3

543 96 5
                                    

***

Di lift mereka bertemu. Tidak berselang lama sejak Jiyong dipukul kemudian dipisahkan oleh petugas keamanan. Beberapa orang berbisik ketika Jiyong mengantri untuk masuk lift. Mereka jadi penasaran ketika setelahnya Jiyong menerima telepon. Panggilan dari atasan langsungnya, direktur divisi acara ragam.

Begitu masuk ke dalam lift, Jiyong berdiri di sudut dan Lisa ikut berdiri di sebelahnya. Keduanya tidak bicara, tidak juga bertatapan. Seolah tidak saling kenal, Lisa hanya merogoh sakunya, mengeluarkan selembar plester dari sana kemudian memberikannya pada Jiyong. Pria itu menoleh, melihat Lisa dengan alis terangkat. Mungkin heran. 

"Bagaimana cara memakainya?" Jiyong bertanya, berbisik, sebab luka yang ia miliki ada di bibirnya. Di sudut bibir yang tadi dipukul Namjoon.

Kali ini giliran Lisa yang keheranan. Alisnya pun terangkat. Lantas, ia tunjuk tangan Jiyong. Ada luka lecet di telapak tangan pria itu, Lisa melihatnya ketika Jiyong menerima telepon tadi. "Ah... Sakit," keluh pria itu, setelah ia lihat tangannya yang terluka.

"Karena itu, kenapa oppa mencari masalah dengannya," cibir Lisa, yang kemudian melangkah lebih dulu keluar dari lift agar Jiyong pun bisa keluar di lantai yang sama dengannya. "Oppa tidak takut dituntut?" tanyanya kemudian. Keduanya berjalan bersama, di lorong yang sebagian dindingnya terbuat dari kaca, sedang sebagian lainnya dinding tembok pada umumnya.

"Dia tidak akan bisa melakukannya," tenang Jiyong, melangkah sembari sibuk memasang plester di tangannya. "Aku tidak melanggar kontrak apapun. Dia tahu kalau dia direkam, dia yang harusnya menjaga sikapnya di depan kamera. Semua yang direkam milikku, milik perusahaan," keangkuhan terdengar jelas dari bibirnya.

Mendengar keangkuhan itu, Lisa melirik. Ia berdecak, menggelengkan kepalanya.  Menyesal karena sempat mengkhawatirkan Jiyong, meski hanya beberapa detik. "Orang gila," cibir Lisa yang lantas berbelok, masuk ke dalam ruang kerjanya. Sedang pria yang ia cibir tidak memberinya respon apapun. Pria itu tetap melangkah, masuk ke ruang direktur, dengan tenang menerima teguran atas hasil kerjanya.

Seperti malam sebelumnya, Lisa lagi-lagi harus pulang terlambat. Ralat, bukan harus, gadis itu yang dengan senang hati bertahan di ruang editor sampai hampir tengah malam. Ia tengah mengedit hasil rekamannya kemarin. Memakai kacamatanya, menekan beberapa tombol untuk menggabung dan memotong video.

Sampai satu jam lalu, asistennya ada di sana. Namun Donghyun pulang lebih dulu karena sudah sangat lelah. Lisa tidak keberatan ditinggalkan sendirian di sana, sebab ia yang memilih untuk tinggal. Selain ruang editornya, ada ruangan lain yang lampunya pun masih menyala. Ruang editor Sutradara Kwon. Lama Lisa serius pada pekerjaannya, sampai ia dengar dering handphonenya di meja.

"Oppa!" serunya, ceria seperti dirinya yang dikenal teman-temannya.

"Halo, Lisa," sapa si penelepon, pria dengan suara lembut yang teramat manis. "Dimana kau sekarang? Sudah pulang?" tanyanya, langsung menjelaskan alasannya menelepon.

Dengan jujur, Lisa mengatakan kalau dirinya masih ada di kantornya, masih bekerja, masih mengedit acaranya. Sebentar mereka berbincang, sampai sebuah kesepakatan dibentuk. Pria yang menelepon tadi akan datang menjemput Lisa, gadis itu diminta untuk menunggu. Gadis itu tidak keberatan, ia bersedia menunggu, ia bersedia dijemput dan diantar pulang.

Lantas, ketika panggilan berakhir, baru ia lihat beberapa pesan yang masuk. Ia baru membeli kopi dan beberapa potong cake sebelum panggilan tadi, kini pesanannya itu sudah ada di lobby, di meja petugas keamanan. Maka melangkah lah ia untuk mengambil pesanannya itu. Kopi yang dibelinya hanya satu, di gelas ukuran besar.

Ia merasa salah kalau membawa kopi itu untuk menemui temannya. Memesan segelas kopi lagi, juga akan memakan waktu. Jadi, setelah berfikir di sepanjang jalannya kembali ke ruangan, ia putuskan untuk mengetuk ruang editor lainnya. Ia temui Sutradara Kwon di ruangannya. "Sibuk?" tanya Lisa setelah ia memasukan kepalanya, mengintip lewat celah pintu.

"Ya," jujur Jiyong, menoleh karena suara pintunya yang dibuka. Ia lepaskan headphones di kepalanya, memutar kursinya untuk melihat ke arah pintu, menjeda pekerjaannya. "Apa?" tanyanya kemudian.

Tanpa melangkah masuk ke dalam ruangan itu, Lisa mengulurkan tangannya. Lagi-lagi hanya lewat celah pintu yang ia buka sedikit. Hanya kepala juga tangan yang penuh kafein yang masuk ke dalam ruang editor itu. "Americano double shot dan tiramisu cake," kata Lisa, memberikan camilan malam yang dibelinya tadi.

"Kau memberikannya untukku?" tanya Jiyong yang akhirnya berdiri dan menghampiri Lisa di pintu. "Kenapa? Rasanya tidak enak?" tanyanya lagi.

"Tidak," geleng Lisa. "Rasanya enak, biasanya rasanya enak. Aku ingin menghabiskan mereka dan menyelesaikan pekerjaanku, tapi tiba-tiba saja harus pulang, sayang kalau harus dibuang, dibawa pulang pun tidak bisa," katanya, memberikan bingkisannya tadi pada Jiyong.

"Kau ingin aku membelinya?"

"Hei! Aku tidak sepicik itu!" protes Lisa. "Makan saja, gratis, untukmu," katanya kemudian. "Oppa bisa membelikanku kopi kapan-kapan, kalau memang ingin membalas budi. Tapi tidak pun tidak apa-apa," tenangnya, yang kemudian melambai, berpamitan untuk pulang lebih dulu.

"Berhati-hati lah saat pulang," kata Jiyong. "Terima kasih kopinya," tambahnya yang tetap menerima makanan itu meski ia tidak menyukainya. Jiyong lebih suka lemon cake dibanding dengan tiramisu cake.

"Ya," lambai Lisa sembari melangkah kembali ke ruangannya, hendak mengambil barang-barangnya kemudian menunggu pria yang akan menjemputnya.

Hanya lima menit gadis itu menunggu di lobby stasiun TV. Masih ada banyak orang di sana, meski tidak seramai ketika siang hari. Pria yang menjemputnya datang dengan sebuah mobil sedan hitam. Ia berhenti di depan gedung stasiun TV itu kemudian menghubungi Lisa, membuat Lisa tidak bisa menahan senyumannya.

Sembari berlari kecil, gadis itu menghampiri sedan hitam di bahu jalan. Ia buka pintunya kemudian menyapa si pengemudinya, duduk di sana dan memakai seat belt-nya. "Apa aku menganggu pekerjaanmu?" tanya pria itu, lembut sembari mengemudi.

"Tidak," Lisa menggeleng. "Aku memang berencana untuk pulang tadi. Aku dengar dari Jennie, oppa sedang sibuk syuting," katanya kemudian.

"Sebenarnya tidak sangat sibuk," jawab lawan bicaranya. "Hanya ada beberapa masalah, jadi aku kelelahan," katanya.

"Masalah? Masalah apa?" Lisa yang penasaran menggeser duduknya, menoleh untuk menatap pengemudi di sebelahnya.

"Jennie tidak mengatakan apapun?"

"Tidak," geleng Lisa. "Kalau tentang artis yang dia urus, dia tidak banyak bicara. Jennie baru cerewet kalau sedang membicarakan kekasihnya."

"Siapa kekasihnya?"

"Oppa tidak tahu? Ups... Sepertinya aku tidak bisa memberitahumu," senyuman canggung kemudian terulas di wajahnya. "Aku tidak tahu Jennie akan marah atau tidak kalau aku memberitahumu, jadi berpura-pura lah tidak tahu, okay? Dia berkencan dengan Park Seojun," katanya, setengah berbisik di akhir kalimatnya.

"Park Seojun?!" si pengemudi berseru, tidak percaya sepupunya berkencan dengan Park Seojun.

"Sungguhan," angguk Lisa, luar biasa yakin. "Mereka beberapa kali bertemu di lokasi syuting, saat oppa syuting. Mereka sama-sama tertarik kemudian berkencan, aku pernah makan malam bersama mereka. Oppa benar-benar tidak tahu? Apa ini benar-benar rahasia?" heran Lisa, sebab pria di sebelahnya itu sudah beberapa kali bekerja bersama Park Seojun. Bagaimana bisa dia tidak sadar kalau managernya menyukai Park Seojun?

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang