Sepertinya sudah hampir seminggu semenjak pertemuan terakhir sekaligus perdamaian antara Lara dan egonya terhadap eksistensi Yugi yang mulai hari itu, jadi tidak asing lagi bagi si perempuan berambut melewati bahu ini. Matahari pukul setengah 6 sore tampak mulai menuruni tikar biru, bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi yang kokoh dan berkilauan akibat sinarnya yang masih terik.
Langkah kakaknya mulai pelan, membuat sosok laki-laki yang berjalan bersamanya mengikuti perlahan dan mereka berhenti di tengah JPO Sudirman yang mulai dikelilingi lampu warna-warni. Langit juga mulai dipenuhi semburat oranye sebelum keunguan dan akhirnya gelap.
"Kenapa lo?"
Gadis itu tersenyum kecil. "Tiba, tiba, kepikiran roti O stasiun."
"Anjir," umpat Jaka spontan, lantas tertawa ringan. "Aneh banget, dah. Cewek emang gitu, ya?"
Lara mendelik. "Lo beneran gak ahli soal cewek, ya, Jak."
"Ya, emang," cowok itu berlalu meninggalkan Lara yang cemberut, berusaha mengejar langkah kaki Jaka yang terlihat pelan tapi perpindahan jaraknya cukup lebar. "Cowok punya telapak tangan lebar, terus kalo cewek telapak tangannya kecil. Itu salah satu cirinya, lho, Jak," kata gadis itu itu, mulai pembicaraan random mereka menuju stasiun Sudirman yang masih beberapa langkah lagi dari JPO.
Jaka meliriknya dengan jahil. "Masa? Gak juga, ah. Ada tuh, cewek yang telapak tangannya lebar."
"Tapi, kan, gak semua."
"Tapi lo bilang itu cirinya, kan? Jadi secara gak langsung, lo bilang semua 'cewek'."
Lara kali ini kehabisan kata-kata, melotot. "Sialan. Sebel banget, ih," dia menggerutu, mempercepat langkahnya. Sedangkan Jaka mengikuti sambil tertawa geli.
"Elah, gitu aja marah. Cemen, ih."
Gadis itu mendengkus. "Bacot."
"Lo tuh galak, tau, Ra," ucap cowok itu, kini merangkul gadis di sampingnya dengan sangat ringan. "Beneran mau roti O dulu? Udah mau magrib, sekalian solat aja di stasiun."
Lara meliriknya sekilas. "Lo inget solat, Jak?"
Mendapati pertanyaan yang sifatnya cukup telak bagi cowok itu, Jaka jadi meringis sebelum berdecak. "Fine, satu sama."
Sedangkan Lara tertawa sangat lebar, melepaskan diri dari rangkulan cowok di sampingnya.
Langit Jakarta tampaknya menyukai percakapan dua insan itu, mengisi menit-menit sebelum pukul 6 sore dengan langit yang ceria. Perpaduan warna jingga dan keunguan membuat fraksi warna yang cemerlang dan segar. Membuat beberapa orang berhenti demi mengamadikan momen terbaik ibukota yang sedang tersenyum sore itu.
Lara menjadi salah satunya, memotret dua sampai tiga kali langit Jakarta dari berbagai posisi berbeda. Lantas memposting salah satunya sambil menunjukkan lokasi saat ini. Jaka sendiri memperhatikan kegiatan gadis di sampingnya sambil menyesap brown sugar kopi O sambil menarik senyum tipis.
"Udah, yuk."
"Langsung pulang?"
Gadis itu meliriknya. "Lo sendiri? Ini hari Jum'at lho, Jak. Lumayan besok libur," ucap perempuan itu, sepertinya masih ingin menikmati waktu baiknya hari ini. Lara tidak berbohong mengenai suasana hatinya yang semanis senja Jakarta pukul 5 lebih 52 menit itu.
Jaka mendapati sinar jingga yang sama seperti sore ini di bola mata Lara yang kecil itu. Menggerakan tangannya tanpa sadar, menarik sejumput rambut yang terbawa angin sore sambil meletakkannya dengan lembut di belakang telinga Lara yang cuman terdapat anting emas putih kecil yang kalau tidak dilihat lebih jelas, tampak seperti telinga tanpa anting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larahati di Jakarta
ChickLitPart of Brothership Universe. Lara dikenal sebagai cewek jomlo selama 22 tahun karena gadis itu punya prinsip bahwa hidup sendirian itu lebih menyenangkan daripada hidup berdua bersama lawan jenis. Meskipun Mama sudah memperingati Lara untuk segera...