35

372 84 7
                                    

***

Cara paling mudah untuk jatuh cinta adalah membiarkannya merengkuhmu disaat hatimu tengah jatuh terpuruk. Lisa melakukannya. Merengkuh pria itu disaat ia tengah terpuruk. Tanpa sadar, ia rebut hati pria itu, mengikatnya dengan tepukan di punggung yang menenangkan. Menjadi candu baginya.

Tanpa mengakui perasaannya, ia terus datang. Meminta sebuah pelukan, lantas kembali pergi. Menyisakan sedikit rasa sesak dihati Lisa. Sampai akhirnya gadis itu penasaran, tentang bagaimana perasaan pria itu, juga tentang bagaimana perasaannya sendiri.

"Awalnya aku kasihan," aku Lisa, pada Jennie teman dekatnya. "Tapi ini sudah dua bulan, dan dia terus datang, mengatakan hal yang sama. Tolong peluk aku, seperti kemarin. Lalu, jangan berkencan dengan siapapun, aku masih memerlukanmu, dia terus bilang begitu. Aku tahu dia aneh, tapi ini terlalu asing untuk bisa aku pahami," ceritanya.

"Bagaimana dia ditempat kerja?"

"Tetap berengsek," jawabnya tanpa berfikir. "Tetap sinting, yang akan melakukan apapun untuk ratingnya. Di situ juga bagian anehnya. Saat siang, di lokasi syuting kami bertengkar. Aku berteriak padanya dan dia berteriak padaku. Aku pikir kami pasti butuh waktu, setelah bertengkar, jadi aku pulang. Aku tidak kerja lembur hari itu. Aku benar-benar kesal karena dia bersikeras ingin menayangkan rekaman beberapa peserta yang bertengkar. Ini acara mencari bakat, kenapa kami harus terus menayangkan orang bertengkar? Tapi di jam sepuluh dia datang, dia memintaku memeluknya seperti kami tidak pernah bertengkar sebelumnya."

"Lalu keesokan harinya?"

"Dia tetap marah, karena aku tidak menuruti keinginannya. Dia bilang aku punya 1001 cara untuk menjatuhkan rating acaraku, bajingan."

"Menurutku..." Jennie menjeda pendapatnya. "Dia sakit jiwa. Mungkin kepribadian ganda? Atau hanya gila?" katanya.

Sedang Lisa menghabiskan malam bersama temannya, Jiyong justru pulang ke rumah untuk menemui ayahnya yang tinggal sendirian. Dahulu mereka tinggal di sebuah rumah besar, hidup bahagia bertiga, bersama ayah dan ibu kandungnya. Namun setelah banyak hal terjadi, saat ini mereka tinggal terpisah. Bahkan setelah si bungsu pergi, mereka tetap tinggal terpisah.

Jiyong tinggal di sebuah apartemen dengan tiga kamar tidur. Rumah yang luas untuk seorang pria yang tinggal sendirian dan jarang pulang. Sedang ayahnya, tinggal di sebuah apartemen studio dekat tempat kerjanya. Meski mereka tinggal di kota yang sama. "Bukankah menyedihkan seorang hakim senior tinggal di tempat seperti ini? Setidaknya cari rumah yang punya satu kamar. Kenapa kau tinggal di sebuah apartemen studio?" komentar Jiyong setiap kali diminta datang mengunjungi ayahnya. Entah untuk makan malam atau sekedar menonton pertandingan baseball bersama. 

Malam ini Jiyong menemui ayahnya untuk makan malam bersama. Mengingatkan satu sama lain kalau mereka masih punya ikatan darah. Lepas menghabiskan malam di restoran, Jiyong mengantar ayahnya pulang. Mengemudi sampai mobilnya berhenti di depan gedung apartemen ayahnya.

"Untuk apa rumah yang terlalu besar? Aku tinggal sendiri," katanya. Bersiap untuk turun dari mobil itu. "Lain kali atur waktu untuk makan malam bersama rekan kerjamu waktu itu. Juga teman polisimu dan suaminya. Kita belum berterima kasih dengan benar pada mereka," pinta sang ayah, masih bertahan di sana untuk berbincang sedikit lebih lama.

"Siapa? Lisa?"

"Hm... Sutradara Jung, dia banyak membantu saat pemakaman. Kita perlu berterima kasih padanya," angguk sang ayah.

"Baiklah," angguk Jiyong, begitu saja menyetujui permintaan ayahnya.

"Jiyong-ah," sang ayah kembali bicara. Masih belum menyelesaikan rasa penasarannya. "Sutradara Jung itu sungguhan hanya rekan kerjamu? Tidak ada hubungan lain di antara kalian?"

"Ada."

"Ada? Kalian berkencan?"

"Pernah, dulu. Aku pernah mengenalkannya padamu, kekasihku saat masih kuliah, tidak ingat?"

Sang ayah sebentar membisu. Putranya baru saja memberinya sebuah kejutan. Ia yang awalnya terkejut karena Jiyong punya seorang teman yang super baik, kini kembali terkejut karena teman itu ternyata mantan pacarnya. Pria paruh baya itu tidak ingin tahu alasan mereka putus waktu itu, namun ia penasaran tentang perasaan putranya sekarang.

"Dan teman polisi yang appa sebut tadi, dia ibunya. Polisi dan dokter yang membantu kita adalah orangtua Lisa," tambah Jiyong, tentu membuat ayahnya semakin ingin tahu tentang hubungan mereka. Ingin tahu kenapa ia tidak mengenal Sutradara Jung sedang orangtua Sutradara Jung justru kelihatan dekat dengan putranya.

"Jiyong-ah, kau ingin menikah?" tanya sang ayah, setelah lama ia menimbang-nimbang reaksinya. Menimbang-nimbang pertanyaan mana yang harus ia tanyakan saat itu. Pertanyaan mana yang akan menjawab semua rasa penasarannya sekaligus, sebelum putranya kesal karena merasa diintrogasi kemudian menyuruhnya turun.

Ternyata ia mengajukan pertanyaan yang salah. Jiyong enggan menjawabnya. Pria itu hanya bilang, "tidak tahu," kemudian menyuruh ayahnya segera masuk dan beristirahat di apartemen studionya. Menyesal karena sudah memilih pertanyaan yang salah, sang ayah hanya bisa menghela nafasnya. Putranya memang sulit dihadapi, ia tahu itu.

"Baiklah," kata pria paruh baya itu. "Tapi, kalau kau masih ragu, aku menyukainya, rekan kerjamu itu. Kalau kau ingin menikah dengannya, aku akan menyetujuinya. Kalau kau menyukainya, tapi dia tidak, aku juga akan mencoba membantumu. Aku akan mendukungmu, karena itu, jangan khawatir, kau punya seorang ayah. Kau juga punya keluarga, jangan merasa rendah karena ibumu," ucapnya, sebelum akhirnya ia keluar dari mobil itu setelah mengusap-usap bahu putranya.

Dadanya kembali sesak setelah melihat ayahnya masuk ke dalam gedung apartemen itu. Kata-kata yang ayahnya ucapkan, memenuhi dadanya seperti pasir basah, memberatkan bagian terdalam dari hatinya. Ia melirik jam tangannya, dan saat itu sudah pukul sepuluh malam. Merasa kalau itu sudah terlalu malam untuk mengganggu istirahat orang lain, Jiyong mengurungkan niatnya untuk menelepon Lisa.

Ia memaksakan dirinya untuk mengemudi pulang. Memaksakan dirinya untuk berbaring di rajang, memaksakan dirinya untuk beristirahat. Namun seperti seorang yang punya sakit kronis, ia tidak bisa tidur bersama rasa sesak itu. Ia butuh obatnya, merasa begitu akhirnya ia ambil lagi kunci mobilnya, lantas mengemudi ke rumah Lisa tanpa menelepon lebih dulu.

Jalanan sudah mulai sepi, namun di trotoar, tidak jauh dari rumah Lisa, dilihatnya gadis itu tengah berjalan bersama seorang gadis lain. Sembari membawa dompet dan handphone di tangan masing-masing, kedua wanita itu memeluk lengan satu lama lain. Melangkah sembari tertawa, sesekali menunjuk mobil yang lewat juga rumah yang mereka lewati. Entah apa yang sebenarnya tengah mereka bicarakan, namun keduanya kelihatan senang.

Jiyong menghentikan mobilnya karena melihat dua gadis itu di jalan. Namun Lisa sepertinya tidak mengenali nomor mobilnya. Gadis itu menunjuk mobil Jiyong yang berhenti di tepi jalan, berkata pada Jennie kalau merk mobil itu sama seperti milik Jiyong.

"Mungkin itu memang mobilnya," komentar Jennie, yang jelas tidak tahu tentang nomor mobil Jiyong. "Tapi mobil itu mobil mahal. Apa dia kaya?" tanya Jennie, melewati mobil Jiyong begitu saja. Benar-benar tidak mengenalinya, terlebih karena itu sudah malam dan kaca mobil Jiyong yang benar-benar gelap.

"Tentu saja dia kaya," balas Lisa. "Semua acaranya berhasil, gajinya hampir setara dengan direktur! Mungkin bisa lebih banyak karena bonus ini dan itu. Bahkan saat gajinya di potong tiga bulan, dia tidak peduli. Kalau tidak punya uang, dia tidak akan pasrah saja saat gajinya di potong. Dia juga bisa membayar hospice untuk adiknya, bertahun-tahun, sudah pasti uangnya banyak," cerita Lisa, mengulangi semua rumor yang beredar di upacara pemakaman tempo hari.

"Kalau begitu, setiap kali dia datang untuk dipeluk, kau harus menagih biaya jasa padanya. Anggap saja biaya terapi? Apa ada terapi memeluk?" oceh Jennie, terus melangkah bersama temannya setelah mereka menghabiskan beberapa potong ayam goreng ditambah beberapa gelas bir.

"Berapa yang bisa aku tagih padanya? 10 dollar? Pelukanku hanya bernilai 10 dollar?"

"Hm... Apa itu terlalu murah? Baiklah! Karena dadamu lumayan... empuk? Bagaimana kalau 50 dollar?" tawar Jennie, sukses membuat Lisa terkekeh dalam langkahnya menuju rumah. Masih tidak sadar kalau sebuah mobil terus mengikuti mereka sedari tadi.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang