49. Why(?)

862 105 40
                                    

Aloowww!

Jangan lupa vote sama komennya yaa 😁

Met baca all 💕

******

"A—"

"Bang?" Kedua alisnya saling menaut.

Melihat yang ada dalam layar bukan Dermaga melainkan Ibunya, Anara menjadi bingung. Di kepalanya bertanya-tanya, mengapa Ibunya menggunakan ponsel Dermaga untuk menghubunginya? Jika memang Nima ingin menghubunginya, bukankah bisa melalui nomornya sendiri? Kenapa menggunakan ponsel Dermaga? Lalu Dermaga kemana?

"Ibu? Kok Ibu pakai handphonenya Abang? Abang kemana?"

Eh. Bukannya Dermaga harusnya menjemputnya? Seharusnya ponsel itu di tangan Dermaga yang sedang menuju ke sekolah Anara, kan? Tapi, kenapa ini ada pada Nima? Apa Dermaga tidak sengaja atau memang sengaja meninggalkan ponselnya di rumah?

"Abangmu lagi sama Ibu, dia masih Ibu minta tolongin. Jadi, kamu dijemput sama Ale, ya. Abangmu tadi minta tolong biar Ibu kasih tau ke kamu."

Oh astaga. Anara sudah berpikiran berlebihan saja. Padahal bukan apa-apa.

"Siap, Bu." Pandangannya terangkat saat mendengar suara motor mendekat ke arahnya. Kebetulan, Ale sudah datang.

"Ibu! Ini Bang Ale udah sampai." Anara bergeser mendekat sambil mengarahkan ponselnya ke depan Ale agar cowok itu bisa masuk dalam frame sehingga terlihat oleh Nima.

Nima menganggukkan kepalanya. "Hati-hati, ya, pulangnya! Ibu tutup dulu teleponnya."

Anara mengacungkan jempolnya mantap dengan senyum cerianya. "Siap, Bu! Tunggu Nara sama Bang Ale meluncur pulang! Dah, Ibu!" Tawa dan lambaian kecil mengakhiri kalimat gadis itu sekaligus menutup telepon.

Setelah mematikan ponselnya, Anara menepuk bahu kiri Ale. "Ayo, Bang!" Diangguki oleh Ale.

Cewek itu bergerak ke jok belakang lalu naik. Dari depan, Ale mengulurkan helm untuk dipakai Anara. Setelah mereka siap, Ale menancap gas motornya untuk pergi.

******

Rasa panas menyengat ke permukaan kulit, rasanya begitu membakar. Ditambah padatnya jalan yang penuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat, juga pejalan kaki. Jika diibaratkan pernapasan, paru-paru seakan terhimpit sampai untuk menghirup udara pun rasanya begah. Hal ini sudah biasa untuk orang-orang ibu kota.

Hampir dua puluh menit Anara dan Ale berada di jalan raya. Motornya sama sekali tidak bergerak karena terjebak dengan kemacetan di sana. Suara klakson saling sahut-sahutan sebab semua pengendara sudah tak sabar untuk segera jalan, terutama pengendara motor. Tubuh mereka tak terhalang apapun lagi selain pakaian yang mereka pakai untuk melindungi dari panasnya matahari yang langsung menyentuh permukaan kulit mereka.

Di tengah panasnya dalam kemacetan ini, sedari tadi Anara berusaha menahan tawanya. Lantaran Ale yang tidak berhenti mengoceh sejak motornya berhenti terhalang macet. Di sisi lain dari Ale yang mudah sekali naik pitam, dia juga masih punya bisa menahan agar tak meledakkan emosinya di sembarang tempat. Dalam hatinya memang sudah terasa dongkol melihat padatnya kendaraan-kendaraan serta bisingnya suara dari klakson-klakson dari belakang. Seakan secara tidak langsung mereka protes pada pengendara yang ada di depan untuk meningkatkan kecepatannya.

"Gua juga ogah kali lama-lama di sini. Lo kira lo doang yang pengin cepat-cepat jalan. Semua orang di sini juga pengin lancar perjalanan."

"Liat noh! Full, gimana nggak macet?!" cerocosnya sembari melihat ke kaca spion lalu bergantian ke arah depan seolah-olah ia mengomeli pengendara yang lain secara langsung. Hembusan napas kasar di akhir kalimat Ale menandakan bahwa cowok itu sudah sangat lelah menghadapi situasi ini.

BUMANTARA : Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang