***
Kesal berada di rumah sendirian, gadis itu akhirnya pergi ke menemui orangtuanya. Ia mengemudi selama dua jam untuk tiba di sebuah rumah kecil yang berhadapan dengan ladang kentang. Rumah itu punya sebuah pekarangan yang luas, sedikit lebih luas daripada pekarangan di rumah yang Lisa tempati. Sebuah pohon apel yang cukup tinggi berdiri di pekarangan itu. Ranting dan daun-daunnya menjadi kanopi bagi sebuah meja persegi besar yang nyaman untuk dipakai tidur siang.
"Oh! Sayang! Putrimu datang!" teriak seorang wanita yang sebelumnya berbaring di atas meja besar di bawah pohon apel itu. Ia yang awalnya berbaring, langsung bergerak duduk ketika melihat Lisa keluar dari mobilnya, lalu melangkah menghampirinya.
"Huh? Eomma! Apa aku bukan putrimu?" komentar Lisa ketika ia mendengar suara ibunya yang keras.
"Sayang! Putriku datang!" ulang wanita tadi, meralat kata-kata agar sang putri senang. "Kau puas?" susulnya, yang menggeser duduknya, supaya Lisa bisa ikut duduk di sana.
Tidak lama setelah Lisa duduk, seorang pria tinggi keluar dari dalam rumah bergaya tradisional itu. Langkah kakinya membuat Lisa menoleh, "appa! Eomma- oh? Dia bukan ayahku," komentarnya, sebab pria yang keluar dari rumah itu terlalu muda untuk bisa jadi ayahnya. Seorang pria yang kelihatan seumuran dengannya, dengan rambut hitam legam juga rahang kaku. Kelihatan begitu maskulin dengan kotak perkakas di tangannya.
"Ya! Matamu bisa keluar kalau terus melihatnya begitu," komentar sang ibu, menyenggol bahu Lisa, menyadarkan gadis itu dari lamunan terpesona yang tiba-tiba terjadi bak sebuah adegan film romantis.
"Ish! Eomma!" Lisa mengeluh karena di goda begitu, sedang pria tampan di beranda rumah orangtuanya itu sedang duduk memasang kembali sepatunya.
Sang ayah akhirnya keluar, mengatakan kalau bak cuci piring mereka sudah tidak bocor lagi. Ia perkenalkan juga putrinya pada Kim Woobin, pria yang memperbaiki bak cuci piring mereka. Hanya perkenalan singkat, sebab si tukang reparasi harus bergegas pergi sebelum jam makan siang datang. Masih ada pekerjaan yang perlu dia selesaikan sebelum makan siang.
Lisa menghabiskan sepanjang hari di rumah orangtuanya. Makan siang, tidur siang, melihat bagaimana orangtuanya hidup di desa kecil itu, bermalas-malasan sampai pada pukul lima sore Jiyong menelepon. Pria itu bertanya dimana Lisa sekarang, kenapa gadis itu tidak ada di rumah.
"Oh iya barang-barangmu," komentar Lisa begitu ingat alasan Jiyong mencarinya. "Aku ada di rumah orangtuaku sekarang. Masuk saja, akan ku kirim kodenya lewat pesan," susulnya.
"Siapa?" tanya ibu Lisa, yang menghampiri putrinya di beranda rumah setelah ia selesai mandi.
"Jiyong oppa," balas Lisa, masih menunggu Jiyong mematikan panggilan itu sembari mengirim pesan padanya, memberi tahu kode rumahnya. "Oppa? Bagaimana? Kau sudah bisa masuk?" tanyanya sebab Jiyong tidak mengatakan apapun.
"Jiyong? Mantan pacarmu? Kalian kembali berkencan? Jangan bilang kalau kalian tinggal bersama di rumahku?!" kejut sang ibu, membuat Lisa langsung menoleh menatap wajahnya dengan alis bertaut juga dahu berkerut.
"Tidak! Dia hanya menaruh beberapa barangnya di rumah, dititipkan di rumah karena-"
"Suruh dia ke sini," potong sang ibu.
"Ya? Kenapa?"
"Aku ingin mendengar langsung darinya, suruh dia ke sini."
"Tidak perlu, ada apa denganmu, eomma? Untuk apa dia ke sini. Aku tidak berkencan lagi dengannya," tolak Lisa namun ibunya belum mau menyerah.
"Akan aku suruh dia ke sini," goda sang ibu, yang kemudian mengeluarkan handphonenya, menunjukan nomor telepon Jiyong yang ia simpan di sana. "Perjalanannya hanya dua jam, suruh dia makan malam ke sini, cepat. Atau aku meneleponnya sendiri?" katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...