***
Jennie mengeluh, sebab Lisa tidak terlihat seperti biasanya. Gadis itu mulai mendengarkan musik-musik yang tidak biasa ia dengarkan, berkali-kali menghela nafasnya, sama sekali tidak terlihat bersemangat. Ia pun mulai mengeluh karena hal-hal kecil, mengeluh hanya karena iklan di TV dan hal sepele lainnya.
"Ya!" Jennie mulai menegurnya. "Kalau kau tidak ingin memberitahuku apa yang terjadi padamu, setidaknya bersikaplah seperti biasanya. Jangan membuatku bingung!" omel gadis itu, yang sekarang menarik Lisa agar bangun dari sofanya. Ini hari Jumat dan gadis itu harusnya pergi bekerja. Meski tidak ada yang akan mengomelinya jika ia datang terlambat.
Gadis yang dipaksa bangun kini mengerang, mengatakan kalau tubuhnya lelah, mengatakan kalau ia tidak ingin pergi kemana pun. Ia ingin tetap di rumah, menikmati patah hatinya. "Kalau begitu cepat beritahu aku apa yang terjadi!" Jennie ikut merajuk. "Setidaknya beri tahu aku garis besarnya, jadi aku tidak khawatir, ada apa denganmu? Siapa pria semalam?" desaknya.
"Aku pikir, aku ditolak," kata Lisa pada akhirnya.
"Siapa? Siapa yang berani menolakmu? Biar aku pukul wajahnya!" kata Jennie, ikut duduk di sofa, setelah akhirnya Lisa mau memberitahunya apa yang terjadi.
"Sungguh?"
"Sungguh! Akan aku pukul wajahnya! Siapa yang berani menolakmu? Pria semalam?" tanya Jennie dan Lisa menganggukan kepalanya.
"Kau tidak akan bisa melakukannya," kata Lisa. Kembali ia jatuhkan tubuhnya ke sofa. Meminta Jennie untuk meninggalkannya sendiri. Ia kembali merengek, mengeluh tentang hidupnya yang menyedihkan.
"Tsk... Apa yang menyedihkan dari hidupmu?" cibir Jennie, membuat Lisa menatap tajam matanya kemudian menunjuk mulut gadis itu.
"Itu!" serunya. "Itu yang menyedihkan dari hidupku. Aku tidak senang tapi kalau aku mengeluh, orang-orang akan bilang begitu!" omelnya, yang sudah begitu sejak beberapa hari terakhir.
"Ya! Siapa yang membuatmu begini?! Apa yang dia katakan sampai kau uring-uringan begini?!" kesal Jennie, yang mengguncang tubuh teman dekatnya itu, menariknya sampai bangun, memeluknya, memberi guncangan pada seorang manusia yang tulangnya sedang libur kerja. Seperti seekor avertebrata, gadis itu ingin terus berbaring, tidak bertenaga.
"Terima kasih sudah menyukaiku," kata Lisa, dengan tubuh yang bergerak mengikuti guncangan Jennie.
Seketika Jennie menghentikan gerakannya, ia masih duduk di sofa sembari memegangi bahu Lisa. Memastikan gadis itu tetap duduk, tidak kembali berbaring lagi. "Oppaku?" tanyanya kemudian. Akhirnya berhasil menebak siapa penyebab lesunya Lalisa. "Oppaku menolakmu dengan bilang begitu?" ulangnya, memastikan sekali lagi kalau tebakannya benar.
"Kau jadi memukulnya? Di wajah?" balas Lisa dan kali ini Jennie membaringkan temannya itu. Ia bangkit dari sofa, memakaikan bantal untuk kepala Lisa, mengangkat kaki gadis itu agar nyaman berbaring di sana kemudian memakaikan selimut untuknya dan duduk di karpet.
"Beri aku keringanan, hm? Di perut? Bagaimana?" pinta Jennie, ia duduk di atas kedua kakinya yang terlipat. Memohon seperti seorang anak yang baru saja dimarahi ibunya. "Wajahnya itu mata pencaharianku, aku tidak bisa melukai wajahnya. Di perut, ya?" bujuk gadis itu dan Lisa justru tertawa karenanya.
Lisa bilang kalau Jennie tidak perlu melakukan apapun. "Dia tidak benar-benar menolakku, dia hanya tidak memberiku jawaban apapun," kata Lisa yang kini berbalik, memunggungi Jennie untuk mencari handphonenya yang bergetar. "Halo-"
"Kenapa kau belum ada di kantor?!" suara Jiyong dari panggilan yang baru saja masuk mengejutkan Lisa sekaligus Jennie. "Cepat kesini!" suruhnya, yang tidak menunggu jawaban Lisa dan mengakhiri panggilan itu begitu.
"Whoa... Apa itu?" bingung Jennie. "Suaranya memang sekeras itu?" tanyanya, sama herannya dengan Lisa.
Tidak seberapa lama, Donghyun yang menelepon Lisa. Hanya selang beberapa menit setelah panggilan tadi. Donghyun mengabari Lisa, kalau siang ini Jiyong sedang sangat marah. Luar biasa marah sampai wajahnya memerah. Lewat panggilan itu, Donghyun meminta Lisa untuk segera ke kantor.
"Kau masih bisa bilang hidupku tidak menyedihkan?" cibir Lisa yang akhirnya harus mandi dan pergi ke kantor. "Bahkan di saat aku sedih begini, ada saja masalah yang datang," keluhnya.
"Ya! Mantan pacarmu itu menakutkan," komentar Jennie, yang sengaja berdiri di depan kamar mandi, mengobrol sementara temannya sedang menggosok gigi. "Suaranya memang sekeras itu kalau marah? Dia terlihat seperti seseorang yang bisa memukulmu kalau kau terlambat datang ke kencan kalian," nilainya.
"Tidak," geleng Lisa, dengan mulut berbusa. "Dia tidak memukul orang, dia tipe yang akan diam saja saat dipukul kemudian menuntut orang itu. Ah! Tidak menuntut, tapi mengadu, ayahnya hakim," katanya kemudian. "Keluar, kau mau melihatku mandi, huh?" suruh Lisa dan sembari mengibaskan rambutnya, Jennie melenggang pergi, naik ke lantai dua. "Ya! Tutup pintunya!" seru Lisa namun gadis yang ia panggil justru mengabaikannya.
Sementara Lisa harus berangkat ke kantor, Jennie masih tinggal di sana, menunggu seseorang datang menjemputnya beberapa jam lagi. Lisa akan mengeluarkan mobilnya dari rumah, sedang Jennie nanti membantunya dengan menutup kembali gerbang rumah itu. "Kapan kau pulang?" tanya Jennie sementara temannya masih menyalakan mobilnya.
"Sebelum malam," jawab Lisa.
"Tidak bisa kah kau pulang terlambat?"
"Diantara semua temanku, kau yang paling tidak tahu diri. Sampai kapan kau akan tinggal di rumahku?" tanya Lisa.
"Sampai kau punya teman hidup baru?" santai Jennie. "Kenapa? Tinggal denganku menyenangkan. Kau tidak kesepian dan ada seseorang yang mematikan TV mu kalau kau tertidur," katanya.
"Kau tidak berencana tinggal selamanya di rumahku, kan?"
"Kau tidak berencana mencari teman hidup baru? Lupakan saja oppaku! Kalau dia- ya! Lalisa! Ya!" serunya, berteriak sebab orang yang ia ajak bicara melaju begitu saja dengan mobilnya. Lisa hanya mengeluarkan tangannya dari jendela, melambai sementara mobilnya berkendara ke jalan.
Lisa mengemudi secepat yang ia mau. Ia tidak ingin terburu-buru, ia perlambat laju mobilnya, sebisa mungkin menunda masalah di depannya. Sutradara Kwon bertengkar dengan anak magang— kata Donghyun di teleponnya tadi, karenanya Lisa merasa tidak perlu terburu-buru. Bukan sekali dua kali Jiyong bertengkar dengan orang lain.
Tiba di kantor, ia langsung masuk ke ruang kerja tim Jiyong. Di sana, Hanbin serta Donghyun tengah duduk di meja tamu. Di atas sofa abu-abu, keduanya tertunduk, sedang Jiyong berkacak pinggang di depannya. Situasi ini terlihat sedikit berbeda dari yang Lisa bayangkan. "Ada apa?" gadis itu menghampiri Jiyong, menyentuh lengan pria itu. "Kenapa kau sangat marah, Sutradara Kwon?" tanyanya, setelah melihat langsung ekspresi wajah Jiyong serta dua asisten mereka.
"Kau tahu hari ini ada anak magang?" Jiyong bertanya, melangkah menjauhi Lisa untuk bergerak ke meja kerjanya. Mengambil handphone yang ada di sana.
"Hm... Aku tahu," angguk Lisa. "Aku meminta Hanbin dan Donghyun mengurus mereka," susulnya, ia tatap Hanbin dan Donghyun bergantian, bertanya-tanya apa masalah yang sebenarnya sedang terjadi.
"Coba tanya mereka apa yang anak-anak magang itu lakukan hari ini," sinis Jiyong dan dengan sangat gugup, Donghyun membuka mulutnya.
"Anak magang... Uhm... Dia- uhm- dia-"
"Bicara yang benar! Kau tidak bisa bicara?!" Jiyong kembali berteriak, membuat Lisa yang baru saja datang langsung tersentak, ikut terkejut dan sedikit takut karena teriakan itu.
"Dia mengunggah hasil meeting kemarin!" Donghyun ikut berteriak. Rasanya seperti tengah berada di camp militer, pria itu tidak bisa berhenti gemetar karena Sutradara Kwon.
Kini Lisa tidak bisa lagi berkata-kata. Sama seperti Chaerin, Sandara juga Jisoo yang tidak habis pikir kalau kesalahan seperti ini bisa terjadi. Terlebih ketika ia melihat unggahan itu lewat handphone yang Jiyong berikan. Foto selembar kertas berisi nama-nama para juri yang sudah dipasang-pasangkan, dengan tulisan "tidak sabar berkerja bersama mereka di #CampusRapper!" sebagai keterangannya. Fotonya pun sudah dilihat oleh ratusan orang, oleh penggemar Campus Rapper.
"Ada yang punya obat penenang? Sepertinya aku butuh obat penenang sekarang," kata Lisa, yang hampir kehilangan kesabarannya juga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...