17. Hadiah Istimewa

1.6K 228 25
                                    

Alooo malem semua

Absen sinii

Ramein komen dan vote juga jangan lupaa

Mett bacaa 💕

******

Dermaga menyingkirkan tangannya dari mata Anara yang tadinya ia tutup. "Buka matanya!"

Senyuman Anara yang tadinya begitu lebar langsung menciut seketika saat mengedarkan pandangannya.

Pemakaman.

"Katanya ada hadiah spesial. Kenapa kita ke sini?" tanyanya sedikit kesal. Dalam bayangan Anara, ia kira Dermaga akan membawanya ke suatu tempat yang indah. Ternyata ekspektasinya salah.

"Memang di sini hadiahnya." Dermaga melirikkan matanya ke arah bawah. Memberi isyarat kepada Anara untuk mengikuti arah matanya.

"Papa," ucap Anara begitu melihat gundukan tanah yang kering di depannya dengan nisan bertuliskan 'Riko bin Danuarta'.

Padahal Dermaga baru saja datang kemarin untuk menyiramnya. Cuaca begitu terik akhir-akhir ini yang mungkin membuat air di pemakaman cepat mengering.

Anara menekuk lututnya, membawa tubuhnya ke bawah untuk berjongkok. Tangan kanannya perlahan menggapai nisan. Ia sapukan ibu jarinya dengan begitu lembut. Tidak terasa. Setitik air mengalir dari sudut mata kanannya. Setitik air dari sudut mata kirinya juga ikut menyusul membasahi pipinya.

"Hadiahnya. Waktu sama papa." Dermaga ikut jongkok. Mensejajarkan tubuhnya dengan Anara.

"Udah berapa tahun kamu nggak ke sini. Pasti papa kangen banget sama kamu. Kamu juga, kan?" Anara mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari nisan itu.

"Nara udah ada di sini. Mau cerita. Mau ngeluh. Mau ngomongin abang. Mau apapun terserah Nara."

"Sekarang. Waktu Nara sama papa. Cuma berdua. Abang tunggu di sana." Anara mengikuti arah telunjuk Dermaga pada sebuah warung yang letaknya ada di seberang tempat pemakaman.

Saat terdengar samar-samar suara isak tangis yang tertahan. Dermaga langsung berdiri untuk pergi meninggalkan Anara sendiri di sana. Memberikan waktu untuk Anara bersama papanya.

Dermaga menunggu di atas motor yang ia parkirkan di sebelah warung yang ia tunjuk tadi. Jaraknya tidak begitu jauh sehingga masih bisa terlihat kegiatan Anara dari sana.

Tidak ada orang di sekitarnya setelah Dermaga bergerak pergi dari sana. Adapun dari mereka yang berziarah, jaraknya lumayan jauh dari Anara.

"Hai, Pa! Ini Nara." Suaranya tercekat di tenggorokan.

"Nara kangen sama Papa."

Tangis Anara pecah. Air mata mengalir begitu deras membasahi pipinya yang kini memerah. Kedua tangannya menggenggam erat gundukan tanah di depannya.  Anara menunduk begitu dalam.

"Maaf Nara baru ke sini sekarang. Nara takut, Pa."

"Nara takut ibu marah." Suara yang tadinya ia tahan, sekarang terdengar keras dan sangat lepas.

"Sejak papa nggak ada. Ibu jadi beda. Ibu marahin Nara terus. Setiap perbuatan Nara, selalu salah di mata Ibu," adunya sambil memainkan tanah menggunakan telunjuknya.

"Tapi, Pa. Abang bilang, Ibu kayak gitu karena sayang sama Nara. Mungkin cara penyampaiannya memang kurang tepat." Anara membuat suaranya menjadi lebih berat menirukan gaya bicara Dermaga.

"Papa kira Nara bakalan percaya atau nggak?" Anara menjeda kalimatnya seolah-olah memberi waktu pada papanya untuk menjawab.

"Nara percaya sama Abang," monolognya sebagai jawaban.

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang