44

361 86 3
                                    

***

Jennie tengah berkencan di rumahnya sendiri ketika meneleponnya. Mendengar suara panik temannya itu, ia izinkan Lisa untuk datang ke rumahnya. Lantas, satu jam setelahnya, Lisa tiba di sana. Apartemen Jennie penuh bunga malam ini. Gadis itu menata rumahnya agar terlihat seperti restoran mewah untuk kencan super romantis. Park Seojun baru kembali dari luar negeri kemarin, baru menyelesaikan syutingnya di sana. Meski kemarin mereka sempat bertemu, tapi malam ini harusnya jadi malam romantis untuk keduanya— kalau Lisa tidak menerobos masuk dan menganggu.

Lisa langsung meraih gelas Jennie, menuangkan wine yang juga ada di meja makan ke dalam gelas itu kemudian menenggaknya. Sampai habis. Ia buat Seojun bahkan Jennie terkejut karenanya. Rambutnya basah karena keringat, dahinya pun sama. Seolah gadis itu baru berlari dari jauh untuk tiba di sana.

Sembari gemetar, karena berlari dengan sepatu hak tinggi, ia merosot. Duduk di lantai, dekat kaki Seojun. Tangannya masih berpegang pada meja, sedang kepalanya ia sandarkan pada kaki meja makan. Jelas Jennie bertanya apa yang terjadi, sebab bahkan di telepon tadi, Lisa tidak mengatakan apapun selain "aku dalam masalah, tolong aku. Benar-benar masalah besar."

"Kau baik-baik saja?" Jennie menghampirinya, sembari melirik kekasihnya yang sama kagetnya.

"Haruskah aku pergi? Agar kalian bisa bicara?" tanya Seojun, menggeser kursi yang ia duduki agar kekasihnya bisa berlutut, mendekati temannya yang pucat dan berkeringat itu.

"Tidak," kata Lisa. Menjawab kedua pertanyaannya sekaligus. "Aku dilamar," lapor gadis itu kemudian. Ia remas tangan Jennie dengan tangannya yang dingin dan berkeringat, meminta dukungan dari gadis itu agar ia bisa bercerita lebih banyak.

"Dilamar siapa?" Jennie kembali bertanya.

"Jiyong oppa," jawab Lisa.

"Lalu mana cincinnya?"

"Tidak ada."

"Kau menghilangkannya?"

"Tidak," Lisa menggeleng, tatapan linglungnya bertemu dengan mata Jennie yang menatap gemas padanya. Gemas karena Lisa menceritakan berita itu secara sepotong-sepotong.

"Ya! Sadarlah! Bicara yang benar!" bentak Jennie, tidak bisa menahan dirinya.

"Tidak ada cincin," jawab Lisa, yang menoleh pada Seojun kemudian balik menatap Jennie. Ia mengingatkan Jennie kalau ada Seojun di sana, dan itulah alasan Seojun tidak perlu pergi. Lisa butuh Seojun agar Jennie bisa menahan dirinya. Ia tidak ingin dimarahi dalam suasana begini. "Aku menolaknya, aku menolak lamarannya," kata Lisa.

Selanjutnya, Lisa ditarik sampai ke sofa, ia dipaksa duduk di sofa, bersebalahan dengan Jennie yang juga duduk di sana. Sedang Seojun tetap di meja makan, yang masih satu area dengan sofa. Seojun menonton pembicaraan dua gadis itu lewat meja makan, menikmati cerita Lisa sembari sesekali menyesap wine-nya.

"Tunggu... biar aku ulang... Jadi, karena aku bilang kalau kau mungkin meninggalkannya kalau dia terus jahat padamu, dia jadi sedih dan mengira kau menjauhinya?" tanya Jennie dan Lisa menganggukan kepalanya. Kedua tangannya memeluk bantal sofa, dengan dagu yang ia sandarkan di atas bantal itu. Ia menatap kosong pada buket mawar biru di atas meja, pasti hadiah dari Seojun untuk Jennie. "Lalu kau memberitahunya kalau kau tidak menjauhinya? Kalau dia hanya salah paham? Tapi apanya yang salah paham? Bukankah aku benar? Kau akan meninggalkannya kalau dia jahat padamu, bukan begitu?" kata Jennie, bergantian menatap Lisa dan Seojun. Seojun mengangguk, sedang Lisa menggelengkan kepalanya.

"Dia tidak jahat padaku," bisik Lisa.

"Whoa... Ternyata kau menyukainya? Sudah aku duga," komentar Jennie, yang kemudian melapor pada Seojun. "Dia menyukainya," katanya pada Seojun. "Lalu kenapa kau menolaknya?" gadis itu kembali bertanya.

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang