13. Sebuah Alasan

1.7K 235 11
                                    

Heyoww malam gais 🤟

Absennn

Tanpa lama lama, eits sebelum itu bintang sama komennya jangan lupa ya, karena itu ak jadi makin semangat nulisnya.

Okeii, selamat membacaa mantemanku 💗

******

"Maga pulang." Dermaga meletakkan sepatunya di atas rak sepatu yang persis di belakang pintu rumahnya.

Setelah bermain sebentar di taman tadi. Mendapatkan charge semangat dari anak-anak kecil yang tertawa bersamanya. Dermaga kembali untuk mengantarkan paket ke alamat-alamat yang sudah tertera dalam listnya. Sedangkan Ale langsung pulang ke rumahnya.

Hari ini terik sekali cahayanya. Meskipun saat ini langit sudah gelap tapi hawa panasnya tidak hilang. Rasanya seperti dikelilingi oleh api. Dermaga mengusap keringat di keningnya yang terus menerus bercucuran. Rasanya Dermaga ingin sekali cepat menemukan air untuk memberi pasokan tubuhnya yang terasa kering.

Mata lelah itu terlihat sedikit berbinar saat pandangannya berhenti ke arah perempuan yang ada di ruang keluarga. Tertidur di atas buku-bukunya dengan tangan sebagai tumpuan kepalanya di atas meja. Anara. Dia pasti tertidur saat bergelut dengan tugas-tugasnya.

Melihat wajah pulas milik Anara yang berada sekitar sepuluh langkah darinya itu membuat sudut bibir Dermaga tertarik. Hanya dengan melihatnya, lelah yang Dermaga rasakan langsung memudar.

"Eh anak ibu udah pulang." Nima keluar dari kamarnya yang berada di sebelah tangga sambil menguncir rambut sebahunya itu.

Nima mengikuti arah pandangan Dermaga. "Pantes nilainya turun. Belajar aja nggak serius malah ditinggal tidur," ketus Nima bersedekap dada.

"Maga yakin Nara berusaha keras untuk belajar. Dia mungkin kecapekan, Bu, dan akhirnya ketiduran. Bukan sengaja tidur," sanggah Dermaga yang sebenarnya di dalam lubuk hati kecilnya tidak terima dengan tuduhan Nima terhadap adik perempuannya itu.

"Capek ngapain? Cuma belajar seperti itu aja capek. Yang capek tuh Ibu. Kerja banting tulang buat biayain hidup."

"Harusnya dia semangat belajar biar nilainya tinggi, dapat ranking, kalau bisa ranking satu. Bukannya malah malas-malasan!"

"Memangnya capek ngapain?" Nima mendengus kasar, lalu berjalan menuju ke dapur meninggalkan Dermaga.

"Capek itu bukan cuma tentang fisik yang biasa kita lihat. Hati dan pikiran juga punya lelahnya." Dermaga memelankan suaranya.

"Coba sedikit aja dulu, Bu. Untuk menghargai dan mengerti Anara," gumam Dermaga.

Anara menggeliat. Tangannya menggosok-gosok kedua mata yang masih tertutup itu. Pergerakan Anara dapat terlihat dari ekor mata Dermaga.

Dermaga baru ingat kalau antaranya dan Anara kurang baik. Pun saat Anara menoleh kepadanya, lalu Dermaga menarik senyuman. Anara langsung mengalihkan pandangan ke buku-buku yang ada di meja. Membuat Dermaga mengurungkan niatnya untuk menghampiri ke sana.

Cowok itu ada di tangga yang sudah lumayan di atas. Anara yang tadinya pura pura tidak melihat, lehernya sampai berbunyi karena tolehannya yang kencang untuk mengikuti punggung cowok itu sampai masuk ke kamarnya.

Anara memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas pelan. Sebenarnya dia sudah terbangun sejak Dermaga membuka pintu rumah.

Ya. Dia mendengar seluruh percakapan mereka berdua.

Dan... Dia juga mendengar kalau kakak laki-lakinya itu membelanya di depan Nima. Memang selalu Dermaga lakukan untuknya.

******

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang