2.4 Kita yang pada akhirnya bersinggungan

8 2 0
                                    

Sekeras apapun kita menolak, sesuatu yang memang sudah waktunya datang akan selalu bisa menunjukkan pertahanan yang menakjubkan. Seperti perasaan yang tumbuh layaknya tunas tanaman lalu berkembang menjadi pohon dengan batang dan daun, lalu muncul buah berwarna segar yang siap dimakan. Penggambaran seperti itu yang sedang terjadi di dalam hati Rinai, begitu pula sang kakak, Jaka, yang saling menunjukkan kebisuan saat sarapan pagi itu.

Bukan karena pertikaian orang tua mereka semalam hingga membuat ibu Rinai pergi sampai pagi ini belum pulang juga. Namun karena perasaan dari tunas yang awalnya tidak ingin disadari itu, pada akhirnya tetap tumbuh dengan subur dan bermekaran bersama buah segar dan bunga yang harum.

Kedua kakak beradik itu mengela napas pelan kemudian saling menatap satu sama lain.

"Lo kenapa, Dek?"

"Lah, Abang kenapa?"

Pertanyaan yang sama-sama tidak bisa dijawab, begitulah mereka menilainya. Rinai yang tidak ingin diketahui punya rasa tertarik terhadap Ishak yang menyebalkan, begitupula Jaka yang tidak mau terlibat pada lika liku kisah cinta Lara yang menyesakkan selama ini. Mungkin dia tidak akan jadi salah satunya yang memberikan peran menyesakkan itu, tapi dia tidak bisa menjamin hal itu.

Sebuah janji yang bahkan tidak berani Jaka buat meskipun dia sangat menginginkan rasa sukanya tersampaikan dengan baik pada Lara. Laki-laki itu mengela napas lagi, sedangkan adiknya mengaduk-aduk sup daging sebagai menu sarapan pagi ini.

"Kamu dijemput Ishak?" itu hanya pertanyaan acak yang Jaka temukan pagi ini, tapi reaksi Rinai yang berlebihan membuat laki-laki itu tersentak. "Biasa aja, dong, Nai," dia agak mengejek sambil menyadari semburat kemerahan dari pipi adiknya.

"Apaan, sih. Udah biasa, kok!" Rinai mengomel lagi. Namun kali ini, Jaka tidak berniat untuk mengejeknya karena dia juga belum pantas untuk itu.

Rinai memperhatikan abangnya dari depan sambil kembali menyuapkan sup daging ke mulutnya. "Abang berangkat jam berapa? Ini udah mau jam 7, tumben belum jalan."

Saat itu, Jaka bahkan tidak memperhatikan jam dengan benar karena pikirannya terlalu dipenuhi oleh sosok gadis aneh nan berisik kayak Lara. Gadis itu mungkin sebenarnya tidak berisik seperti apa yang Lara pikirkan, namun Jaka tahu bahwa apa yang dia sebut berisik itu sebenarnya ada pada pikirannya sendiri.

Jaka mengela napas panjang lantas berdiri sambil mengenakan ransel hitamnya yang hanya diisi oleh ipad, dompet, serta charger. "Berangkat, ya. Kamu jangan telat terus!" mengingat sekarang sudah memasuki musim kenaikan kelas, tampaknya Rinai masih menyukai kesehariannya yang bebas itu.

Sebelum Jaka benar-benar meninggalkan ruang makan, dia melihat adik perempuannya lagi. "Lulus nanti, kamu mau kuliah?"

Rinai, yang bahkan tidak pernah berpikir bahwa Jaka mampu memberikannya pertanyaan seperti itu, pun menatap laki-laki yang hampir seperempat abad dengan mata memicing. "Apaan nih maksudnya?"

"Yah, penasaran aja."

"Aku belum tau, lagian masih lama ini."

Saat itu, Jaka yakin matanya melotot dengan wajah berubah seram menurut Rinai. "Satu tahun lagi, loh! Pikirin, ya. Nanti Abang tanya lagi," begitu Jaka pergi,, Rinai mengerang dengan kesal.

"Apaan sih ini orang! Gak jelas," walaupun dia terlihat jengkel mendapatkan ceramah kurang dari 1 menit dari abangnya, Rinai tidak benar-benar marah terhadap laki-laki itu. Entah sejak kapan, mungkin semenjak hubungan Ishak dan kedua Kakak kembarnya menunjukkan keharmonisan, Rinai ikut membuka hatinya untuk mendapatkan perhatiin Jaka. Laki-laki yang paling pertama dia sayangi di dunia ini, sosok abang yang juga berusaha menjadi ayah pengganti terbaik bagi Rinai yang lahir di tengah kesalahan dunia.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang