2.2 Kita mungkin hanya teman biasa

6 2 0
                                    

"Lo gak pengen bakso, Jak?" Lara bertanya saat mereka baru saja keluar dari kafetaria setelah menyelesaikan makan siang. Masih ada sekitar setengah jam lagi sebelum kembali bekerja. Sebuah keberuntungan karena waktu Lara terasa lebih kosong karena dia sedang berhalangan.

Jaka melirik perempuan yang sekarang mengajaknya buat berhenti sebentar di tengah lobi yang dikelilingi oleh hiruk pikuk kesibukan karyawan disaat jam makan siang. "Lo beneran laper atau stress?"

"Stress kali, ya?"

"Kopi aja deh."

Perempuan itu menggeleng kuat. "Mau bakso, Jakk! Lo tuh gak pernah tau mood cewek, ya? Jangan gitu loh, Jaka. Meskipun lo atau gue gak ada niat buat nikah dalam waktu dekat, setidaknya mulai belajar memahami pasangan di masa depan nanti gak salah, kok," dia berujar panjang lebar dengan sedikit menunjukkan pembelaannya sebagai perempuan yang sedang mengalami mood swing.

Pekerjaan semakin menumpuk, ditambah halangan yang cukup dadakan pagi tadi, membuat Lara jadi lebih sensitif. Jaka sudah terbiasa dengan keanehan perempuan ini karena kebutuhannya buat mengembalikan mood bukan makanan manis, melainkan makanan pedas dan kadang cukup berat seperti bakso yang sekarang jadi keinginannya.

"Bakso bakar aja, gimana? Perut begah kali, Ra, kalo langsung bakso kuah biasa mamang-mamang," cowok itu memberikan pendapat lain yang masih tidak jauh dari bakso yang diinginkan Lara.

Sedangkan perempuan di sampingnya tampak berpikir sebelum mengangguk cepat. "Tapi, beli dimana anjir bakso bakar?"

Jaka menarik gadis itu dengan santai untuk keluar dari gedung kantor seraya menjawab. "Kalo gak salah deket stasiun ada, deh. Yah, lo berdua aja semoga dia buka jam segini."

Lara melirik cowok di sampingnya tidak begitu yakin. "Iya, apa? Ini masih siang banget, Jak. Gak yakin gue," gadis itu terdengar ragu diikuti langkahnya yang semakin berat buat menaiki JPO menuju stasiun.

Namun Jaka punya pendirian kuat untuk itu, dia tidak mau mengisi perutnya dengan bakso kuah yang tampaknya memang enak dimakan siang-siang seperti ini. Tapi tidak bisa karena mereka sudah memutuskan makan di kantin siang ini daripada beli makan di luar. Keinginan Lara di tengah PMS-nya cukup mendadak sudah seperti wanita hamil yang ngidam bakso di tengah malam. Tidak diturutin tidak enak, diturutin juga cari dimana coba itu bakso? Gimana kalau penjualnya malah tidak kasat mata?

"Cewek tuh selalu gini, ya, Ra?" cowok itu mengajak Lara mengobrol ringan di tengah keraguan gadis di sampingnya dengan keinginan bakso yang masih kuat.

Lara meliriknya. "Lo tuh udah kesekian kali nanya kayak gini, setiap ngadepin PMS gue. Iya, Jak, jadi cewek itu ribet."

"Meskipun cuman PMS, tapi bisa ngidam gini, apa?"

Kali ini, Lara melirik Jaka dengan sangsi. "Bukan ngidam anjir! Ini tuh, kayak apa, ya? Pelepas mood yang naik turun, nyari moodbooster gitu loh, istilahnya. Gimana sih nyebutnya, gue juga gak begitu paham," perempuan itu berhenti sebentar untuk memperhatikan setiap anak tangga turun agar tidak terjatuh di tengah obrolan serius mereka ini. "Kita tuh cewek, setiap PMS entah kenapa bisa punya keinginan sendiri. Keinginan itu semacam buat ngalihin rasa gak nyaman dari yang lagi kita alamin gitu loh, Jak. Paham gak?"

Meskipun tidak seratus persen paham, Jaka cukup mengerti perasaan itu. Sesuatu yang tidak nyaman, mungkin yang dimaksud Lara seperti darah haid yang keluar di tengah aktivitas. Apalagi saat pekerjaan numpuk tapi mengalami sesuatu yang terus menerus keluar diikuti keram perut. Pasti sangat tidak nyaman.

Cowok itu, entah bagaimana menarik Lara semakin mendekati padanya selagi mereka menyusuri trotoar menuju stasiun. "Lo cuman butuh bakso?"

Lara meliriknya bingung. "Kenapa emang?"

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang