1.20 Setiap hati saling menolak

6 2 0
                                    

Pagi itu Rinai keluar dari kamar dengan mengenakan kaus putih lusuhnya dan bertemu abangnya, Jaka, yang keluar dalam keadaan sama. Keduanya saling melempar pandangan sebelum laki-laki berumur 24 tahun itu lebih dulu berjalan meninggalkan lorong lantai dua menuju dapur. Matahari sudah naik di pukul 8 pagi dan hari ini adalah hari Sabtu, akhir pekan, waktunya tidur sampai siang harusnya.

"Abang gak ada janji hari ini?" remaja itu bertanya sambil menari kursi di bar meja island yang tampak lengang sekaligus kontras akibat sinar terik matahari pagi.

Jaka menoleh, sambil menunjukkan dua botol selai. "Mau coklat atau kacang?"

Rinai mendengkus. "Apa aja," dia tidak begitu peduli soal selai, dia lebih peduli soal hubungannya dengan Jaka yang selalu canggung meskipun cowok itu tidak memperlihatkannya. Namun Rinai tahu ada yang dibatasi oleh laki-laki ini dari dunia luar mengenai kehidupannya, terutama saat pertemuan remaja itu dengan sosok perempuan yang katanya teman kantor Jaka.

Hanya saja, masa iya cuman teman kantor? Lagipula, Rinai tidak pernah melihat abangnya bisa menunjukkan kepedulian yang begitu tulus serta kecemasan yang tampak kuat dari bola matanya yang penuh misteri, warnanya hitam tapi jelas setiap orang menemukan warna bola mata Jaka lebih abu-abu.

Seperti warna abu-abu yang bisa merujuk ke putih atau hitam, suatu palet warna yang tampak berada di tengah-tengah tone warna yang ada.

Jaka memperhatikan adiknya sambil tersenyum kecil, meletakkan dua buah roti selai kacang yang sudah dipanggang. Teksturnya jadi lebih renyah daripada tekstur roti biasa. Tentu saja, kan habis dipanggang.

"Kamu mau jalan sama Ishak, Rin?" mendapati pertanyaan tidak jelas dari abangnya, Rinai melotot.

"Nggak!"

"Ya, biasa aja dong, Rinai. Kok galak?" Jaka tertawa sebelum menghirup kopi hitam yang dia buat pagi ini. Matanya menatap sekeliling dapur yang lengang dan hanya ada bibi Asi yang melewatinya untuk membuang sampah yang penuh di dalam kabinet sebelum menggantinya dengan plastik sampah baru. "Sepi, ya," gumam laki-laki itu.

Rinai memperhatikannya, sebelum berdecak. "Marah dong, Bang. Kenapa santai banget, sih? Sekarang gak cuman ibu aku yang ada di sini, gak cuman ibu abang yang akhirnya pergi, ada lagi satu—"

"Jalan, yuk, abis ini," Jaka tersenyum, mengacak rambut adiknya yang sudah berantakan sejak bangun tidur. Menghabiskan roti panggang dengan selai kacangnya sebelum keluar dari dapur dan bertemu dengan sosok wanita paro baya dengan tampilan berantakan.

"Pagi, Tante."

Itu adalah ibu dari Rinai yang tampak kacau, melewati Jaka begitu saja sebelum menangkap Rinai yang sedang menyuci piring bekas dirinya sarapan pagi ini.

"Kita pergi sekarang, Rinai! Gak ada yang bisa dilakuin lagi di sini!"

Rinai terlonjak, sedangkan Jaka memperhatikan kedua orang itu dengan tatapan tidak terbaca sebelum berlalu. Tapi jelas, Rinai mendapati ucapan kedua kali dari Kakaknya sebelum menghilang dari tangga.

"Jangan lupa, ya, Nai. Abis ini kita jalan. Kamu hubungin Ishak, gih."

Dia tidak bisa membaca tingkah dari abangnya satu ini. Sama sekali tidak mengerti apa yang paling Jaka inginkan dalam kehidupannya yang kacau ini.

***

Kegiatan liburan Farhan itu sangat monoton kalau kata teman kantornya. Cowok itu hanya menghabiskan waktu dengan mobile legend sambil memperhatikan Ira, adiknya, yang sedang menonton serial drama Korea di televisi ruang keluarga. Setiap akhir pekan, mereka memang suka menghabiskan waktu di ruang keluarga, tapi dalam kesibukan masing-masing.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang