Haii temans!
Apa kabar?
Pencet bintangnya dan komen banyak banyak ya 🤩
Selamat membaca 💕
******
Semangkok es buah di atas meja makan tertangkap mata Anara. Warna-warna yang mencolok dari buah melon, nangka, semangka, dan jelly membuat Anara menelan ludahnya. Ditambah dengan cuaca yang begitu panas membuat tenggorokan yang tadinya terasa kering menjadi segar ketika melihat es buah itu.
Anara mengambil sendok di laci dapur, lalu beranjak ke kursi makan untuk duduk. Sendoknya sudah siap untuk menyelam ke dalam es buah dan mengambilnya untuk Anara makan.
"Heih!" Mulut Anara yang tadinya sudah terbuka lebar kini merapat saat melihat Nima datang ke arahnya.
"Tunggu Maga dulu, baru bisa kamu makan."
Dermaga lagi.
Coba saja jika yang ada di posisi sekarang adalah Dermaga. Pasti Nima sudah menyuruh cowok itu menghabiskan es buahnya tanpa memikirkan Anara. Bukan hanya tentang es buah, bahkan hampir semua halnya Dermaga diutamakan.
Sendok yang ada di tangan, ia letakkan di dalam mangkok. Anara menggeser kursinya ke belakang lalu berdiri.
"Maga itu ada tugas proyek besar. Jadi, kalau dia pulang bisa makan ini biar segar."
"Harusnya kamu itu belajar buat hal-hal yang besar kayak Maga biar jadi orang hebat. Masa nilai sisipan tengah semester kemarin aja dapat angka 8. Mau dapat apa nilai rendah segitu?"
Haruskah? Haruskah kembali menyangkut pautkan tentang itu sekarang. Oh ayolah. Ini tadinya hanya permasalahan es buah. Kenapa yang Nima katakan malah melebar kemana-mana?
Anara yang berada beberapa langkah dari Nima mendadak berhenti. Kedua tangannya meremat baju, pandangannya meluruh ke lantai. Anara berusaha mengatur napasnya saat telinga dan hatinya sudah mulai memanas. Tahan, Ra.
"Nara memang nggak sehebat Abang, Bu. Nara selalu coba kok tanpa Ibu suruh. Tapi, apa Ibu pernah sedikit aja lihat usaha Nara?" batinnya.
Saat sudah merasa tenang, Anara mengembuskan napasnya dan mengatakan dengan pasrah, "Iya, bu." Sangat berbanding terbalik. Dia tidak ingin memancing perdebatan dengan Ibunya. Toh, pada akhirnya Anara sendiri yang akan tersudutkan.
******
Ale memberikan satu kotak susu coklat kepada Dermaga yang saat ini sibuk menggoreskan tinta spidolnya pada buku dengan sampul warna hitam di sana. Buku yang dia gunakan untuk menggambar segala sesuatu yang tengah dia rasakan yang hanya bisa dia ungkapkan lewat gambar. Tidak ada yang bisa mengerti karena setiap halamannya berisi gambar dengan keterangan satu kata yang hanya Dermaga sendiri yang mengetahuinya.
"Awan gelap? Perasaan panas begini," celetuk Ale saat melihat coretan Dermaga di atas kertas sekarang ini.
Ale melihat ke arah langit, berpayung dengan tangan di atas alis untuk menghalangi sinar matahari menusuk ke matanya yang sekarang memicing. Sambil menyedot susu coklat yang ada di tangan satunya.
"Selesai." Cowok yang masih menggunakan seragam sekolah dibalut lagi dengan jaket hitam itu menutup bukunya dan memasukkan ke dalam tas sekolah miliknya. "Gelap, Le." Ale mengedikkan bahunya, tidak tahu 'gelap' apa yang Dermaga maksud.
"Kenapa nggak jadi terbang?" tanya Dermaga sambil meminum susu coklat di tangannya.
Ale membuang kotak susu yang sudah kosong itu ke tong sampah di dekatnya, lalu mendudukkan pantatnya di sebelah Dermaga. Matanya menatap sekeliling taman dengan pandangan kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMANTARA : Milik Kita
Teen Fiction"Bisa nggak, ya? Semua momen-momen milik kita terlukis juga tersimpan pada hamparan langit di atas sana." Manusia selalu menuntut untuk sempurna. Tidak banyak dari mereka yang mau menerima kelemahan setiap yang dipunya. Hanya sebagian kecil di antar...