Alooww! Gimana kabarnya nih?
Absen dulu sini laa
Akhirnya update lagi xixixi
Wajib ramein komen pokonya mah 😠
Jangan lupa klik bintang juga!
******
"Adek capek, Pa."
Sudah satu jam lamanya Anara duduk dengan lututnya yang menekuk untuk dibuat sebagai tumpuan dagunya. Sejak tadi ia duduk di samping makam almarhum Papanya, baru sekarang dia membuka mulutnya untuk bersuara. Itupun hanya tiga kata.
Sepulang dari sekolah, Anara tidak langsung pulang ke rumah. Anara lebih memilih untuk menghabiskan waktu di makam Papanya. Hanya sekedar untuk menumpahkan rasa lelah yang ia pendam.
Matanya sangat sipit, bahkan hampir tidak bisa terbuka. Hidungnya merah dan beberapa kali cairan mengalir dari sana. Rambutnya juga terlihat acak-acakan. Entah sudah berapa liter air mata yang ia tumpahkan.
Buliran air mata yang membasahi pipinya menjadi perantara dari kata yang tak sanggup dia jadikan untuk bercerita. Buliran air mata sudah cukup menjelaskan bahwa semesta terasa begitu berat untuknya sendirian.
Mata Anara menatap ke langit. Menangkap gumpalan awan hitam. Sepertinya tak lama lagi akan turun hujan.
"Adek pulang dulu, ya? Besok-besok ke sini lagi." Tangannya menyeka air mata yang masih menempel pada kulit wajahnya.
"Dah Papa! Jangan kangen. Hahaha...," tawanya hambar.
Anara berdiri dan menepuk-nepuk rok abunya. Membersihkan dari tanah dan rerumputan kering bekasnya duduk selama kurang lebih satu jam tadi. Setelah itu, Anara melambai-lambaikan tangannya pada makam almarhum Papanya untuk berpamitan, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
******
Hujannya tidak kunjung reda. Air hujan yang turun malah semakin deras. Jatuhnya malah semakin membuat sakit saat menyentuh permukaan kulit. Anara mengurungkan niatnya untuk menerobos hujan. Jika dilanjutkan, ia takut terjadi sesuatu karena begitu rapatnya hujan sampai jalanan hampir tidak terlihat oleh matanya.
Anara menepikan motornya di pinggir jalanan kosong yang ada tanaman tanaman sebagai pemisahnya. Entah itu dibuat untuk pejalan kaki atau memang sengaja dibuat kosong dan lumayan luas di sana.
"Fyuhh..." Anara menghela napasnya saat melepaskan helm yang membuatnya bisa menghirup udara segar dari hujan. Sedikit ada rasa ragu di dalam hatinya saat berhenti di sana. Apakah boleh memijakkan kaki di sana atau tidak? Pasalnya, tidak ada orang lain selain dirinya yang berhenti di tempat itu. Mereka berteduh di bawah pohon-pohon besar yang ada di seberang atau di depan ruko-ruko yang ada di jajaran sana.
Oh iya. Berteduh. Anara lupa kalau sedang hujan. Tidakkah bodoh malah menepikan motor di tempat yang tak terhalang dari hujan. Tidak heran jika banyak orang yang memusatkan perhatiannya pada Anara.
"Enggak apa-apa lah," katanya. Ada rasa malu yang berusaha ia tutupi. Ia berusaha tidak peduli agar tidak terlihat bodoh. Ya yang sebenarnya memang sudah terlihat.
Saat mata Anara memendar ke sekelilingnya. Cewek itu merasa tidak asing dengan jalanan dan tempatnya berdiri sekarang.
"Bang Maga," gumamnya.
Tempat dimana Dermaga membawa Anara merasa terbang di langit-langit saat digendong di belakang punggung Dermaga.
Tempatnya melepas lega tawanya yang lebar bersama Dermaga. Tanpa peduli tatapan-tatapan mata yang memiliki banyak makna mengarah kepada mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMANTARA : Milik Kita
Novela Juvenil"Bisa nggak, ya? Semua momen-momen milik kita terlukis juga tersimpan pada hamparan langit di atas sana." Manusia selalu menuntut untuk sempurna. Tidak banyak dari mereka yang mau menerima kelemahan setiap yang dipunya. Hanya sebagian kecil di antar...