42. Ingin Kembali

1.9K 181 50
                                    

Alowww!

Ramein komennya guiss 🫵🏻

Jan lupa kasih bintang jugaa!!

Met baca all 💗

******

Adek...

Suara lembut itu. Panggilan itu. Sampai ke telinga Anara.

Merasakan adanya pergerakan yang mendekat ke arahnya. Anara menghembuskan napas lelah sebelum mengangkat kepala dengan tenaganya yang tersisa.

Dermaga menarik kembali tangannya yang ingin meraih Anara. Matanya bertemu dengan mata menggantung milik cewek yang kini menatapnya malas.

Sepersekian detik, canggung rasanya di antara mereka. Sebelum akhirnya Anara membuka mulutnya mengatakan, "Gue bilang tadi udah selesai kan hari ini. Kenapa lo masih kesini?"

Sekuat apapun Anara mencoba untuk menyembunyikan gemetar dari suaranya. Tetap saja ada beberapa kata keluar yang terdengar jelas gemetarnya karena tidak bisa Anara kontrol. Dan tentu, Dermaga menyadari hal itu.

Iya. Pannick attack Anara kembali kambuh.

"Masih mau ngapain lagi? Gue rasa udah cukup. Lo bisa keluar dari kamar ini dan tinggalin gue sendiri," perintahnya dengan suara yang semakin tercekat di tenggorokan.

Tidak ada balasan dari Dermaga. Cowok itu hanya menatap lekat wajah adik perempuannya.

Kalimat terakhir Anara seakan menjadi penutup yang mengisyaratkan untuk tidak ada lagi pembicaraan, sekaligus penegasan bahwa saat ini dia hanya ingin ruang untuk sendiri. Wajahnya yang terlihat kusut itu menunjukkan bahwa dia sudah sangat lelah dan ingin bernapas. Ia tidak ingin diganggu, lagi, untuk saat ini.

Dermaga menangkap kalimat Anara seperti itu.

Cowok itu datang ke kamar Anara dengan niat hanya untuk memastikan keadaan adiknya itu, tidak dengan niat lain, apalagi untuk kembali membahas hal yang telah terjadi di ruang tengah beberapa jam yang lalu.

Meskipun begitu, Dermaga tidak ingin membuat Anara lebih lelah lagi karena dirinya yang tetap berada di sana. Dermaga harus keluar dari kamar Anara, membiarkan adiknya itu untuk bernapas lega dengan ruang dan waktunya sendiri.

Anara kembali menyisipkan kepalanya di tengah kedua tangan yang dilipat di atas lututnya. Sementara, Dermaga mengangkat tubuhnya untuk berdiri.

Suasana saat ini begitu kontras dengan suasana saat di ruang tengah tadi. Jika di ruang tengah tadi seakan panas mendidih, maka di antara Dermaga dan Anara seakan seperti es di kutub utara.

Prakk!

Anara mendengar sesuatu jatuh dari arah meja riasnya. Tapi, ia tidak memberikan respon apapun. Dia masih diam dalam posisinya. Ia tahu bahwa Dermaga masih belum keluar dari kamarnya. Jadi, kemungkinan sesuatu yang jatuh itu karena Dermaga.

Di ambang pintu, sebelum Dermaga benar-benar meninggalkan kamar Anara sambil satu tangan cowok itu memegang gagang pintu. Ia menoleh kembali ke Anara.

"Kalau nanti Abang punya kesempatan lagi untuk boleh ngobrol sama Adek. Bilang ya?"

"Kapanpun," imbuhnya sambil menutup rapat pintu kamar Anara.

Mendengar langkah kaki Dermaga sudah tidak terdengar lagi di telinganya. Anara mengangkat kepalanya. Air mata sudah mengalir membasahi pipinya.

Sedari tadi. Anara menahan tangisnya. Sungguh sesak. Karena itu ia memutuskan menenggelamkan wajahnya.

Tidak apa jika tadi ia terlihat lelah oleh Dermaga. Tapi, ia tidak ingin terlihat lemah dengan meneteskan air matanya di depan Dermaga.

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang