sebab pria itu menghindari tatapannya. "Butuh dipeluk?" tanya Lisa dan Jiyong menggelengkan kepalanya.
"Tidak, lupakan saja. Pergilah dengan yang lainnya, aku akan-"
"Kau sedang pubertas ya?" potong Lisa, menahan Jiyong agar tidak meninggalkan ruang kerjanya. "Ada apa denganmu? Akhir-akhir ini oppa berhenti minta dipeluk, aku pikir kau sudah baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba merasa aku menjauhimu? Oppa sedang merajuk sekarang?" tanyanya, masih memegangi lengan Jiyong. Memegangi pergelangan tangan pria itu, kemudian turun ke telapak tangannya, menggenggamnya agar ia tidak pergi.
"Aku tidak begitu," singkat Jiyong, yang lantas tersenyum, senyum terpaksa yang membuat perasaannya justru terlihat lebih jelas. "Aku tidak apa-apa, pergilah menonton musikal itu dengan timmu, sebentar lagi jam pulang kerja, jalanan pasti ramai," katanya, menepuk bahu Lisa sekaligus melepaskan pegangan gadis itu dari tangannya.
"Oppa hanya berpura-pura baik? Tsk... Ayo pergi makan malam bersamaku saja," jawab Lisa, yang justru meraih tasnya kemudian mendorong Jiyong agar pria itu berjalan lebih cepat.
Mereka pergi bersama, ke restoran yang Lisa inginkan. Dalam perjalanannya, mobil itu harus berhenti karena rambu lalu lintasnya menyala merah. Sembari duduk di sebelah Jiyong, Lisa mengirim pesan pada Donghyun, mengatakan kalau ia tidak akan datang malam ini. Tanpa memberikan alasan apapun, gadis itu membatalkan janjinya pada rekan-rekannya. "Ajak saja seorang temanmu untuk memakai tiketku," tulisnya dipesan yang kedua.
Lampu merah berubah jadi kuning, hanya beberapa detik, namun Jiyong memikirkan banyak hal dalam perubahan yang singkat itu. "Apa kau masih butuh spremaku?" tanya Jiyong, tiba-tiba dan tentu saja mengejutkan Lisa. Sangat terkejut sampai ia menjatuhkan handphonenya.
"Oppa masih ingat?" canggung Lisa, yang memaksakan dirinya untuk terkekeh sembari membungkuk mengambil handphonenya yang jatuh. "Tidak... Aku tidak serius waktu itu. Aku hanya sedang kalut dan asal bicara, jangan dianggap serius, lupakan saja," susulnya, di sela kekehan canggungnya. Jelas saja ia malu karena mendapatkan pertanyaan seperti itu.
Kekehan Lisa sayangnya tidak membuat suasana serius yang canggung itu menjadi lebih santai. Baru beberapa meter setelah mereka melewati persimpangan, Jiyong menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket. Pria itu tidak mematikan mobilnya, namun ia menyalakan lampu mobilnya, memberi tanda kalau mereka akan berhenti sebentar di sana.
"Ada apa, oppa?" tanya Lisa, mencoba terlihat santai di kursinya. Ia menoleh, menggeser duduknya agar bisa menatap Jiyong dengan mudah. Dengan nyaman.
Sebentar pria itu membisu, membuat Lisa harus menunggunya. Satu menit, dua menit, Jiyong hanya diam meremas roda kemudinya. Entah apa yang memenuhi kepala pria itu, entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang.
Ia tidak pernah seragu ini sebelumnya. Ketika ia menyukai sesuatu, atau seseorang, ia akan mendapatkannya. Keangkuhannya terlihat menarik untuk beberapa wanita. "Aku menyukaimu, mau berkencan denganku?" sebelumnya kalimat itu terasa sangat mudah untuk diucapkan. Jauh berbeda dengan saat ini, ketika hatinya jadi luar biasa khawatir akan penolakan yang mungkin didapatkannya. Seperti Don Juan yang tidak bisa berkomitmen dengan seorang wanita. Don Juan yang selalu melarikan diri ketika berhadapan dengan wanita yang menginginkan komitmen itu. Padahal dirinya pun tidak tahu, Lisa menginginkan komitmen itu atau tidak.
Terbesit di kepala Jiyong, apa sebenarnya Don Juan senang berganti-ganti pasangan bukan karena hasrat? Mungkin pria playboy itu, terus berkencan karena takut. Takut di tinggalkan sendirian, takut kehilangan banyak hal, takut bergantung pada seutas kata-kata yang rapuh. Seperti ia sekarang.
"Ibuku," Jiyong akhirnya bersuara. "Ibu kandungku, pergi dari rumah karena ayahku sibuk. Dia pergi dari rumah, berselingkuh dengan beberapa pria di luar. Lalu ketika ayahku ingin menceraikannya, dia menyalahkan ayahku. Aku jadi begini karenamu— begitu katanya," cerita pria itu, sembari menambah kuat remasannya di roda kemudi.
"Ah... Karena itu oppa tidak suka film keluarga?" tebak Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya.
"Rose dan ibunya memperlakukanku berbeda. Memang awalnya canggung, sempat menjadi alasan kita putus juga, tapi untuk beberapa waktu, mereka membuatku merasa memilikinya, keluarga. Seorang ibu, seorang adik," katanya kemudian.
"Bagaimana rasanya?"
"Menyenangkan. Meski ada waktu dimana aku merasa mereka bukan benar-benar milikku. Hanya seperti barang bagus yang dipinjamkan padaku? Kurang lebih seperti itu. Aku marah sekali ketika mereka diambil kembali."
Perlahan Lisa mengulurkan tangannya, meraih tangan Jiyong yang ujung-ujungnya memutih karena ia meremas roda kemudinya terlalu keras. Dengan hati-hati, seolah tengah mengurus sebuah manekin rapuh, Lisa menarik Jiyong menghadapnya. Ia dekati pria itu, kemudian memeluknya.
"Aku minta maaf," bisik gadis itu. "Maaf karena oppa harus mengalami semuanya. Maaf juga karena aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuatmu merasa lebih baik," katanya, melembutkan pelukannya, menenangkan Jiyong dalam dekapannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...