34

382 89 13
                                    

***

Upacara pemakamannya dilakukan selama tujuh hari. Namun jelas, itu bukan waktu yang cukup untuk melepas kepergian seorang anggota keluarga. Jiyong diizinkan untuk cuti lebih lama, Lisa bisa mengatasi pekerjaan mereka di lokasi syuting. Namun pada hari kedelapan, satu hari setelah adiknya dimakamkan, Jiyong kembali ke lokasi syuting dengan wajah pucatnya. Ia mengaku tidak bisa berhenti memikirkan adiknya kalau terus diam di rumah. Jadi ia ingin untuk kembali bekerja, berharap hal itu mampu membantunya melupakan sedikit kesedihannya.

Awalnya tentu banyak yang ragu dengan keputusan itu. Sebagian khawatir dan sebagian lainnya penasaran, kenapa Jiyong sangat hancur karena kematian adik tirinya. Namun dari semua orang yang memperhatikannya, tidak satupun berani bertanya. Mereka biarkan Jiyong bekerja, berpura-pura tidak terjadi apapun sembari sebisa mungkin menjauhi pria itu. Berusaha menjauhinya, demi hubungan kerja yang tetap stabil. 

Setelah berhasil mendapatkan 24 peserta di babak minggu lalu, kemudian tiga hari lalu menentukan tim dan mentor, hari ini syuting dilakukan untuk menyeleksi 21 peserta terbaik. Tiap tim yang berisi dua mentor dan delapan peserta diminta menyiapkan sebuah penampilan tiga hari lalu lalu hari ini, penampilan itu akan dibawakan ke atas panggung. Dalam tiga hari, setiap peserta diminta untuk membuat, merekam dan membawakan sebuah lagu baru. 

Sepanjang hari ini mereka merekam penampilan setiap tim, mendengarkan komentar dari para juri sekaligus mentor, kemudian mengambil keputusan untuk mengeliminasi satu orang di tiap tim. Dalam beberapa jam, mereka selesai merekam, meski para staff harus bekerja dua kali lebih lama karena setting panggung yang cukup rumit untuk dipasang dan dibongkar lagi.

"Sekarang ada 21 peserta seperti rencana," kata Lisa, melaporkan apa yang sudah semua orang ketahui. Ia cabut foto tiga orang tereliminasi dari papan catatan mereka, kemudian menempelkan selembar kertas untuk detail syuting yang selanjutnya. "Misi selanjutnya penampilan solo. Waktu persiapannya tujuh hari, karena para mentor juga tidak akan sanggup merekam tujuh lagu sekaligus dalam tiga hari. Hanbin tetap di sini, karena beberapa peserta dari luar kota juga akan tetap tinggal di sini. Donghyun pergi merekam tim satu, Sandara eonni merekam tim dua dan penulis Lee merekam tim tiga," atur gadis itu, membacakan kembali draft yang sudah mereka siapkan sebelumnya.

Tidak ada yang keberatan sebab itu alasan mereka digaji. Begitu briefing diakhiri, masing-masing yang bertanggung jawab memberitahu juri dan peserta acara kalau mereka bisa meninggalkan penginapan sekarang— kalau mereka mau. Mereka pun bisa tetap tinggal di sana, dengan catatan kamera pun tetap akan selalu menyala. Setelah merasa semuanya berjalan sebagaimana mestinya, Lisa melangkah meninggalkan villa itu. Ia perlu mulai mengedit untuk episode pertama yang akan ditayangkan minggu depan.

"Kau akan pergi?" Jiyong menghampiri Lisa yang baru saja meninggalkan villa, baru saja tiba di pintu depan villa dengan tas dan kunci mobilnya.

"Ya," gadis itu mengangguk. "Aku akan mengedit di kantor," jawabnya.

"Aku yang akan melakukannya, kau sudah banyak-"

"Tidak perlu," potong Lisa. "Beristirahat lah, oppa sudah lelah karena pemakaman seminggu ini."

"Kau tidak lelah? Kau juga datang ke pemakaman setiap malam," balas pria itu. "Kau yang perlu istirahat," suruhnya, namun Lisa tetap menolak. Terus bergerak membuatnya berhenti memikirkan perasaannya pada Park Bogum.

Namun di tengah obrolan itu, Sandara Park datang. "Kalian berdua membuat yang lainnya tidak nyaman," kata wanita itu tiba-tiba, menyela pembicaraan mereka. "Kau pucat seperti mayat hidup, dan matamu hitam sekali seperti panda," susulnya, menunjuk Jiyong kemudian Lisa secara bergantian. "Kami jadi khawatir kalian berdua akan tumbang bersamaan. Kalau itu terjadi, tidak ada satupun sutradara di sini. Karena itu, minta supir mengantarkan kalian pulang sekarang. Pulang dan tidur di rumah. Mengedit bisa dilakukan besok," katanya, yang setelah itu meminta Hanbin memanggilkan supir van untuk mengantar dua sutradara itu pulang.

Baru setelah Sandara berkata begitu, keduanya bersedia masuk ke dalam van dan diantar pulang. Karena disebut pengganggu— yang membuat staff lain tidak nyaman— akhirnya mereka pulang. Dilihat dari sisi jarak, Lisa yang diantar pulang lebih dulu. Van itu melaju, sementara dua sutradara di dalamnya sama-sama memejamkan mata. Berpura-pura tertidur.

Lisa tiba di rumah bersamaan dengan terbenamnya matahari. Ia berbaring di sofa begitu sampai, menyalakan TV di depannya dan diam di sana, menatap kosong acara di depannya. Sembari berharap agar ia bisa segera terlelap, gadis itu terus berbaring. Lima menit, sepuluh menit sampai satu jam berlalu, ketika bel rumahnya di tekan, gadis itu tetap terjaga. "Ini memang belum waktunya tidur," gerutu Lisa yang akhirnya melangkah untuk membukakan pintu. "Oh? Kenapa oppa datang lagi? Kau datang sendiri?" tanyanya, sebab Jiyong lah yang menekan bel rumahnya dan pria itu datang tanpa van.

"Aku ingin dipeluk lagi, seperti kemarin," katanya, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Lisa.

"Huh? Lagi?" kata Lisa. "Sebenarnya oppa memang suka dipeluk atau menyukaiku? Haruskah aku membuka jasa memeluk orang? Sepertinya aku berbakat," gerutunya, namun tetap melangkah mendekat, memeluk Jiyong dan menepuk-nepuk punggungnya. Sekali lagi, membantu pria itu menenangkan detak jantungnya yang berantakan. Memandu jantung Jiyong untuk berdetak sesuai ketukan normalnya.

Jiyong balas memeluk, melingkarkan tangannya ke bahu gadis itu, menumpukan dagunya di kepala Lisa tanpa mengatakan apapun. Ia mencoba untuk memberikan tepukan yang sama seperti yang Lisa lakukan. Berlatih agar lain kali ia bisa melakukannya sendiri, bisa menepuk-nepuk dirinya sendiri.

"Aku sudah sampai di rumah tadi," cerita Jiyong, setelah akhirnya mereka berdua duduk di beranda samping, menonton langit yang sudah gelap. "Lalu pihak hospice meneleponku, mereka bertanya siapa yang akan mengemasi barang-barang Rose," tambahnya.

"Ah... Karena itu oppa sedih?"

"Sepertinya begitu," katanya. "Aku rasa, aku tidak terlalu menyayanginya. Aku rasa, aku menemuinya, aku merawatnya, hanya karena ayahku menyayanginya. Tapi hatiku sakit sekali saat tahu dia pergi. Apa ini karena aku tidak pernah punya saudara sebelumnya? Sulit dipercaya, dia benar-benar pergi," kepalanya tertunduk, meski tidak sampai menangis, ia benamkan wajahnya ke dalam lekuk lututnya yang terlipat. Ia peluk kuat-kuat lututnya dan pelukan itu mulai mengendur ketika ia merasakan usapan tangan Lisa di punggungnya. "Sepertinya sekarang aku tahu, bagaimana perasaannya ketika ibunya meninggal waktu itu. Juga kenapa ia memilih tinggal di hospice setelah ibunya meninggal. Ternyata, kehilangan seseorang tidak mudah," ceritanya.

"Pasti sulit," balas Lisa. "Pasti sakit dan kelihatannya akan sulit disembuhkan. Tapi ayahku bilang, kalau tidak bisa disembuhkan, kau bisa hidup bersamanya. Tentu saja dengan berusaha mengurangi rasa sakitnya, jadi meski pun sakit, rasanya tidak akan terlalu menyiksa," tuturnya, masih sembari mengusap-usap punggung Jiyong. "Pelan-pelan, hm? Oppa bisa menerima kenyataannya pelan-pelan," ucap gadis itu, kali ini mulai membelai rambut Jiyong.

"Kau jangan berkencan," perintah tiba-tiba pria itu. "Jangan dulu menjalin hubungan dengan pria manapun," titahnya.

"Huh? Tidak mau, aku ingin segera berkencan. Semua orang berkencan, kenapa aku tidak boleh? Enak saja."

"Aku masih membutuhkanmu," kini Jiyong mengangkat kepalanya, menoleh untuk melihat Lisa di sebelahnya. "Setiap kali hatiku sakit dan seolah akan meledak, pelukanmu bisa mengurangi rasa sesaknya. Ini pertama kalinya, ada sesuatu yang bisa membuatku merasa tenang secepat pelukanmu. Aneh, 'kan? Bahkan saat dulu kita berkencan, aku tidak pernah merasa begitu. Apa karena aku sudah mulai tua sekarang? Atau kau yang berubah? Aku tidak tahu," katanya, yang justru menusuk jantung Lisa, membuatnya tiba-tiba berdebar, tidak lagi terkendali.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang