Pagi itu rumah di rumah Lara, Jaka merasa lebih dingin daripada biasanya. Mungkin karena saat ini AC menyala atau itu karena ayah perempuan itu yang duduk di ruangan yang sama dengannya, bersama kopi hitam yang sedang dicecap dengan khidmat, sekaligus tangan lain yang memegang tab, menampilkan halaman berita pagi itu. Seperti umumnya bapak-bapak yang tidak pernah ketinggalan berita, apalagi sekarang baca berita tidak perlu lagi membolak-balik halaman dari kertas tipis keabu-abuan yang lebar.
Teknologi digital yang membawa kemudahan tapi juga memotong kehidupan dari penjual koran yang tidak memiliki keahlian lain. Lagipula, memang dari setiap perkembangan teknologi, selalu ada banyak orang yang harus dikorbankan bukan?
"Mau jalan ke mana hari ini?" meskipun pria paro baya itu terlihat lebih akrab di matanya, tetap ada nada yang dibatasi dan terdengar datar tanpa minat sama sekali.
Jaka harus memberi banyak kesabaran karena bagaimanapun, pria paro baya ini adalah bagian dari kehidupan gadis kesayangannya.
Cowok itu tersenyum. "Pameran seni, Om."
"Kamu suka seni?"
Mendengar pertanyaan itu, Jaka menjawab dengan tenang dan berharap jurusannya ini tidak mendapatkan respon yang sama seperti dari ayahnya sendiri. "Kebetulan, saya emang lulusan seni ITB, Om."
Kali ini, pria itu mendongak dari layar tabnya, meskipun bola matanya yang tanpa minat itu masih menetap di sana. "Sekarang kerja sebagai videographer?"
Jaka mengangguk. "Di sana, saya emang ambil minat ini. Editorial graphic video, Om."
"Oh, ambisius juga, ya, kamu."
Mungkin itu adalah salah satu langkah awal untuk Jaka lebih diterima oleh pria paro baya di hadapannya. Akan tetapi, memangnya apa yang akan Jaka lakukan ketika diterima? Apakah saat itu Jaka akan menikah dengan Lara? Membangun sebuah rumah tangga dengan dua anak sebagai bagian dari keluarga yang ideal?
Rasanya itu terlalu jauh, sangat jauh, mengabur, sebelum hilang dari pikirannya. Pernikahan dan hidup berkeluarga adalah bagian dari ketakutannya hingga kini.
"Kamu bakal nikah sama anak saya?"
Biasanya Jaka akan dengan mudah bilang tidak, dia tidak pernah berbohong jika itu menyangkut pernikahan dan minatnya ke jenjang tersebut. Akan tetapi, untuk yang satu ini, Jaka tidak sanggup buat berkata jujur. Dia tiba-tiba benci ditolak oleh pria paro baya ini, dia benar-benar ingin dianggap sebagai keluarga dari Lara.
Dia bisa membayangkan pernikahan mereka kelak, kehidupan rumah tangga yang bahagia, bersama kedua anak mereka yang cantik dan tampan.
"Iya, Om."
Saat itu bertepatan dengan kedatangan Lara yang sudah rapi. Perempuan itu menatap Jaka dengan tatapan senang dan penuh harap, sebelum berpamitan dengan ayahnya. Begitu di mobil, Lara dengan cepat meledek kekasihnya itu yang sudah semerah kepiting rebus.
"So, you wanna marry me, Jak?"
Jaka tersenyum simpul. "Why not?"
"Do you, really, really, need it?" Lara masih mendesaknya dan saat itu, Lara tiba-tiba berhenti berpikir sambil menyadari prinsipnya. Menikah di umur 27 tahun dengan gaji yang sudah stabil, karir bagus, sehingga keuangan tentu saja terjamin.
Jaka menatapnya dengan penasaran. "Jadi sekarang udah ngebet dinikahin, nih?" goda cowok itu dan Lara langsung mendengkus.
"GAK GITU!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Larahati di Jakarta
ChickLitPart of Brothership Universe. Lara dikenal sebagai cewek jomlo selama 22 tahun karena gadis itu punya prinsip bahwa hidup sendirian itu lebih menyenangkan daripada hidup berdua bersama lawan jenis. Meskipun Mama sudah memperingati Lara untuk segera...