***
Jiyong tidak datang bekerja hari ini. Selain karena kemarin Lisa menolaknya, cutinya pun dimulai hari ini. Sedang Lisa yang datang ke kantor setelah sepanjang malam memikirkan perasaannya sendiri, terus menghela nafasnya selama bekerja. Satu hari, dua hari, tiga hari, ia lalui hari-hari itu dengan helaan nafas yang kasar.
Sudah tiga hari sejak ia menolak lamaran Jiyong, dan selama itu juga ia masih meragukan perasaannya. Gadis itu khawatir, perasaannya tumbuh karena Park Bogum. Lisa khawatir, kalau dirinya hanya menjadikan Jiyong sebagai pelampiasan atas sakit hatinya. Ia khawatir, perasaannya tidak sangat serius sampai layak dibawa ke aula pernikahan.
Dalam keragu-raguan itu, ia mengirim pesan pada Jennie. "Aku masih memikirkan Bogum oppa sesekali, apa aku benar-benar menyukai Jiyong oppa kalau begini?" tanya gadis itu lewat pesan yang ia kirim.
"Aku juga masih sesekali memikirkan mantan pacarku," Jennie membalas. "Lalu apa itu artinya aku tidak mencintai pacarku sekarang? Memang kenapa kalau sesekali memikirkannya? Otakmu bukan komputer yang sebagian datanya bisa kau hapus sampai bersih sesukamu. Apa salahnya mengingat masa lalu? Hanya mengingat, bukan berarti kau ingin kembali ke sana," tulis wanita itu.
Lisa tidak membalas pesan itu. Dan Jennie kembali mengirimnya pesan setelah dua jam menunggu balasan Lisa. Dalam pesannya kali ini, Jennie menulis, "jangan terus menimbang-nimbang perasaanmu. Cintamu cukup besar atau tidak, bukan itu yang paling penting. Yang paling penting, apa kau keberatan hidup dengannya? Dengan semua sikap dan masalahnya?"
"Tidak," Lisa akhirnya membalas. "Aku tidak keberatan," tulisnya.
"Selamat, Lisa... Kau sudah menemukan jawaban yang kau cari," balas Jennie, yang akhirnya membuat Lisa mencari nomor lain di handphonenya.
Lisa menelepon Jiyong, namun sayang pria itu berada dalam panggilan lain. "Augh! Siapa yang sedang dia telepon di saat penting begini?!" gerutu Lisa, yang sekarang bangun, meraih tas juga kunci mobilnya. "Eonni, aku harus pergi sekarang. Ada urusan mendesak," pamit Lisa, pada Sandara yang duduk di kursinya.
Ia melangkah meninggalkan ruang kerjanya, mengabaikan Donghyun yang memanggilnya di lorong kemudian berlari masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Sekali lagi ia menelepon Jiyong, namun pria itu tetap berada di panggilan lain. Sampai akhirnya, Lisa memutuskan untuk menemui pria lain yang mungkin tahu keberadaan Jiyong sekarang. Lisa menemui ayah Jiyong, pergi ke pengadilan dan bertanya pada sang Hakim yang baru menyelesaikan satu sidangnya.
Di dalam ruang kerja sang hakim, Lisa memberitahu alasannya datang. Ia beritahu semua yang terjadi, tentu tanpa menyinggung Park Bogum atau keraguannya yang lain.
"Lalu kenapa kau ingin menerima lamarannya sekarang? Kenapa kau berubah pikiran?" tanya sang hakim, bersuara seolah mereka ada di dalam sebuah persidangan sekarang.
"Aku jadi sedih setelah menolaknya," jawab Lisa, mulai tertunduk, seperti seorang anak yang takut dimarahi ayahnya.
"Sebenarnya bukan itu jawaban yang aku harapkan," kata ayah Jiyong. "Tapi, karena putraku menyukaimu, aku akan tetap menghubunginya sekarang. Aku pun tidak tahu dimana dia. Aku tidak bisa menjamin apapun, aku hanya akan memberitahu Jiyong kalau kau ada di sini untuk mencarinya. Setelah itu, kalian bicarakan sendiri hubungan kalian. Kau tidak berharap aku akan menyuruhnya melamarmu lagi kan?" tanyanya dan Lisa buru-buru menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak mengharapkan apapun, aku tahu Jiyong oppa tidak mendengarkanmu," balas Lisa. "Tapi apa jawaban yang paman harapkan? Aku mungkin bisa mengatakannya kalau Paman memberitahuku harapanmu," tanyanya.
"Aku baru tahu kalau aku mengandung anaknya?" jawab sang Hakim, sembari menelepon putranya untuk yang kedua kalinya. Sedang Lisa tersedak teh yang disajikan untuknya.
