***
Jiyong tidak menyukainya. Tiba-tiba disentuh, tiba-tiba digoda, ia membencinya. Merasa kalau dirinya baru saja dilecehkan, pria itu mengajak Lisa pergi. Raut wajahnya terlihat kesal, sama seperti saat seseorang mengganggu pekerjaannya. Lisa yang sebelumnya kesal karena keberadaannya tidak terlihat, perlahan-lahan melunak karena raut kesal rekannya itu.
Sedang wanita yang ditinggalkan tadi, membeku ditempatnya. Bingung sekaligus malu. Mungkin biasanya, pria-pria yang digodanya akan membalas godaan itu, atau setidaknya menikmati godaan itu. Mungkin biasanya, ia menerima respon positif atas tingkahnya yang tidak tahu malu itu. Penolakan yang Jiyong berikan, membuatnya luar biasa malu sekarang. Membuatnya luar biasa terhina hingga ia tidak lagi bisa merasakan tangannya yang terkepal marah.
Tiba di mobil, Jiyong melihat jam di dashboard mobilnya. Saat itu sudah pukul dua, sudah lewat tengah malam. "Oppa, dimana rumahmu?" tanya Lisa kemudian, yang melihat Jiyong meremas kuat-kuat roda kemudinya, masih menahan marah.
"Dekat perusahaan, kenapa?" tanyanya, mulai menyalakan mobilnya, mulai berkendara meninggalkan tempat parkir bar itu.
"Kalau begitu, turunkan aku di kantor saja, aku akan pulang sendiri," kata Lisa. "Sudah malam, oppa pasti lelah, tidak perlu mengantarku," susulnya, yang sudah biasa pulang sendirian dari kantor.
"Akan aku antar sampai rumah," jawab Jiyong.
Meski harus menempuh jarak yang lebih jauh, pria itu mengantarkan Lisa sampai ke rumahnya. Mobilnya berhenti di depan rumah mantan kekasihnya, rumah yang pernah beberapa kali dikunjunginya, dahulu sebelum hubungan mereka selesai. "Kenapa sepi sekali? Orangtuamu belum pulang?" tanya Jiyong setelah mobilnya berhenti dan Lisa melepaskan seat belt-nya.
"Mereka tidak tinggal di sini," santai Lisa. "Mereka pindah ke desa, ke rumah nenekku," katanya.
"Kau tinggal sendiri?"
"Hm..." gadis itu mengangguk, masih duduk di sana sebab Jiyong masih mengajaknya mengobrol. "Ada apa? Mau mampir dan menginap di rumahku?" canda gadis itu, yang langsung Jiyong tatap dengan senyum licik khasnya. "Sungguhan? Oppa mau mampir?" bingung Lisa, sebab respon Jiyong terlalu vulgar baginya.
"Tidak sekarang," pria itu menggeleng. "Aku harus pindah rumah besok lusa, tapi rumah baruku belum selesai di renovasi. Boleh aku menitipkan barang-barangku di sini?" tanyanya, membuat Lisa langsung menghela nafasnya, sembari memegangi dadanya sendiri. Ternyata, hanya pikiran serta khayalannya yang terlalu berlebihan.
"Barang-barangmu banyak?"
"Uhm... Mungkin beberapa koper dan furnitur? Terlalu sedikit untuk menyewa gudang, tapi terlalu banyak untuk disimpan di mobil. Hanya beberapa hari," pinta pria itu kemudian Lisa menganggukan kepalanya. Ia beri Jiyong izin untuk menitipkan barang-barangnya di sana. "Kalau begitu, aku akan ke sini besok lusa," katanya dan Lisa kembali menganggukan kepalanya.
Setelah sepakat, mengatur janji untuk besok lusa- di hari Sabtu- Lisa keluar dari mobil itu. Di saat yang sama, sedan hitam mendekat lantas berhenti di depan rumah Lisa, di depan mobil Jiyong. Pria itu masih menulis pesan di handphonenya, memberitahu Rose kalau ia tidak jadi membawa barang-barangnya ke hospice besok lusa. Juga mengabari Rose kalau ia tidak bisa datang menjenguknya besok lusa.
Lisa masih berdiri di depan gerbangnya, melihat Jennie turun dari kursi penumpang kemudian merutuki dirinya sendiri. Kalau Jennie turun dari kursi penumpang, berarti Bogum ada di kursi pengemudi. "Ya! Kenapa kau tidak menjawab teleponku?! Augh jahat!" seru Jennie, sambil berlalu. Gadis itu berlari masuk ke rumah Lisa meninggalkan gadis yang sekarang kebingungan. Haruskah ia menghampiri Bogum atau langsung menyusul Jennie.
Setelah menghela nafasnya keras-keras, menguatkan hatinya sendiri, ia hampiri sedan hitam itu. Di saat yang sama, Park Bogum pun keluar dari sana. "Lisa-ya," panggil pria itu, sembari memperhatikan pengemudi mobil lainnya. Lisa jelas terlihat buruk sekarang. Belum satu minggu sejak pernyataan cintanya, ia sudah terlihat bersama pria lain.
"Hm? Selamat malam oppa," sapa Lisa, tersenyum menghampiri Bogum. "Oppa ke sini hanya untuk mengantar Jennie?" tanyanya kemudian. Ia berdiri di depan Bogum sembari berharap Jiyong lekas pergi dari sana.
Sayangnya, Jiyong justru membaca beberapa file penting- tentang pekerjaan- sekarang. Karena mengirim pesan pada Rose, ia jadi tidak sengaja membaca pesan lainnya dan harus membalas. Ia harus membalas beberapa yang penting sebelum melupakan mereka.
"Tidak," Bogum menggeleng. "Aku ke sini untuk menemuimu," susulnya.
"Aku? Kenapa?"
"Hm... Hanya ingin? Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan juga," katanya. "Siapa itu? Kau mengenalnya?" tanyanya, tidak familiar dengan wajah Jiyong yang menunduk menatap handphone.
"Ah? Itu Sutradara Kwon," kata Lisa. "Tadi ada acara makan malam tim dan dia mengantarku pulang," jelasnya, tanpa menyinggung perjalanan ke bar tadi.
"Ah... Aku kira kalian baru akan pergi," angguk Bogum, yang kemudian bertanya, "haruskah aku menyapanya?" katanya, jelas membuat Lisa super canggung.
Lisa tidak tahu bagaimana ia harus memperkenalkan Bogum pada Jiyong. Dan kenapa juga Bogum harus menyapanya? Bogum tidak punya kewajiban untuk mengenal semua rekan kerjanya. Mereka bahkan tidak berkencan, untuk apa Bogum menemui Jiyong? Jadi, Lisa gelengkan kepalanya. Mengatakan kalau Bogum tidak perlu melakukan itu. Dengan kata lain, Lisa tidak berencana untuk memperkenalkan Bogum pada Jiyong.
Sebentar mereka berbincang, sampai mobil Jiyong akhirnya dinyalakan. Sampai akhirnya pria itu menekan klakson mobilnya dengan lembut, menyapa Lisa juga lawan bicaranya sebelum pergi. Selepas Jiyong pergi dari sana, Bogum mengajak Lisa untuk pergi berkendara. Sekedar berjalan-jalan sebentar, sekedar mengobrol.
"Maaf," sayangnya Lisa menolak ajakan itu. "Hari ini aku lelah sekali," katanya, yang sebelumnya tidak pernah menolak ajakan Bogum.
"Ah... Baiklah, apa boleh buat," angguk Bogum, sama sekali tidak memaksa Lisa untuk tetap pergi bersamanya, atau mendengarkan ceritanya, kata-katanya. "Kalau begitu masuk lah, beristirahat lah," senyum pria itu, yang dengan tenang mengusap rambut Lisa, lantas berpamitan dan pergi dari sana.
Lisa menunggu Bogum pergi sebelum ia berbalik kemudian terkejut karena Jennie. Wanita itu berdiri di depan pintu utama, melipat kedua tangannya di depan dada sembari menyipitkan matanya menatap Lisa, menilai Lisa. "Apa-apaan ini? Kau sedang direbutkan dua pria? Siapa pria yang satunya? Ternyata kau tidak sepolos yang aku kira, hm?" katanya menyelidik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...