2.6 Pertanyaan dan segudang perasaan

2 2 0
                                    

Kereta yang masih sama seperti yang Lara ingat sepanjang hidupnya di Jakarta. Kegiatan monoton yang masih berlanjut, Lara bertanya sampai kapan namun jelas yang menjawab hanya dirinya sendiri. Perempuan itu berdiri di bawah tangga sambil menunggu Jaka yang mengabari sudah sampai di mesin tap kartu sebelum berjalan melintasi rel kosong dan memasuki area sibuk Manggarai yang pusatnya ada di rel 6 hingga 12 lantai 3.

Perempuan itu mengela napas kecil, mengatur jam tangannya, sebelum menatap dirinya sendiri melalui layar ponsel yang gelap. "Kenapa, deh?" dia bertanya sendiri seakan mendapati keanehan tingkahnya menunggu kehadiran Jaka, habis sudah kemampuan Lara yang selalu bisa melebur di dalam keramaian. Perempuan itu tampak seperti manusia populer yang akan ditertawakan, meskipun dia tidak mengetahui alasannya bisa bertingkah gelisah kayak cacing kepanasan ini.

Dia melirik lagi. "Mana, sih?" rasanya Lara tidak sabar bertemu Jaka, berbicara banyak hal setelah liburan mereka dua hari silam. Tapi kenapa dia harus begitu? Lara terdiam dan berdecak sebal.

"Ra," begitulah suara yang setenang usapan angin malam, memecah pikiran Lara dan perdebatannya itu. Perempuan tersebut menoleh dan tersenyum kecil.

"Lo beneran betah di rumah, ya? Telat banget. Tadi kereta yang biasa kita naik baru aja lewat," ucap gadis itu seraya masuk ke dalam kereta kosong yang baru berhenti di rel 6, jadwal berangkatnya masih 15 menit lagi. Untuk urusan ini, Lara tidak mau pindah kereta karena sudah begitu nyaman mendapati kursi empuk dan kereta kosong—walaupun pada akhirnya, 10 menit kemudian langsung padat begitu saja.

Jaka melirik Lara dengan senyum penuh kemenangan. "Mana yang katanya kosong? Ra, lo jangan sampai terlena lihat kereta sepi, deh. Senin mana kenal kereta kosong?"

Lara mendengkus. "Ya, namanya juga sebuah harapan. Gak ada yang salah dari harapan, kan?"

"Kadang harapan cuman bikin patah hati," Jaka menjawab lagi, dia menatap temannya dengan senyum yang bahkan ingin Lara balas dengan sepasang sepatu kalau bisa. "Lo kan pernah berharap sama cowok, Ra."

"Sialan lo," meskipun mengumpat, dia tidak bisa mengelak. Karena dulu dia pernah menempati harapan penuh kebahagiaan pada sosok Yugi SMA, kemudian dihancurkan dalam satu kali malam yang indah. Perempuan itu berbicara lagi. "Tapi, kalau lagi kesulitan, pegangan kita bisa jadi harapan, kan? Kayak waktu kuliah, sibuk skripsian, dan yang jadi bagian semangat kita adalah semangat orangtua. Emang lo gak pernah dapetin harapan seberharga itu, Jak?"

Setiap kalimat Lara tidak terdengar salah kalau dipikir, namun balasan dingin Jaka saat ini membuat perempuan dengan rambut sudah melewati bahu itu bergeming.

"Harapan bagi gue cuman bisa bikin patah hati. It's deal, okay?"

Ada banyak pikiran yang terus mengisinya selagi memahami Jaka yang terlihat tidak tersentuh. Perempuan itu hanya membiarkan Jaka dan tatapan yang tidak terbaca itu, sebelum beralih pada obrolan lain yang dimulai oleh cowok ini. Lara tidak pernah mendapati apa yang sebenarnya Jaka pikirkan. Mengenal cowok itu selama setengah tahun, tidak bisa menjadi alasan bahwa Lara sudah mengenal Jaka dengan baik.

Masih ada satu titik yang tidak bisa dia menekan enter. Seperti sebuah sistem mouse dalam laptop atau computer, yang bisa dia lakukan selama mengenal Jaka adalah menekan pause dan menggantinya ke bagian lain untuk bisa saling memahami dan menyatukan.

Menyatukan apa? Lara sama sekali tidak tahu.

***

Saat itu yang Jaka pikirkan hanyalah pengalamannya, trauma buruknya terhadap harapan yang pernah terjadi 10 tahun silam. Tidak, mungkin lebih daripada itu. Hari yang tidak pernah laki-laki itu lupakan saat mendapati hubungan kedua orangtuanya yang tidak pernah sama lagi. Ayah yang pulang pergi dari rumah, Ibu yang semakin tidak waras, lalu seorang adik perempuan muncul bersama wanita asing selepas Ibu dilarikan ke rumah sakit untuk seminggu kemudian meninggal.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang