19

394 87 4
                                    

***

Di hari Sabtu yang sedikit mendung ini, Lisa sudah bangun sejak pagi. Memang bukan kebiasaannya, bangun pagi di hari libur. Selain karena ia hampir tidak punya hari libur, juga karena ia tidak punya rutinitas lain selain bekerja. "Jennie! Jennie! Jennie!" gadis itu bernyanyi, setengah berteriak. Ia ganggu temannya yang masih tidur. Jennie pulang sebelum tengah malam, ia juga terlelap sebelum Lisa sampai ke rumah.

"Berhenti memanggilku!" seru gadis itu, tetap meringkuk, masuk ke dalam selimutnya.

"Aku punya banyak cerita menyebalkan yang ingin aku bicarakan, bangunlah," ajak Lisa, yang sengaja duduk di ranjang, lalu menggoyangkan tempat Jennie tidur dengan tubuhnya.

"Kau sudah cukup menyebalkan! Biarkan aku tidur satu jam lagi, aku harus pergi setelah itu," katanya, setengah merengek.

Lisa terus menganggu gadis itu. Ia ceritakan apa saja yang terjadi kemarin, termasuk ketika ia menangis di studio lama dan merasa kerasukan di sana. Tidak peduli apakah Jennie mendengarkannya atau tidak. Tidak peduli gadis yang ia ajak bicara sadar atau tidak. Sampai kemudian lawan bicaranya bangun, duduk di ranjang dengan wajah mengantuknya. "Apa kau masih kerasukan sekarang?" tanyanya.

Yang ditanya menggelengkan kepalanya.

"Tapi kenapa kau berisik sekali? Augh! Apa lagi ini?!" serunya, sebab handphonenya tiba-tiba berdering. "Oh? Kekasihku," senyumnya kemudian mengembang, membuat Lisa lantas berdecak, mendorong Jennie sampai berbaring dan menekan sebuah bantal ke wajah gadis itu. Membekapnya, sembari tertawa sementara Jennie berusaha keras untuk bicara pada kekasihnya. "Oh! Op- oppa! Hmp! Ada apa? Augh! Lisa sedang menjahiliku!" serunya, sembari mendorong dan menendang Lisa,
Tidak seberapa keras sebab ada selimut yang membatasi gerakannya.

Setelah lelah bermain, Lisa akhirnya bangkit, meninggalkan Jennie yang acak-acakan di kamar dan melangkah turun ke lantai satu. Ia pergi ke dapur, mengambil segelas air kemudian duduk di kursi santai dekat beranda samping. Menikmati air mineralnya di sana dan samar-samar melihat bayangan seseorang di depan gerbang. Tidak mungkin Jiyong datang tanpa meneleponnya lebih dulu, jadi ia langkahkan kakinya, keluar rumah lewat pintu beranda. Park Seojun ada di sana, berdiri sembari menelepon Jennie.

"Hei! Permisi?!" seru gadis itu, sembari melambai-lambai dari depan pintu utama rumahnya. "Masuklah! Kode kuncinya 0000!" teriaknya, sembari menunjuk-nunjuk pintu kecil di samping gerbangnya.

Park Seojun melihatnya, lantas ia anggukan kepalanya, mau tidak mau harus melangkah masuk sesuai permintaan Lisa. "Aku tidak memakai sandal, jadi tidak bisa membuka gerbangnya, maaf," kata Lisa, yang lantas melangkah kembali ke beranda, diikuti dengan pria yang tengah mencari kekasihnya. "Jennie masih tidur, di dalam... Masuklah, lewat sini," ajak Lisa, sedang Park Seojun mematikan panggilannya, kemudian menyapa Lisa dengan sopan. Ia tahu siapa dan apa pekerjaan Lisa meski tidak pernah bekerjasama.

Baru beberapa langkah pria itu masuk ke beranda, gadis yang ia cari sudah berlari turun dari tangga. Sudah dengan pakaian santai yang bagus, riasan tipis dan rambut acak-acakan yang tertutup topi. "Wow," komentar Lisa ketika melihatnya. "Aku tidak tahu kalau kau bisa bergerak secepat itu," katanya yang dengan senyum canggungnya segera membawa kekasihnya pergi dari sana.

"Dilarang berkencan di rumah, Lisa baru patah hati," kata Jennie, meledek Lisa sekaligus berpamitan pada tuan rumahnya.

"Ya ya ya! Pergi saja! Asal jangan mengajakku menikah kalau putus nanti!" balas Lisa, tidak mau kalah.

Kini Lisa sendirian. Air mineralnya tidak lagi terasa nikmat sekarang. Sudah dingin— alasannya. Sembari melangkah resah di rumahnya, tidak tahu harus melakukan apa. Selama beberapa tahun ini rutinitasnya hanya dua, pergi bekerja dan menemui Park Bogum di sela-sela pekerjaan itu. Hingga, begitu hari ini datang, ia tidak tahu harus melakukan apa.

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang