2.7 It's called fall with you (?)

7 2 0
                                    

Kedua manusia yang masih berlarut pada satu pertanyaan dan jawaban menggantung. Lara membiarkan bagaimana bibir Jaka menyecap dan lidah cowok itu yang menari di dalam mulutnya. Bagaimana dia menjawabnya, semuanya terlalu abu-abu. Dia tidak bisa menerimanya, tapi dia juga tidak bisa menolaknya. Seakan perasaan yang bersarang itu lebih terlihat seperti 'sama dengan' alih-alih jawaban.

Cowok itu menjauh lagi, tapi kali ini raut wajahnya lebih serius. Dia memberikan kecupan singkat di dahinya saat dia berbicara yang terdengar lugas dan jelas. "Ra, lo percaya gak kalau gue suka sama lo?"

Saat itu, Lara terlalu mengabaikan ungkapan itu, dia tertawa geli. "Lo bercanda, kan?" Lara menjauh, merapikan rambutnya lantas duduk di atas pasir yang terlalu bikin tidak nyaman. Harusnya nyaman seperti malam kemarin, tapi dia merasa canggung. Ucapan cowok itu terlalu tiba-tiba dan Lara panik buat menerimanya. "Hmm, bentar lagi magrib ternyata," dia berbica lagi, terus menghindari Jaka yang masih berdiri di sampingnya.

Terdengar helaan napas pelan, suara Jaka mengisinya lagi. "When I say I love you, there's nothing we can do, right?" dia berkata seakan perasaan dia hanyalah kiasan, salah satu dari keisengan yang biasa dia buat di antara mereka saja. "I kissed you. It's not the same with 'no feeling' we can talk about!" laki-laki itu seperti melampiaskan sesuatu, terdengar rasa bersalah saat dia berbicara lagi. "Gue gak bisa bawa lo ke sebuah kebebasan, Ra. Hidup gue tanpa aturan dan gue ngajak lo untuk itu, we just close to have sex after sunkiss, right?"

Lara diam, dia tahu bahwa keputusasaan dan ketakutannya untuk mencari perasaan yang mungkin lebih jelas dan nyata baginya secara teratur mulai menjauh. Dia mungkin menyadari perubahan di antara mereka, perasaan yang terbentuk itu, tapi dia lagi-lagi menolaknya. Menciptakan tingginya dinding yang menyiratkan bahwa dia tidak membutuhkan hubungan dengan perasaan yang hanya bisa mendatangkan sebuah rasa sakit.

Dia tidak bisa melakukan itu, bahkan jika itu bersama Jaka malam ini.

"Gue kayaknya harus pergi, deh," Lara berdiri dan membawa kedua sepatunya saat tangannya ditangkap oleh laki-laki berambut acak-acakan dan wajah penuh harapan. Wajah yang menyadari harapan dengan jawaban patah hati seperti yang dia bicarakan tadi pagi. "Jak, I've to think with my feeling right now. Kita bisa bicarain lagi besok, atau lusa, pokoknya gak sekarang."

"Lo takut."

"NO!" Lara berteriak dan saat itu, dia merasakan kemarahan. "Lo yang mikir bahwa kita bisa berakhir dengan one night stand, as you guess, right?" gadis itu melihat bagaimana cowok di depannya mengatupkan bibir, wajahnya menunjukkan merah yang lebih kepada tersinggung alih-alih malu.

"It's our feeling, okay?"

"I don't think, my feeling same as you, Jak!"

"So, what should we do right now?"

Desakan pertanyaan yang hanya akan membuat Lara kebingungan itu, didapatkan jawaban penuh gelengan kuat. "Just leave me alone. Setidaknya sampai gue bisa jawab apa yang lo katakana sore ini," perempuan itu berniat meninggalkan Jaka di bibir pantai indah kapuk, di tengah keramaian yang tidak memperdulikan dua insan saling tertaut tapi tidak menemukan waktu yang pas.

"Ra."

"Please, Jak," Lara memohon lagi, bola matanya yang bulat itu meminta pemahaman alih-alih sebuah jawaban yang bisa menjadi bagian patah hati Jaka. Dia yang berbicara bahwa harapan adalah sebuah bentuk patah hati tidak berkesudahan dan sore ini, ketika dia menyadari tingkah mereka yang semakin melewati batas dan itu adalah kebebasan di dunia Jaka, dan tidak pernah ada di dunia Lara yang lurus dan tampak lebih baik. Jaka tidak ingin membiarkan perempuan itu terluka lebih parah dari apa yang pernah dia rasakan.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang