24. Harapannya Kembali

1.4K 227 7
                                    

Absen absen!

Ramein komen sama vote bintangnya pokoknya 😠

Karena...

Baca aja deh 🙏🏻

******

"Ha—"

"Halo."

Suara itu...

"Bang Ale?"

Anara yakin. Dia mendengar dengan sangat jelas suara khas milik Ale dari seberang sana. Tidak salah. Suara itu memang milik Ale.

"Bang Ale kemana aja? Na—"

Tut... Tut... Tut...

Diputuskan sepihak?

Anara melihat di layar ponsel yang terlihat log panggilan berakhirnya.

Satu tahun lebih lamanya. Anara tidak tahu bagaimana rupa, apa yang sedang dijalani, dimana, semuanya. Anara tidak tahu tentang Dermaga dan Ale selama itu.

Bayangkan sudah berapa banyak rindu yang ia tahan. Sudah berapa banyak rindu yang menumpuk dalam hatinya. Berapa banyak rindu yang menginginkannya untuk kembali bertemu.

Mendengar suara Ale yang baru saja ia dengar di telepon. Membuat harapan kecilnya yang telah redup seakan menemukan kembali cahayanya. Harapan itu seakan hidup. Bukan hanya harapan, tapi jiwanya juga ikut hidup.

Namun, ditutupnya telepon itu. Pintu harapan Anara rasanya juga ikut tertutup. Bahkan, seperti dipaksa menutup dengan kasar. Harapannya lenyap hanya dalam beberapa hitungan detik.

"Pasti Bang Ale udah pulang, karena itu dia telepon. Mungkin ditutup karena cuma mau mastiin gue ada di rumah atau enggak biar bisa ketemu. Pasti Bang Ale mau ngasih kejutan karena dia datang."

Anara menghapus air mata yang masih di ujung pelupuk matanya. Dia berusaha membangun keyakinannya. Kembali membangun harapannya. Ia menghela napas panjang sebelum bangkit dari kasurnya.

Bahagia sekaligus takut akan kecewa karena harapannya, berpadu pada yang ia rasakan. Tapi karena keyakinan yang lebih besar, mendorongnya untuk pergi ke rumah Ale. Ingin bertemu niatnya.

******

"Kamu sebenarnya dimana? Udah satu tahun, kenapa nggak balik ke rumah? Kapan pulang, Nak?"

Anara melambatkan langkahnya yang sempat berlari. Mendengar Nima yang berbicara dengan foto Dermaga yang terpajang di dinding ruang tamu. Melihat air mata yang menetes membasahi pipi yang sudah ada sedikit kerutan di wajah wanita itu, rasanya sesak menyerang dada Anara.

"Ibu..." Tangan Anara menyentuh bahu Ibunya itu. Dengan perlahan ia usap lembut. Kedua sudut bibirnya ia paksakan untuk terangakat meskipun sedikit gemetar karena menahan tangis. Anara berusaha menyalurkan kekuatan untuk Ibunya.

"Mana? Katanya kamu mau cari Dermaga."

"Sampai satu tahun kamu masih belum juga tahu keberadaan Dermaga."

Yang baru saja dilakukan Anara, bukannya diindahkan oleh Nima. Malah mendapat panah tajam dari perkataannya yang langsung melesat tepat menusuk dadanya.

"Selama satu tahun. Nara nggak pernah berhenti untuk cari Abang, Bu. Tapi, Nara nggak bisa nyari informasi apapun karena semua jalan komunikasi Anara buat menghubungi Abang udah nggak ada."

"Ponsel kamu, kan, canggih. Banyak orang yang pakai ponselnya buat cari tahu macam-macam. Masa ngggak bisa?

"Udah, Bu. Memang nggak bisa."

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang