Aloo guiss 🙌🏻
Apa kabar nih? Semoga baik yaww
Langsung aja lah yak
Eitss! Jangan lupa ramein komennya 😾🫵🏻
Met baca all 💕
******
Dermaga paham pasti akan ada waktunya Anara tahu segalanya.
Tetapi, secepat ini?! Ini bahkan lebih cepat daripada yang selama ini Dermaga perkirakan.
Sungguh. Saat ini Dermaga was-was. Bukan karena Anara sudah mengetahui tentang apa yang ia sembunyikan selama ini. Tapi, dia was-was karena Anara mengetahui segalanya dari pengamatannya tentang mereka, bukan dari Dermaga sendiri.
Pernah dengar bukan? Mengetahui dan mendengar suatu kejujuran dari seseorang yang bersangkutan meskipun memang pahit, setidaknya kita tahu dari orang itu sendiri. Tapi, jika kita mengetahui sesuatu tentang orang itu dari orang lain. Maka, kita akan mendapat bonus rasa sakit yang lebih dalam kepahitan itu.
Nadia dan Nima memang terkejut saat mendengar Anara mengatakan kalimat terakhirnya. Tapi, mereka tidak sekaget Dermaga, Ale, dan Lambang yang kini saling melempar tatap tertegun dengan kalimat yang Anara lontarkan. Pasalnya, Anara sudah memberi tahu Nima dan Nadia bahwa ia sudah mengetahui semuanya dan akan menyelesaikannya. Meskipun, tidak begitu detail apa yang akan Anara bahas ataupun ucapkan. Setidaknya, Nima dan Nadia sudah ada prediksi.
Sementara, ketiga laki-laki yang masih membeku di tempat mereka masing-masing itu saling memberi isyarat melalui mata. Seakan mereka saling melempar perintah untuk menanggapi Anara dari mata mereka yang membesar dan sekelibat melirik Anara.
"Maksud lo apa? Sakit apa?" Dermaga memberanikan dirinya untuk membuka suara.
"Ck. Setelah semuanya dengan begitu jelas. Lo masih tetap pengin pura-pura seakan nggak tau apa-apa?"
"Ingat! Gue udah bilang kalau gue bukan cuma sekadar ganti nama panggilan dengan 'Ara'. Tapi, dengan panggilan Ara, gue akan buktikan kalau gue bisa tanpa Anara yang lalu," ungkap Anara.
Amarah dan rasa kesal bergejolak di dalam dada Anara. Tangannya menyilang di depan dada, tapi tidak diam. Jari-jarinya meremat permukaan lengannya. Begitu kuat, bahkan rasa perihnya mengalir sampai ke tulang-tulang.
Tempo napas Anara mulai tidak beraturan. Rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya membuat matanya memanas. Entah sejak kapan, air mata Anara sudah membendung sampai penglihatannya kabur. Cewek itu tidak ingin air matanya lolos begitu saja.
Dirasa tak lagi tahan, Anara langsung membalikkan tubuhnya membelakangi mereka berlima yang masih tetap diam di sana.
"Gue cuma mau nyampein itu aja, sih. Dan gue rasa juga udah cukup jelas semuanya. Nggak perlu—"
Suaranya yang tercekat lolos keluar dari mulutnya. Tapi, Anara berusaha untuk menahan sekuat tenaga. Ia diam sejenak untuk mengambil napas. Lalu kembali membuka suara dengan begitu hati-hati, agar tidak lagi keluar suara yang membuat dirinya tertangkap bahwa sedang lemah.
"Nggak perlu pura-pura. Nggak perlu ada yang disembunyiin. Gue udah 17 tahun. Gue bukan anak kecil yang bisa diboongin dengan kata 'nggak ada apa-apa kok' padahal udah jelas anak kecil itu lihat dua tangan di belakang tubuh yang lagi nyembunyiin sesuatu. Karena dibilang nggak ada apa-apa, akhirnya dia percaya lalu pergi dan langsung lupain gitu aja."
"Gue bukan lagi anak kecil yang kayak gitu."
"Gue udah bisa tau banyak hal."
Sebenarnya, masih banyak yang ingin Anara katakan. Tetapi, semakin Anara banyak berkata, semakin sesak juga dadanya. Semakin susah baginya membendung air mata yang sudah mulai keluar di ujung matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMANTARA : Milik Kita
Teen Fiction"Bisa nggak, ya? Semua momen-momen milik kita terlukis juga tersimpan pada hamparan langit di atas sana." Manusia selalu menuntut untuk sempurna. Tidak banyak dari mereka yang mau menerima kelemahan setiap yang dipunya. Hanya sebagian kecil di antar...