34. Setara

1.5K 219 15
                                    

Aloowww Cilyyy!

Part ini lumayannn, kalian harus bener bener ya bacanya!

Kalau memang nggak bisa baca sekaligus gaapaa, yang penting bacanya bisa tau, paham, dan ngerti 🥰

Langsung ajaa, met bacaa 💕

******

Dermaga membuka mata. Tubuhnya bangun terjingkat dari tidurnya. Kini posisinya duduk. Mata Dermaga mengedar ke sekeliling ruangan.

Ruangan yang sama.

Ruangan yang ada pada bayangan dalam benaknya sebelum ia terbangun. Sebuah layar monitor yang ada di samping ranjangnya. Alat pendeteksi jantung yang mirip seperti kabel panjang yang menempel di tubuhnya yang terhubung dengan monitor itu. Dirinya yang sekarang berada di atas ranjang khas pasien rumah sakit. Semuanya sama.

Astaga. Dermaga hanya bermimpi.

Tunggu! Apa sekarang ia masih bermimpi? Kedua jari di tangan satunya mencoba untuk mencubit lengan di tangan yang lain.

"Hssstt," desisnya merasakan sakit yang nyata pada lengannya. Artinya, ia sudah benar-benar kembali pada dunia kenyataan.

Tapi, mimpi yang baru saja ia lewati dalam tidurnya. Apakah itu benar? Apakah ia benar anak adopsi? Apakah ia benar tidak sedarah dengan Anara?

Dermaga meremat selimut yang hanya membalut kakinya. Tatapannya kosong. Begitu banyak yang bergeming di dalam kepalanya. Bahkan, sampai Nima dan Nadia masuk ke dalam ruangan, cowok itu tidak mengetahui.

"Maga!" Nadia menjentikkan jarinya tepat di depan mata Dermaga. Membuat cowok itu membuyarkan lamunannya.

"Mikirin apa?" tanya Nadia sambil meletakkan beberapa lembar kertas pada troli instrumen atau troli medis yang ada di samping monitor. Sepertinya Nadia bisa membaca raut wajah Dermaga yang terlihat seperti orang bingung.

Mata Dermaga beralih menatap Nima yang kini sudah duduk di kursi yang ada di samping ranjang sisi lainnya.

"Maga anak Ibu, kan?" Pertanyaan Dermaga yang tiba-tiba berhasil membuat Nima terkejut sekaligus bingung.

"Kenapa tiba-tiba tanya itu, Nak?"

"Nggak apa-apa. Ibu jawab aja."

Mata Dermaga berbinar. Seakan ada harapan untuk jawaban yang ingin ia dengar dan kepasrahan untuk yang tidak ia inginkan.

Yang pasti di dalam hatinya. Sedarah atau tidak. Nima tetaplah Ibunya. Anara tetaplah adik perempuannya. Dan keluarga kecil itu tetaplah keluarga yang selamanya miliknya.

Tidak tau kenapa. Nima merasakan gemetar kecil, rasa ketakutan pada diri Dermaga saat ia memegang lengan putranya itu. Nadia pun seperti ikut merasakan ketegangan itu saat tak sengaja melihat Dermaga yang meneguk ludah yang terlihat dari lehernya.

"Kamu anak Ibu. Kamu lahir dari rahim Ibu. Rahim yang sama dengan Nara."

Ya ... Tentu saja Dermaga adalah putra kandung Nima. Anak sulungnya. Anak pertama yang keluar dari rahim wanita itu sendiri.

Bagaimana Dermaga bisa sampai berpikir jauh seperti itu?

"Kamu memang anak Ibu. Kenapa tiba-tiba kamu mikir kayak gitu, Nak?"

Sebelum bersuara, Dermaga menghela napasnya lega. Hati yang tadinya terasa terjerat sesak, rasanya menjadi begitu bebas tenang.

Astaga. Apakah dia sungguh sangat takut? Sampai muncul mimpi seperti itu dalam tidurnya.

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang