61. Sumpah

381 36 21
                                    

Seorang pria berparas tampan dan berbahu lebar terbaring tak berdaya diatas ranjang berwarna putih. Bunyi alat-alat medis di ruangan itu memecah kesunyian. Jika di dengar semakin lama suara itu tampak mengerikan. Suara yang bersahutan dari alat satu dengan alat lain membuat sebuah kebisingan yang siapapun akan merasa terganggu. Termasuk orang yang sedari tadi berada di sana sendirian. Kedua alisnya bertaut, matanya mengerjap-erjap karena cahaya lampu yang terlalu terang di ruangan yang serba putih ini. Saat kedua bola matanya terbuka lebar, langit-langit kamar pasien menjadi hal pertama yang ia lihat. Dalam diam pria berparas menawan itu merenung. Ia pun ingat telah mengalami kecelakaan hebat beberapa waktu lalu. Namun, anehnya, ia tak merasakan sakit diseluruh badan. Bahkan tubuhnya terasa lebih ringan. Disela semua ingatan yang terputar kembali itu, Baek Seokjin terperanjat lalu bangkit dari tidurnya kala ia ingat bagaimana keadaan sang istri, Park Hana 

“Hana-ya.” 

Itulah kata pertama kali yang terucap dari mulut Seokjin. Tak banyak berpikir, pria itu langsung beranjak dari ranjang pasien berniat untuk melihat keadaan Hana. Jika tak ada dirinya di samping istri lalu siapa yang akan merawatnya nanti. Mengingat belum ada keluarga yang tahu tentang kondisinya. Itulah yang Seokjin pikirkan. Saat pria itu berjalan mendekati pintu, ada sebuah jendela kaca besar yang bisa membuat orang dari luar melihat keadaan kamar pasien. 

“Omo, kamjagiya!” keluh Seokjin yang tiba-tiba melihat wajah besar Namjun berdiri tepat di luar jendela kaca. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena terkejut. Dengan napas yang ngos-ngosan sembari memegang dadanya, Baek Seokjin mengomel tak karuan. “Yak, Seo Namjun apa kau gila? wajahmu yang besar itu begitu membuatku kaget dan takut. Aku pikir kau hantu. Lagipula, untuk apa kau berdiam diri di situ, Namjun-ah? Hei, kenapa tampangmu sesedih itu?” tanyanya bingung.

Ada yang aneh dari sikap Namjun kali ini. Pria berlesung pipi itu seolah tak melihat siapapun walau ada Seokjin yang berdiri tepat di hadapannya. Karena merasa tak biasa, Seokjin melambai-lambaikan tangannya di depan sang sahabat. Respon Namjun ternyata sama saja. Dosen muda itu malah lebih fokus melihat ke titik tertentu. Dari sini Seokjin sudah merasa ada yang tak beres. Kenapa? Apa Namjun tak bisa melihatku? Apa kacanya tampak gelap dari luar? Ah, sepertinya tidak mungkin, batin Seokjin yang masih saja melihat gerak-gerik Namjun karena jelas sekali bahwa sahabatnya ini sedang melihat sesuatu dari luar. Rasa penasaran yang tak terbendung lagi membuat Seokjin ikut melihat ke titik pandang seorang Seo Namjun. Perlahan tubuh kekarnya berputar seraya menatap sesuatu. Kedua matanya membulat, mulutnya menganga lebar, dan tubuhnya terasa lemas mendadak melihat fakta yang terpampang nyata di depan mata.

Dengan sangat jelas tanpa rekayasa apapun. Seokjin bisa melihat dirinya sendiri sedang terbaring lemah diatas ranjang pasien dengan mata terpejam. Kepala yang terbalut perban dan beberapa alat bantu untuk membuatnya tetap hidup. Pria berparas rupawan itu menelan ludah, ia memberanikan diri untuk mendekati tubuhnya yang tak berdaya. Siapa tahu apa yang ia lihat hanyalah halusinasinya saja. Pelan-pelan Seokjin mencoba meyakinkan diri sendiri dan berharap di setiap langkahnya bahwa semua ini tidak benar. Namun, harapan hanyalah harapan. Ada banyak kemungkinan bahwa kenyataan tak berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Hanya dengan jarak beberapa sentimeter saja Seokjin bisa melihat dengan jelas wajah tampannya penuh goresan luka dan memar. Bunyi alat ECG monitor di ruangan luas ini membuat suasana semakin mencekam dan menakutkan. Seokjin tak bisa berkata apa-apa lagi. Pria itu hanya diam menatap wajahnya dengan perasaan sedih. Matanya pun basah karena air mata yang menetes tanpa sengaja.

“Apa aku sudah mati? Ah, tentu saja tidak. Kalau aku mati pasti sudah berada di rumah duka. Lebih tepatnya aku mengalami koma,” ucapnya pada diri sendiri.

     Baek Seokjin menghela napas karena pasrah. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan? Mati tidak hidup juga tidak. Kenapa Tuhan tak mencabut saja nyawanya? Setidaknya dia tahu kemana ia akan pergi tapi jika kasusnya begini bagaimana? Tak ada seorangpun yang bisa melihat dan berbicara dengannya di dunia ini. Lalu untuk apa dia tetap disini? Apa mungkin ini adalah hukuman dari Tuhan untuknya karena sudah bertindak jahat kepada orang yang begitu tulus mencintainya. Entahlah, Seokjin tak punya dugaan apapun. Sekarang ia hanya pasrah menerima semuanya. Pandangan sendunya kini menatap Namjun dari kejauhan. Pria berotak jenius itu pun menangis. Sebuah tangisan tulus seorang sahabat yang selalu menemaninya selama belasan tahun.

 BROKEN (MARRIAGE LIFE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang