20

439 86 4
                                    

***

Mereka baru saja selesai makan. Lisa tengah membersihkan piring-piring bekas makanan mereka, membilasnya dengan air agar bersih ketika piringnya diambil kurir nanti. Sedang Jiyong mengelap meja, menyekanya dengan serbet agar minyak dan sisa makanan hilang dari sana.

"Oppa," panggil Lisa sembari menumpuk piring-piring yang sudah bersih di sebelahnya, meniriskannya sebelum nanti ia usap dengan kain lap.

"Hm?"

"Apa tahun-tahun sebelumnya, Campus Rapper juga punya banyak masalah seperti sekarang?" tanyanya kemudian. "Maksudku, masalah sebelum syuting dimulai," susulnya.

"Tidak," tenang Jiyong, kembali duduk setelah tugasnya selesai. "Kau yang membawa semua masalah itu," susulnya.

"Ya! Kau ingin bilang aku si pembawa sial?!" Lisa berseru, namun belum sempat Jiyong berkomentar, seseorang sudah lebih membuka pintu depan. Dengan terburu-buru orang itu menekan kodenya, membuka pintu, membantingnya kemudian berlari ke kamar mandi.

Jennie kembali, berusaha membuka pintu kamar mandi sembari berlari ditempat ia berdiri, terburu-buru melepaskan celananya, namun semuanya sudah terlambat. Melihatnya, Lisa langsung menutup mata Jiyong. Ia pakai tangannya yang masih mengenakan sarung tangan lateks itu untuk menutupi wajah rekan kerjanya. Jangan sampai Jiyong melihatnya- pikirnya.

"Ya! Lalisa! Tolong perbaiki pintu kamar mandimu! Augh!" keluh Jennie, yang kini sudah berada di kamar mandi, melakukan urusannya yang sempat bercecer di depan pintu kamar mandi.

"Ayo keluar, jangan di sini," kata Lisa, tidak berencana untuk berbisik, namun suaranya jadi rendah dengan sendirinya. "Dia sakit, kantung kemihnya sangat sakit, tidak bisa dikontrol. Kasihan sekali, sudah berkali-kali dia ke rumah sakit tapi selalu kambuh. Lebih baik kita keluar saja," ajak gadis itu, masih dengan suara rendahnya bak orang berbisik.

Masih sembari menutupi mata dan sebagian wajah Jiyong, gadis itu menggandeng Jiyong keluar. Meski sebenarnya Lisa tidak perlu melakukannya, Jiyong tidak tertarik untuk mengintip. Pria itu sudah terlalu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, tidak ada sedikit pun keinginan untuknya mengintip Jennie di kamar mandi yang pintunya setengah terbuka.

Begitu tiba di luar, Lisa melepaskan mata serta lengan Jiyong. Gadis itu melepaskan juga sarung tangannya, melemparnya ke pintu rumahnya yang sudah ditutup. "Augh! Anak nakal!" serunya, mengomel pada Jennie setelah ia berhasil mengeluarkan Jiyong dari kecanggungan di dalam.

Jiyong memegangi dadanya. Menahan jantungnya yang berdebar luar biasa keras sampai terasa sesak. "Lisa, kalau aku jatuh dari sini, apa aku bisa hilang ingatan?" tanyanya, sembari menatap beberapa anak tangga di depannya. Hanya ada enam anak tangga di depannya. Undak-undakan kecil sebelum pintu depan.

"Ayo kita jemput kucingmu saja oppa, lupakan yang barusan," ajak Lisa, sekali lagi menggandeng Jiyong yang mentalnya baru saja dihancurkan. Angan-angannya akan keanggunan seorang wanita, baru saja dihancurkan, lebur tidak lagi bersisa.

Di depan, ada mobil lain. Mobil Seojun. Sembari menggandeng Jiyong yang ia khawatirkan akan jatuh, Lisa melambai. Ia sapa Park Seojun yang duduk di kemudi mobilnya. "Aku akan pergi sebentar dengan temanku. Jennie ada di dalam, masuklah lima belas menit lagi," pesan Lisa, yang tersenyum menyapa Seojun sedang Jiyong masih belum tersadar dari keterkejutannya. Yang bisa Jiyong lakukan, hanya menyeret kakinya mengikuti Lisa.

Keduanya sudah berjalan cukup jauh, ketika Jiyong akhirnya sadar dari keterkejutannya. "Whoa! Whoa! Kenapa bisa begitu?!" tanya Jiyong, setelah akhirnya ia bisa memakai otaknya lagi.

"Apa?"

"Temanmu! Kenapa dia melakukan itu?"

"Sudah aku bilang dia sakit," bohong Lisa. Jennie tidak pernah sakit. Gadis itu hanya suka menunda-nunda untuk pergi ke kamar mandi. "Dulu dia sempat kecelakaan, lalu kantung kemihnya rusak. Dia tidak bisa menahannya, sudah diobati, sudah ke rumah sakit, tapi belum benar-benar sembuh. Kasihan... Dia pun tidak ingin melakukan itu, dia hanya tidak bisa berbuat apa-apa," katanya, mengarang sebuah kebohongan demi temannya yang terancam malu seumur hidup.

"Augh... Ada-ada saja penyakit orang lain," lega Jiyong kemudian. Lega karena dia baru saja melihat seorang pasien, bukan seorang wanita gila- setidaknya begitu cerita yang Lisa buat. "Tapi kenapa dia tidak memakai pembalut saja? Bukankah pembalut fungsinya untuk itu?"

"Diapers," ralat Lisa. "Pembalut tidak cukup untuk menampung yang satu itu. Biasanya dia memakainya. Dihari-hari sibuk," bohong Lisa sekali lagi. Dalam hati, gadis itu sedikit menyesal- maaf Jennie, aku harus melanjutkan kebohonganku demi harga dirimu- pikirnya, ironi.

"Hhh... Semoga temanmu bisa cepat sembuh," kata Jiyong, yang selanjutnya menunjuk minimarket di sebrang gerbang utama kompleks perumahan itu, mengajak Lisa ke sana untuk beristirahat sebentar. Rasanya seperti baru saja berlari, Jiyong kelelahan.

Lantas, keduanya duduk di depan minimarket itu. Lisa beli beberapa minuman untuk mereka, sesekali menyesapnya tanpa membicarakan apapun. "Kenapa kau diam saja?" tanya Jiyong kemudian, memecah keheningan.

"Ini hari libur," balas Lisa. "Aku tidak ingin membicarakan masalah pekerjaan, dan ternyata tidak ada hal lain yang bisa aku bicarakan denganmu selain pekerjaan," susulnya. Jiyong bergumam, mengiyakannya. Sekali lagi mereka membisu. Lantas, Lisa bertanya, "apa yang oppa bicarakan dengan kekasihmu?" katanya.

"Pekerjaan," ia menjawab sembari menyesap kopi kalengnya.

"Tsk... Pantas oppa dicampakan-" Lisa akan mencibir, namun di saat yang sama ia ingat kalau ia harus berpura-pura tidak tahu. Gadis itu mengigit bibirnya, menutup mulutnya dan tidak lagi melanjutkan ucapannya.

Jiyong menoleh, memperhatikannya dengan sorot curiga. Sembari menaikan alisnya pria itu mengusik ketenangan Lisa. Ia buat Lisa gelisah karena sudah salah bicara. Sampai akhirnya, gadis itu menyerah. "Ya ya ya, aku melihatnya. Kalian ada di lorong, dia menamparmu dan oppa bilang, kembalikan USB-ku. Orang-orang pasti tidak percaya kalau aku ceritakan, jadi aku diam saja. Tapi... Aku tidak seberapa terkejut. Saat putus denganku, oppa juga begitu. Baiklah, kita berhenti sekarang- oppa hanya bilang begitu, lalu pergi. Kau tidak menjelaskan apapun, meninggalkanku kesal dan menangis sendirian. Kenapa kau tidak menjelaskan apapun saat itu? Saat itu oppa sudah tidak lagi menyukaiku, jadi karena aku ingin kita putus, kau langsung setuju?"

"Aku tidak ingin terlibat dalam drama apapun," kata Jiyong setelah beberapa detik diam. "Sepertinya karena itu aku jadi sutradara. Aku tidak perlu terlibat dalam drama karena aku yang membuat drama itu," susulnya.

"Drama? Kau menganggap berakhirnya hubungan kita sebagai drama?" tanya Lisa, sinis, terdengar sedikit kesal namun Jiyong menggelengkan kepalanya. Bukan berakhirnya hubungan itu yang ia anggap drama. Memberi penjelasan panjang kemudian memohon agar hubungan itu tidak berakhir, mencari-cari alasan, itu yang ia anggap drama.

"Kalau kau ingin pergi, silahkan pergi. Kalau kau ingin tinggal, silahkan tinggal. Kalau kau ingin hubungan ini berakhir, kita bisa mengakhirinya. Kalau kau ingin mempertahankan hubungan ini, kau bisa mempertahankannya. Hanya itu yang akan aku lakukan. Aku, tidak ingin mencari-cari alasan," katanya, sama sekali tidak menghibur. Bicara seolah hubungan yang dijalinnya, hanya milik pasangannya dan ia tidak ingin ikut campur di dalamnya.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang