1.7 Pagi dan obrolan membosankan

9 3 0
                                    

Reunian hari Sabtu dan bermain full selama dua hari bersama Rina dan Roro membuat tubuh Lara runtuh pagi itu. Akan tetapi seperti kegiatan wajib, gadis itu tetap terbangun tepat waktu-nya untuk Ibadah pagi, lalu mandi dan pergi membuka dan merapikan warung, kemudian berangkat kerja di pukul setengah 7 pagi.

Namun saat Lara sudah masuk ke dalam warungnya dan berniat membukanya dari dalam—soalnya memang area kunci diletakkan di dalam demi keamananan warung—kalau kata Ayah begitu.

"Telat," omel Ibunya sekilas saat melihat si bungsu yang sudah selesai mandi dan bersiap sekalian untuk berangkat kerja.

Gadis itu mencebikkan bibir. "Kan aku mau kerja, Bu. Ya wajar agak lama dandannya, harus rapi dan wangi. Setidaknya muka aku gak kumuh," ucap perempuan berumur 22 tahun itu, mulai merapikan rak minuman di depan yang tampak berantakan.

Ibu mendengkus. "Alasan. Kan bisa bangun lebih pagi. Mandi tuh sebelum salat! Biar lebih cepet. Dibilangin susah banget," wanita itu tetap menggerutu dan menyalahkan Lara seakan gadis itu masih seorang perempuan yang pengangguran.

Lara langsung berdiri, tenaganya langsung habis kembali mendengarkan ocehan Ibu-nya. "Terserah, deh."

"Tuh, diomongin orangtua malah terserah. Gak ada sopan santunnya jadi anak. Disekolahin sampai kuliah, kelakuan kayak anak gak sekolah!"

"Bu, aku lagi gak mau berantem pagi, pagi," Lara mengalah, mengambil satu buah roti yang hari ini sudah masuk tanggal kadaluarsa, tidak lupa satu kotak susu rasa strawberry. "Aku mau ambil tas, berangkat cepet aja pagi ini," gadis itu segera masuk ke dalam rumah kembali sambil membuka bungkus roti rasa cokelat pisangnya.

Selalu begitu setiap harinya. Mau Lara sudah bekerja ataupun masih jadi pengangguran, Ibu akan tetap mengomentari gadis itu. Entah kali ini beliau marah karena dua hari Lara main sepanjang liburan atau karena wanita itu badmood saja. Lara mungkin merasa bersalah karena dua hari mengabaikan warung—tetapi Lara salah kalau menginginkan hari libur? Setidaknya Lara cuman ingin bernapas setelah lima hari bekerja full day.

"Eh, Ra. Udah mau berangkat aja. Tumben," tegur Ibu Farhan, menatap Lara dengan heran. "Kamu ke stasiun, kan, ya? Nyamperin Farhan gih. Biar gak jalan kaki ke stasiunnya," ucap wanita itu dengan nada ramah seperti biasanya.

Ibu tampak menyahut dari meja kasir. "Iya, sana. Jalan sama Farhan sekalian. Kali aja cocok."

"Ih, si Teteh. Bisa, bisanya, mikir ke sana," wanita paro baya itu tertawa membuat Lara jadi teringat guyonan tentangg mengenai hubungannya dengan Farhan. Ayah juga pernah bilang kalau Lara belum juga punya cowok untuk menantunya nanti, Farhan bisa jadi pilihan tepat buat gadis itu.

Membayangkannya saja membuat perut Lara tiba-tiba melilit. Gadis itu mual tiba-tiba.

"Umur mereka udah pada mateng. Kalo jodoh, siapa yang tau, kan?" Ibu tampak tersenyum kecil bersama Mama Farhan yang tampaknya suka dengan pemikiran temannya itu.

Sedangkan Lara sebagai obyek guyonan mereka pagi ini, pun berdeham ringan. "Aku berangkat dulu ya, Bu, Tante. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam. Jangan lupa banyak doa, Ra. Biar kerjanya lancar," meskipun tadi pagi wanita itu terdengar menjengkelkan. Ibu akan bertindak selayaknya peri baik hati yang memberikan nasehat penting serta doa yang membuat hari Lara cukup baik saat ini.

Mama Farhan ikut menimpali. "Kamu kalo ketemu Farhan, minta nebeng aja, Ra. Gak usah sungkan sama temen sendiri, lho."

"Iya, Tante," meskipun sejatinya Lara berharap tidak ketemu Farhan sekalian.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang