Halooo Haloo!
Coba absen sini dongg
Follow akun instagram
@wp.fiksiaja
@dermaga.abiru
@anaranathaiaJangan lupa vote dan komennya yaa
Selamat membaca!
======
Satu persatu dari mereka pergi meninggalkan tempat di satu titik yang berada di Tempat Pemakaman Umum. Bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu menatap lamat pada sebuah nisan pemakaman yang tanahnya masih sangat basah. Tangan kirinya mengusap nisan yang sementara masih belum tertera tulisan di sana dan tangan satunya lagi menggenggam kuat taburan-taburan bunga yang beberapa sudah tercampur dengan tanahnya.
Dermaga, bocah laki-laki itu beralih menatap seorang anak perempuan di sampingnya. Pipi yang begitu basah menandakan air mata yang sedari tadi tanpa henti mengalir membasahinya.
"Kenapa ayah di tanah? Ayah nanti nggak bisa napas, Bang." ucap Anara—adik perempuan yang terpaut usia dua tahun dari Dermaga—dengan polos.
Tangan kecil Anara berusaha mengeruk gundukan tanah yang ada di hadapannya itu. Ia yang masih tidak tahu tentang banyak hal dengan hati kecilnya itu hanya ingin menemukan kembali dan menarik ayahnya untuk keluar dari sana.
"Ayah udah bobo di sana, Ra. Nanti ayah nggak nyenyak bobonya kalau Nara berantakin. Jangan, ya?" Ingin berharap apa kepada seorang anak kecil untuk sebuah penjelasan. Dia memang diberi tahu bahwa ayahnya telah pergi untuk selamanya. Tetapi, dia tidak benar-benar mengerti akan hal itu untuk anak seusianya.
Perkataan yang keluar dari mulut kecilnya itu hanya ditujukan untuk membawa tenang kepada adik perempuannya. Sebagai seorang Abang, dia tidak ingin adiknya terus menangis. Hanya itu.
"Kenapa ayah nggak bobo di rumah aja, Bang?"
Bocah laki-laki itu melirik sekilas ke makam sang ayah. Pikirannya fokus mencari jawaban apa yang harus diberikan untuk Anara. Namun, yang namanya anak kecil tetaplah anak kecil, bukan? Dia tidak tahu harus menjawab seperti apa.
Terlihat seorang wanita yang berpakaian serba hitam mendekat ke arah mereka berdua. Tadi, wanita itu meninggalkan Anara dan Dermaga untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sudah membantu dalam proses pemakaman. Sekarang, wanita itu sudah kembali. Dia adalah Nima, Ibu dari kakak-beradik itu.
Dermaga membantu Anara dengan memegang tangan anak perempuan itu untuk berdiri. "Ayo pulang!" Ajak Nima, menggandeng satu tangan Dermaga yang bebas karena tangan Dermaga yang lain menggandeng tangan Anara.
Jalanan yang mereka lewati memang sangatlah sepi, jarang sekali ada yang lewat. Karena memang satu ruas jalannya berakhir pada tempat pemakaman itu. Bahkan di kanan kiri jalan, adanya bangunan rumah bisa terhitung jari dan jarak tiap rumahnya sedikit jauh.
Jalanan sepi itu rasanya ramai karena sepanjang perjalanan, Anara terus mengoceh menginginkan jawaban dari pertanyaannya yang belum sempat dijawab oleh Dermaga. Padahal untuk beberapa menit saat Nima datang, Dermaga bernapas lega karena mengira Anara akan teralihkan.
Nyatanya, ingatan anak perempuan itu sangatlah kuat. Baru saja mereka keluar dari pemakaman, Anara langsung mempertanyakan lagi. Bahkan muncul pertanyaan-pertanyaan baru yang ia lontarkan kepada Dermaga.
"Abangg... Jawab Nara! Abang nggak denger? Abang kenapa diem aja?"
Pertanyaan beruntut dari Anara seperti berputar-putar di kepala Dermaga. Beberapa kali matanya mengerjap karena rasa-rasanya otak kecilnya udah sudah tidak mampu untuk menampung sekaligus mencari jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan Anara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMANTARA : Milik Kita
Teen Fiction"Bisa nggak, ya? Semua momen-momen milik kita terlukis juga tersimpan pada hamparan langit di atas sana." Manusia selalu menuntut untuk sempurna. Tidak banyak dari mereka yang mau menerima kelemahan setiap yang dipunya. Hanya sebagian kecil di antar...