"Ternyata paman benar-benar tidak mengenal putramu sendiri," komentar Lisa. "Jiyong oppa bukan tipe yang akan tidur dengan sembarang orang. Jawaban yang paman harapkan tidak akan pernah keluar dariku," katanya kemudian.
"Karena itu aku berharap," jawab ayah Jiyong. "Ah! Jiyong-ah," akhirnya Jiyong menjawab panggilan ayahnya.
Meski ia terdengar malas, Jiyong bertanya alasan ayahnya menelepon. Bertanya apakah ayahnya sakit, atau terluka dan meneleponnya atau sang ayah punya masalah lain yang mengharuskannya menelepon.
"Tidak, aku tidak sakit atau terluka atau punya masalah," jawab sang ayah.
"Lalu kenapa menelepon? Aku sibuk, langsung saja aku tidak bisa meladeni basa-basimu sekarang," katanya.
"Dimana kau sekarang?"
"Perjalanan ke kantor, kenapa?"
"Bukankah kau cuti?"
"Siapa yang memberitahumu? Lupakan saja. Ada apa? Aku harus ke kantor dan menyelesaikan sedikit masalah sekarang, Sutradara yang harusnya membantuku kabur dari mejanya tadi, jadi cepat katakan apa maumu, appa?"
"Sutradara yang kau bicarakan ada di sini," jawab sang ayah, di susul suara klakson mobil dari ujung panggilannya. Jiyong menginjak pedal rem mobilnya dan mengejutkan pengemudi di belakangnya.
"Apa katamu tadi?"
"Lisa ada di sini bersamaku, dia ke sini karena tidak tahu dimana kau tinggal dan apa saja yang kau lakukan selama cuti," jawab sang ayah. "Katanya, dia akan menerimamu kalau kau melamarnya sekali lagi. Kali ini harus dengan bunga dan cincin," susulnya, membuat Lisa mengerutkan dahinya sebab ia tidak pernah berkata begitu. Lisa tidak pernah mengatakan ia ingin bunga dan cincin.
"Aku tidak punya bunga dan cincin-"
"Beli! Sekarang!"
"Tahan dia di sana, aku akan ke sana."
"Beli bunga dan cincin sebelum ke sini!"
"Tidak bisakah ia ikut denganku dan memilih cincinnya sendiri?" tanya Jiyong dan ayahnya harus menghela nafas. Sang hakim sudah lelah menghadapi putranya sendiri.
"Lisa-ya, apa kau mau pergi dengannya dan memilih cincinmu sendiri?" tanyanya dan Lisa mengangguk dengan sedikit canggung. Ragu, apa jawabannya benar kali ini. "Dia mau, cepat jemput dia di sini, aku ada sidang satu jam lagi. Jangan sampai dia bertemu hakim baru dan menolakmu lagi," pesan hakim paruh baya itu sekali lagi. Sebelum panggilan mereka ia akhiri dan ia mengeluhkan kelakuan anaknya yang angkuh itu.
Hakim Kwon harus masuk ke ruang sidang sekarang. Tapi Jiyong belum juga datang. Karena tidak bisa menunggu lagi, Hakim Kwon memutuskan untuk meninggalkan Lisa di ruangannya. Namun Lisa menolak, ia akan menunggu Jiyong di luar, rasanya sungkan duduk seorang diri di kantor orang lain. Enggan jadi calon mertua rewel, Hakim Kwon mengiyakannya. Bersama mereka berjalan meninggalkan ruangan itu, menyapa beberapa penyidik yang bekerja untuk sang hakim, juga diperkenalkan sebagai calon menantu sang hakim. Lisa hanya bisa tersenyum diperlakukan begitu.
"Lisa-ya," panggil ayah Jiyong sebelum mereka sama-sama masuk ke dalam lift. Gedung pengadilannya ada di sebelah gedung kehakiman, mereka perlu sama-sama berjalan keluar gedung itu. "Jiyong akan melakukan banyak sekali kesalahan nantinya. Dia akan sering membuatmu marah. Tapi, dia tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Kalau kau memberitahunya dimana kesalahannya, dia akan berusaha keras untuk memperbaiki itu. Karena itu, tolong bersabarlah dengannya. Sebagai gantinya, aku akan memperlakukanmu dengan baik. Akan aku lakukan apapun agar kalian berdua bisa hidup bahagia. Kau selalu boleh memberitahuku semua masalahmu," pesan pria paruh baya itu. Meski tidak seberapa dekat, Lisa bisa merasakan kasih yang Hakim Kwon berikan pada putranya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...