3. Sedikit Tentang Hujan

4.4K 385 13
                                    

Haiii manteman!

Jangan lupa bintang sama komennya yaa

Selamat membaca 🤍

******

Masih tidak ada pembicaraan yang berlangsung di antara mereka. Masing-masing menikmati suasana jalanan yang banyak lalu lalang kendaraan. Bangku-bangku di pinggir jalan yang setiapnya sudah diisi oleh orang-orang yang sedang berpacaran, sekelompok teman, ataupun keluarga. Mata mereka tidak berhenti berkeliling.

"Eh, Ga. Sekolah lo gimana?" tanya Ale menyeletuk saat dia baru mengingat bahwa saat ini harusnya Dermaga bersekolah.

Ale tentu tidak panik terhadap dirinya sendiri karena selama satu minggu ini sekolahnya menyelanggarakan banyak acara untuk perayaan ulang tahun. Jadi, tidak ada pembelajaran untuk sementara.

"Udah titip absen tadi ke anak kelas," balasnya. Sebelum menemui Pak Tomi, Dermaga sempat membuka ponselnya dan mengirimkan pesan kepada salah satu teman kelasnya untuk izin tidak masuk hari ini.

"Dih tukang bolos!" Dermaga menoleh ke arah Ale. "Ngaca!" Ale yang tadinya cengengesan dibuat diam oleh satu kata yang keluar dari mulut Dermaga. Dia mungkin baru saja tersadarkan.

"Lo kemana habis ini? Nggak mungkin, kan, lo pulang ke rumah? Bisa-bisa Ibu nanti kayak gini."

Ale berdiri berkacak pinggang, wajahnya dibuat merengut, napasnya sengaja ia hembuskan kasar. Sangat persis memperagakan Nima jika sedang marah.

Senyum tipis terukir di wajah berahang tegas milik Dermaga, melihat Ale yang begitu persis meniru Ibunya. Dia ikut berdiri, wajahnya kini setara dengan Ale.

Tawa kecil keluar dari mulut Ale, dia kembali ke dirinya semula. Alih-alih terhibur dengan tingkahnya, tiba-tiba tangan Dermaga melayang menoyor kepalanya.

"Sakit, Anjing!" Ale meringis merasakan kepalanya yang seperti menebal karena kerasnya tangan Dermaga.

Mereka berdua selalu saja seperti itu. Kemungkinan kecil saat mereka bertemu, tidak ada perdebatan di antara mereka. Tapi, untuk saat ini tidak seperti biasanya. Ale yang memiliki kesabaran setipis tisu, sampai terkadang tidak bisa kalau tidak berkata kasar dan Dermaga yang lebih banyak pasrah dengan sikap Ale. Jujur saja, Dermaga orangnya begitu lembut, dia sangat sabar dalam menghadapi Ale yang emosian. Lebih tepatnya, Ale kalau berbicara suaranya keras juga buru-buru, jadi terkesan suka marah. Ya meskipun memang benar kalau anaknya mudah sekali terpancing emosi.

Tapi, entah kenapa dalam beberapa hari ini sifat keduanya seperti tertukar. Mungkin Dermaga ingin mencoba meluapkan rasa kesalnya sesekali? Entahlah.

"Ke rumah lo," ujar Dermaga cuek tanpa peduli dengan Ale yang masih mengusap-usap bagian kepalanya yang sakit itu.

"Yaudah, berangkat sekarang aja," timpal Ale cepat. Ia tidak ingin menambah masalah lagi.

Tidak akan ada yang akan memarahi mereka di rumah Ale karena di sana tidak ada siapapun. Kedua orang tua Ale bekerja. Toh, mereka juga tidak akan pernah mau tahu apa yang dilakukan anaknya dan teman akrabnya itu karena sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka.

******

Anara menggosok-gosok tangannya dengan air di wastafel depan kelasnya, namun sedikit ke samping. Tangannya penuh dengan warna-warna cat yang sudah mulai mengering. Sekarang pembelajaran di kelasnya adalah seni budaya.

Pandangan Anara tidak tertuju ke tangannya, melainkan ke lapangan sekolah yang ada di depannya dengan tatapan kosong. Di dalam pikirannya sekarang adalah nilai ulangan yang dibagikan tadi pagi yang menurutnya kurang memuaskan. Hasilnya terus terbawa ke pikiran sampai sekarang. Sampai tidak sadar air di wastafel sudah meluber keluar.

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang