Udara pagi yang segar untuk memulai hari sebagai pekerja korporat di salah satu Startup pusat Ibukota Jakarta. Gadis itu mengeringkan rambut yang masih basah sehabis keramas di depan cermin. Suara hair dryer yang lembut membawa satu persatu rambut bersama uap-uap panasnya membelai helaian tiap rambut untuk jadi lebih kering dan jatuh dengan mudah ke bahu. Gadis itu, Denara Lara Pratiwi, siap memulai hari dengan pekerjaan monoton yang kerap membuatnya bosan.
Orang bilang nasib Lara cukup beruntung. Bekerja di perusahaan start up ternama yang sepertinya akan memulai laba menjadi salah satu unicorn hebat Indonesia, sekaligus mempunyai pasangan yang tampak serasi dan mapan. Di umurnya yang telah menginjak 25 tahun, masa depan apa lagi yang Lara cari?
Tidak ada. Baik, itulah jawaban yang tidak menyenangkan dan hampir sering Lara temui sepanjang harinya.
Setelah mengancingkan kemeja, mengenakan vest dengan kombinasi warna biru putih, Lara keluar dari kamarnya. Suasana rumah di pagi hari Senin selalu penuh kesibukan. Warung yang harus dibuka, ayah yang mencari dasi untuk bekerja di tahun terakhirnya sebelum pensiun tahun depan, serta mama yang harus menjaga warung beserta melayani sang suami sebelum pergi bekerja—dan tentu saja, merawat si bungsu yang umur 25 tahun masih seperti bocah SMA.
"Ma, liat kaos kaki aku nggak? Kok di laci udah pada abis, ya.." gumam Lara sambil duduk di meja makan dan mengambil sepotong ubi goreng yang dibuat ibunya pagi-pagi.
Mama menoleh meskipun tangannya selesai menuang air panas. "Mama simpen di laci paling bawah lemari, kok. Kamu nggak liat?"
"Kok laci paling bawah? Kan biasanya di atas!"
"Mama sengaja. Lagian laci paling bawah itu lebih luas dan kaos kaki kamu banyak. Jadi lebih rapi juga, kan?"
Meskipun protes, terkadang apa yang dipilih ibunya tidak benar-benar buruk. Entah mengapa perempuan yang sudah menjadi ibu memiliki peran yang sangat penting untuk sebuah rumah tangga. Setiap keputusannya seakan menjadi penentu apakah rumah itu akan terasa nyaman dan rapi.
Sambil menghabiskan ubi goreng keduanya, Lara melirik ibunya lagi. "Aku abis ini berangkat, ya?"
"Ketemuan sama cowok kamu lagi? Kok, si Jaka nggak pernah jemput ke rumah sih?"
Meskipun itu bukan sebuah keluhan. Tetap saja Lara tahu bagaimana keinginan ibunya pengin melihat sang bungsu dijemput cowok setiap hari. Sejak awal hubungan mereka, Lara dan Jaka memang memutuskan untuk tetap menggunakan transportasi umum. Makanya Jaka tidak bisa untuk tiba-tiba menggunakan kendaraan pribadi demi menjemput sang kekasih. Ritme kerjanya jadi berbeda dan Lara pikir itu merepotkan.
"Jangan mulai deh."
"Kan, Mama cuman bilang gitu doang," sambil tersenyum, perempuan itu mengusap bahu gadis bungsunya sebelum berlalu. Meninggalkan Denara Lara Pratiwi yang tiba-tiba kehilangan nafsu makannya pagi ini.
Dia tidak tahu apakah hari ini akan bertemu Jaka di peron Manggarai seperti biasanya atau tidak sama sekali.
***
Sudah 1 minggu berlalu setelah percakapan terakhir mereka dan pengakuan tidak terduga Jaka mengenai keluarganya sendiri. Lara tidak pernah benar-benar memahami cowok itu, bahkan sedikitpun dia tidak peduli tentang kehidupan keluarga yang Jaka rasakan selama 25 tahun terakhir. Gadis itu hanya tahu bahwa dia menyukai sang laki-laki, sebagaimana perasaan Jaka terhadap Lara. Namun Jaka malah mempertanyakannya; 'apakah itu saja sudah cukup?'. Dari satu pertanyaan itu saja Lara tahu bahwa ada yang salah dalam hubungan mereka.
Gadis itu menuruni setiap undakan tangga stasiun Manggarai yang membawanya pada peron 3 yang lengang, sebelum dalam beberapa detik langsung dipadati penumpang turun dari kereta Cikarang melalui Kampung Bandan. Gadis itu bisa melihat orang berlalu lalang, tapi dimana jelasnya Jaka? Lara ingin tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larahati di Jakarta
ChickLitPart of Brothership Universe. Lara dikenal sebagai cewek jomlo selama 22 tahun karena gadis itu punya prinsip bahwa hidup sendirian itu lebih menyenangkan daripada hidup berdua bersama lawan jenis. Meskipun Mama sudah memperingati Lara untuk segera...