1.9 Tentang permintaan munafik

8 3 0
                                    

Mungkin orang-orang berpikir bahwa Yugi itu cowok paling tidak tahu diri. Setelah menyakiti perempuan yang sangat dicintainya, dia malah berharap untuk bisa memiliki kembali hubungan yang baru genap 1 bulan itu. Hubungan yang tampak sia-sia berakhir akibat keegoisannya sendiri.

Namun memangnya ada yang salah dengan cinta? Cowok itu tidak peduli dengan ceramah Brian semalaman tadi, habis dia mengirim pesan pada Lara lalu sahabatnya itu datang dengan berbagai macam kata-kata bikin telinga sakit. Yugi menutup telinga, jarinya tetap lancar mengetik pesan untuk perempuan yang mungkin sekarang sudah sampai di kantornya.

Lanang menatap sahabatnya lamat-lamat, lalu kakinya dengan jahil mendorong kaki Yugi sampai membuat tubuh cowok itu oleng sedikit.

"Bangsat!"

"Itu elo kali," cowok itu membalas dengan santai. Duduk di samping cowok itu, merebut ponselnya. "Gue telepon aja kali, ya?"

"Yaudah, silakan."

Kali ini, pria berumur genap 23 tahun kemarin itu pun mendengkus. "Silakan, silakan. Gue jorokin lo ke kali UI. Terus mayatnya gua pastiin ilang, sejauh, jauhnya. Sampai Antartika!"

Yugi tampak pura-pura bergidik. "Aw, takut mamang."

"Anjengg!"

"Astaghfirullah!" Brian sepertinya krisis identitas, masuk ke dalam kamar sahabatnya dengan baju semi formal selayaknya pekerja korporat. "Eh, maksudnya astaga. Aduh gue ngomong apa, sih?" dia duduk sambil meletakkan nampan dengan 3 gelas es jeruk buatan Tante Nana—Ibunya Yugi.

Selain krisis identitas, Brian suka tidak tahu tempat. Lihat saja, ini siapa sebenarnya yang punya rumah?

"Kamu beneran gak kerja, Bri?" Tante Nana masuk ke kamar anaknya sambil membawakan beberapa jajanan pasar yang dia temukan di pasar kaget dekat rumah. "Dimakan, ya. Maaf cuman ada ini. Tante mau langsung jaga toko."

Lanang tersenyum. "Gapapa, Tan. Cukup kok ini, paling saya doang yang makan."

"Enak aja lo!" seloroh Yugi yang langsung menghakmilikkan beberapa kue cubit yang sudah jarang dia beli sendiri. Seingetnya makanan ini dia sering beli waktu masih sekolah dasar. Sekarang umurnya sudah 23 tahun dan urusan kuliah saja masih belum kelar.

Sungguh nasib.

"Makasih, Tante."

"Kalo gitu Tante pergi dulu. Gi, nanti malem Rina mau balik ke Malang. Kamu anterin dia, ya. Bapak kamu lembur, Mama jaga toko, Adik kamu kerja kelompok katanya di kampus sampai malem—"

"Iya, iya, Yugi yang nganggur kok."

"Gak gitu—duh, terserah deh. Assalamualaikum."

Setelah pamitan Ibu dan segala pesannya untuk Yugi terkait kepulangan Rina malam ini, cowok itu kembali pada dua sahabatnya. Matanya melirik Lanang yang sedang mengunyah salah satu kue pukis topping kacang. "Lo aja yang anter ke stasiun, Nang."

"Lo mau mati muda?" Lanang malah mengancam dengan tatapan dingin.

Brian terkekeh. "Dah, ah. Kita di sini kumpul buat omongin ke-bangsatan Yugi ya, inget itu!"

"Gue gak bangsat!" Yugi masih mengelak.

Lanang semakin semangat buat mengatai. "Lo itu emang bukan bangsat, tapi bajingan," ucapnya dengan keras. "Kenapa tiba, tiba, mau deketin lagi? Beneran gamon lo?" tuduhnya dengan mudah tanpa harus berusaha menebak.

Emosi Yugi itu sangat tergambar lewat raut wajahnya. Mulai dari sedih, marah, bahkan saat menyukai seseorang. Namun sayangnya memang cuman Lara yang gak bisa menyadari perasaan tertarik itu saat di masa lalu.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang