14

399 94 2
                                    

***

Mereka tiba di bar. Sebuah bar yang tidak seberapa ramai dengan alunan musik jazz dari panggung kecil di sudutnya. Mengambil tempat di meja bar, keduanya duduk. Sama seperti Jiyong yang sering berkunjung ke bar itu bersama para atasan, Lisa pun begitu. Meski biasanya mereka duduk di sofa untuk belasan orang.

Setelah memesan minuman yang biasa ia minum, Jiyong memutar duduknya, sedikit menyamping agar ia bisa melihat Lisa di sebelahnya. "Jadi, kau baru saja bertengkar dengan kekasihmu atau baru saja putus?" tanya Jiyong, memulai pembicaraan.

"Aku ingin melihat kucingmu, oppa punya fotonya?" tanya gadis itu. Masih canggung untuk membicarakan masalah asramanya bersama pria yang pernah ia kencani.

Jiyong menunjukan foto kucingnya. Ia tidak punya alasan untuk tidak menunjukannya. Sedang Lisa melihat-lihat foto kucing itu, memuji kucingnya yang cantik, Jiyong memperhatikan whiskey-nya dituangkan ke dalam gelasnya. Pria itu tidak seberapa antusias membicarakan kucingnya. Ia sedikit lelah karena sempat sesak nafas tadi. Ia ingin segera pulang dan tidur, namun kasihan setelah mendengar pertanyaan rekan kerjanya tadi.

"Minum lah," suruh Jiyong, berharap kalau sudah mulai mabuk, Lisa akan segera bicara, segera mengeluarkan keluhan-keluhannya, segera merasa lebih baik, sehingga mereka pun bisa segera pulang ke rumah masing-masing.

Lisa mengangguk. Masih sembari memperhatikan foto-foto kucing di handphone Jiyong, gadis itu menyesap minumannya. "Oppa tidak tinggal di apartemen lagi?" tanya Lisa, setelah melihat beberapa foto, memperhatikan detail-detail dalam foto itu.

"Aku tinggal di apartemen," kata Jiyong.

"Ah... Foto-foto ini diambil saat oppa mengajak kucingmu jalan-jalan?" tanyanya dan Jiyong menganggukan kepalanya. Ia mengiyakan pertanyaan Lisa agar gadis itu tidak bertanya lebih banyak.

Jiyong sudah menghabiskan segelas whiskey-nya, pria itu menuang gelas keduanya dan Lisa meletakan handphone pria itu di meja. Sebuah pesan masuk ke handphone Jiyong. Pesannya berasal dari Rose yang isinya sebuah foto. Lisa tidak tahu foto apa yang Rose kirimkan, gadis itu tidak bisa melihat fotonya lewat notifikasi pesan itu, jadi ia kembalikan handphone Jiyong. Sebentar pria itu membalas pesannya dan Lisa dengan susah payah menahan dirinya agar tidak mengintip.

"Jadi, kenapa kau merasa dirimu dikutuk?" tanya Jiyong setelah membalas pesan itu dan menaruh kembali handphonenya di atas meja. Ia letakan handphone itu dalam posisi terbalik, sehingga tidak satupun dari mereka bisa melihat layarnya.

"Aku menyukai seseorang," gumam Lisa, hampir berbisik. "Sudah lama sekali aku menyukainya. Sejak putus darimu aku tidak pernah berkencan, awalnya memang karena belum bisa melupakanmu. Aku juga sedikit besar kepala karena oppa pergi wamil setelah kita putus, aku pikir kalau aku menunggu sebentar, oppa akan kembali padaku. Tapi setelah banyak hal terjadi, aku menyukainya, sampai sekarang," ceritanya.

"Wah... Lama juga... Lalu? Apa yang terjadi?"

"Aku menyukainya bertahun-tahun lamanya. Kami dekat, tapi tidak punya hubungan apapun. Kami sering pergi berdua, tapi tidak berkencan. Lalu aku menciumnya, karena terlalu menyukainya," sambung Lisa.

Kali ini Jiyong menumpu kepalanya dengan tangan, mendengarkan cerita gadis yang duduk di sebelahnya dengan seksama. "Wah... Sangat berani, seperti kau yang aku kenal. Lalu?" komentar Jiyong.

"Aku menolak mempercayainya, tapi aku sadar dia sedikit menjauhiku setelah ciuman itu. Dia mengantarku pulang dan tidak menghubungiku lagi."

"Dia tidak menyukaimu... Setelah itu?"

"Dia menghubungiku lagi. Katanya kemarin dia sibuk sampai tidak sempat menghubungiku. Kami kembali bertemu, act like nothing happened. Aku sudah menyadarinya, kalau dia tidak menyukaiku. Tapi kami tetap bertemu. Lalu kemarin, aku bilang padanya kalau aku menyukainya."

"Bagaimana reaksinya?"

"Terima kasih, Lisa, karena menyukaiku— begitu katanya. Setelah itu aku bilang— sama-sama, you're welcome. Setelah itu, act like nothing happened again." Lisa menenggak habis isi gelasnya. Gadis itu kemudian menuangkan lagi whiskey keduanya, sedang Jiyong hanya memutar-mutar pelan gelasnya. Ia harus berfikir sebelum menanggapi cerita itu. "Kenapa kisah cinta orang-orang sangat mudah? Bagaimana mereka bisa berkencan lagi setelah berpisah? Maksudku, bagaimana orang-orang menemukan kekasihnya? Oppa tahu?" tanyanya dan kali ini Jiyong harus menjawabnya.

Pria itu sudah berusaha keras memikirkan jawabannya, namun pada akhirnya ia hanya bilang— "aku juga tidak tahu," begitu katanya. "Ada orang-orang yang bertemu memang untuk berkencan. Aku tertarik padamu, bisakah kita menghabiskan waktu bersama? Bisakah kita berkencan?— lalu mereka berkencan. Ada yang sudah lama kenal, kemudian memutuskan untuk berkencan. Aku tidak tahu yang mana yang paling efektif, hati seseorang terlalu rumit untuk bisa kau prediksi," ucapnya.

"Tapi kau bisa merasakannya, ketika seseorang yang kau sukai tidak menyukaimu," gumam Lisa. "Hatiku bisa merasakannya, tapi aku tidak mau mempercayainya. Rasanya sia-sia, aku sudah menghabiskan banyak waktuku, perasaanku untuk menyukainya, tapi dia tidak merasakan hal yang sama. Dia tidak sedang mengencani siapapun, tapi kenapa dia tidak bisa menerima perasaanku? Kenapa dia tidak memberiku kesempatan? Aku yakin aku bisa menjadi kekasih yang baik untuknya, aku merasa begitu."

"Tidak," sanggah Jiyong. "Waktu dan perasaan yang kau pakai untuk menyukainya tidak sia-sia. Kau menyukainya karena itu membuatmu senang, itu tidak sia-sia. Sama sepertimu yang tahu bagaimana perasaanmu, dia pun begitu, dia tahu bagaimana perasaannya kepadamu, dia tidak menyukaimu-"

"Kenapa? Karena aku menyebalkan? Pekerjaanku payah?"

"Kau masih tidak suka brokoli?"

"Hm..." gadis itu mengangguk. "Kenapa tiba-tiba brokoli?"

"Kenapa kau tidak menyukainya?"

"Uhm... Hanya tidak menyukainya saja?"

"Perasaannya pun sama seperti itu. Bukan karena kau menyebalkan, bukan karena pekerjaanmu payah, dia hanya tidak menyukaimu seperti kau tidak menyukai brokoli. Dan itu boleh. Seperti kau boleh menyukainya, dia pun boleh tidak menyukaimu. Kau tidak suka brokoli, aku suka brokoli. Dia tidak menyukaimu, tapi pasti ada orang lain yang menyukaimu."

"Siapa yang menyukaiku?"

"Tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu? Kecuali kau muncul di layar monitorku, aku tidak memperhatikanmu," kata Jiyong, namun gadis di sebelahnya justru semakin cemberut.

"Oppa tidak menyukaiku?" tanyanya dan Jiyong ragu dengan jawabannya. Lisa akan merasa semakin buruk kalau ia mengiyakan pertanyaan itu. Namun membantah pertanyaan itu pun pasti akan membuat mereka jadi canggung.

"Aku ada di tengah," kata Jiyong pada akhirnya, membuat Lisa menaikan alisnya heran. "Aku tidak tidak menyukaimu, tapi juga tidak menyukaimu. Aku ada di tengah-tengah," jawabnya.

"Jadi suka atau tidak?"

"Setengah-setengah?"

"Tsk... Tidak buruk, tapi tidak menghibur," katanya. "Foto kucingmu lebih menghibur," susulnya, ingin melihat foto-foto itu lagi.

Jiyong kembali meminjamkan handphonenya dan tidak lama setelahnya seorang wanita duduk sendirian di sebelah Lisa. Awalnya Lisa tidak memperhatikan wanita itu, Jiyong pun sama. Mereka tetap diam, larut dalam lautan masing-masing. Pria itu lebih asik dengan whiskey-nya daripada orang-orang di sekelilingnya. Tengah Jiyong pikirkan kata-katanya tadi, mencoba memastikan ia tidak salah bicara sepanjang obrolan tadi. Sama seperti yang Lisa lakukan sembari memandangi foto kucing milik pria di sebelahnya.

Di tengah pikiran-pikirannya, Jiyong menoleh. Ia sedikit terkejut sebab merasakan tangan lain menyentuh tangannya. Seorang wanita tidak dikenal, yang sebelumnya duduk di sebelah Lisa, tiba-tiba saja berdiri, menghampiri Jiyong dan menepuk bahunya. Menyentuh bahu itu sampai ke tangan Jiyong yang memegang whiskey. Lisa melihatnya dan mata gadis itu langsung membulat sempurna.

"Hai, kalau kau sendirian, mau minum-"

"Permisi! Apa kau tidak melihatku?! Dia datang bersamaku!" potong Lisa, balas menepuk bahu wanita yang kini ada diantara mereka, menarik tangan wanita tadi agar berhenti menyentuh Jiyong.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang