47. Bumantara Milik Kita

1.5K 150 20
                                        

Alooo, dah lama ya? Mwehehe

Minta maap 🥺🙏🏻

Mett bacaa all 💗
Ku saranin puter musik di atas judul part ☝🏻

******

Ale, Lambang, Anara, dan Nima menoleh serentak ke arah tangga saat mereka mendengar suara yang begitu keras dari setiap tepakan telapak kaki pada lantai. Bagaimana tidak? Dermaga turun dengan mode terburu-buru dari lantai atas.

"Kenapa, Nak?" tanya Nima memasang raut muka khawatirnya sambil mendekat ke arah Dermaga yang sudah menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir.

"Apanya yang kenapa, Bu?" ucap Dermaga balik bertanya.

"Kenapa lo lari-larian begitu, dah? Dikejar setan?" Tangan Nima bergerak menggeplak bahu Ale. Membuat sahabat Dermaga itu meringis karena rasa panas yang tertinggal di bahunya. Tangannya bergerak mengusap untuk mengurangi rasa panasnya itu.

"Kenapa lari-lari, Nak? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"

Mata Dermaga bergerak menatap wajah Nima lalu beralih ke wajah-wajah lainnya di sana. Wajah ke empat orang yang kini berada di hadapannya ia tatap secara bergantian. Rasa khawatir yang tergambar pada setiap pasang manik mata mereka pada Dermaga membuat cowok itu merasa tak nyaman.

Dermaga tidak suka tatapan ketakutan mereka akan dirinya. Dermaga tidak ingin setiap detiknya digandrungi oleh tatapan-tatapan kasihan.

Dirinya tahu bahwa memang salah satu organ tubuhnya memiliki masalah. Dia tahu bahwa kesehatannya sudah tak bisa seratus persen sempurna. Tapi, Dermaga sangat tidak suka jika hal itu menjadi alasan orang-orang di sekitarnya memperlakukan seakan dirinya berbeda, seakan ia tak sanggup apa-apa. Seakan semua yang ia lakukan butuh pengawasan, butuh pengamanan, dan perlindungan agar dirinya baik-baik saja. Hanya karena Dermaga berbeda satu hal dengan mereka.

Dermaga benci. Ia tidak selemah itu.

Jika di sana hanya ada dirinya, Ale, dan Lambang, sudah pasti Dermaga akan sedikit meninggikan suara untuk menegur mereka. Menegur dan mengungkapkan dengan rasa tak nyamannya. Tapi, karena di sana ada Ibu dan adik perempuannya, Dermaga bisa menahan.

Cowok itu mengulas senyum tipis, lalu membuka suara. "Maga oke-oke aja. Lagian Maga lari karena nggak mau buat kalian terutama Nara nunggu."

Dermaga menekuk kedua siku lengannya membentuk sudut sembilan puluh derajat. "Nih! Maga sehat. Sehat banget malah," ucapnya untuk meyakinkan ke empat orang itu.

Disitu, tatapan khawatir mereka mulai mereda. Terganti dengan senyuman lega melihat Dermaga yang sedang beraksi menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

"Ini bukan lagi ajang unjuk otot, kan?" celetuk Lambang yang kemudian mendapat pelototan dari Ale. Tingkah dari kedua laki-laki itu selalu bisa mengundang gelak tawa. Nima, Anara, dan Dermaga, mereka tertawa tergelitik melihat tingkah dua manusia rival itu.

"Udah udah! Entar aja lanjutin berantemnya pas udah pulang. Kita, kan, mau merayakan ulang tahun adek gue yang tersayang ini." Tangan Dermaga bergerak mengusak rambut lembut milik Anara.

Ale yang tadinya melempar tatapan bersaing ke Lambang mendadak melempar tatapan itu ke Dermaga. "Adek gua!" timpalnya tak mau kalah dari Dermaga.

"Adek gue!"

Astaga. Dermaga dan Ale. Mereka berdua mulai lagi ...

"Ya ampun sekarang malah gantian." Anara menepuk jidatnya.

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang