Taman yang mereka datangi cukup ramai saat Rinai turun dari honda civic abangnya bersama Ishak yang mengekor sambil membawa minuman gadis itu. Sedangkan di belakang mereka, Jaka mengela napas panjang sambil memasang wajah murung seraya membayangkan ada Lara di sampingnya saat ini. Harusnya dia mengajak gadis itu saja sekalian, akan tetapi Jaka tidak ingin Lara mengetahui alasan lainnya, bahkan di taman ini juga mereka akan bertemu ibu Rinai. Membuat kesepakatan kalau gadis itu akan tetap tinggal di rumah Jaka hingga lulus SMA.
Wanita paro baya itu duduk di salah satu kursi taman dengan wajah ditekuk, membuat Jaka membayangkan sosok gadis kecil yang dulu merajuk sewaktu mereka pergi ke taman yang berbeda 10 tahun lalu, karena ibunya bahkan terlihat cuek saja meskipun gadis kecil itu menangis keras hanya untuk sebuah balon seharga 10 ribu.
Rinai duduk di samping ibunya, Ishak dan Jaka berdiri di sekitar mereka dengan jarak lebih jauh.
"Kamu gak sayang Mama, ya, Nai?" pertanyaan itu meluncur dengan mudah saat Rinai baru duduk. Perempuan itu bahkan tidak berusaha menanyakan kabar anaknya, tentang sekolahnya, nilainya saat ini, apapun. Obrolan-obrolan paling umum yang biasa ditanyakan oleh orangtua dan Rinai ... tidak pernah mendapatkan itu.
Mungkin harusnya gadis berusia genap 16 tahun itu bersyukur karena dia tidak pernah dapat omelan meskipun nilainya merah semua. Namun di satu sisi anak-anaknya, dia menginginkan teguran orangtua terkait nilai, ucapan selamat karena berhasil menang lomba, apapun itu.
Rinai hanya menginginkan itu dari segala impian yang tidak pernah terwujud dari ibunya untuk gadis tersebut.
Jaka memperhatikan adiknya yang tersenyum geli, mendengar jawabannya yang lantang. "Sayang, kok," kemudian dia mengadah, mengela napas dengan susah payah sambil menahan deras air matanya yang mungkin turun begitu saja jika dia lupa bahwa di sini ada ibunya, abangnya, sekaligus kekasihnya.
Rinai bukan gadis cengeng!
"Mama sayang sama Rinai?"
Perempuan itu tersentak, harusnya Jaka menemukan jawaban paling spontan dari seorang orangtua, yang biasa dilakukan mereka jika ditanya apakah mereka menyayangi anak mereka. Namun keraguan tampak jelas dari wanita paro baya itu sebelum menjawab pertanyaan adiknya.
"... sayang, lah, Nai .."
"Mama cuman kesal karena dengan adanya aku aja, gak bisa pertahanin Papa, kan?" desakan itu membawa secarik kemarahan dari wanita paro baya di sampingnya, tapi setelahnya tidak ada amukan.
Hanya ada kepalan tangan yang ditahan. "Maaf, karena Mama manfaatin kamu banget, ya?"
"Bukan cuman itu, kok," balasan Rinai membawa kembali luka lamanya yang telah lama sembuh. Kehidupannya yang terus berantakan, tingkah laku seenaknya terhadap abang yang selalu ada buat gadis itu, bahkan kepada setiap temannya di sekolah. Semua orang, tidak terkecuali Ishak dan ketiga sahabatnya yang telah menjadi sahabat Rinai juga. "Tapi, yah, kalau Mama gak gitu. Aku gak bakal tahu kalau Bang Jaka bisa seberharga itu buat aku, Ma," ucapan gadis itu memberikan kehangatan untuk Rezaka yang tidak pernah berpikir bahwa dia memiliki sisi itu.
Sisi abang sekaligus orangtua untuk gadis yang lahir dari sebuah kesalahan. Tidak ada yang namanya kesalahan, seorang anak selalu disebut sebagai hadiah dari Tuhan. Akan tetapi, kenapa banyak juga manusia yang menolak kehadiran hadiah itu? Bahkan menyesal hingga memanfaatkannya untuk sebuah hadiah besar lain, yang bersifat sementara.
Ibunya membuang muka dengan wajah penuh penyesalan, meskipun dia tahu bahwa dia bahkan tidak pantas merasakan penyesalan itu. Jelas-jelas dia bahkan tidak pantas mendapatkan Rinai untuk hidup bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larahati di Jakarta
Chick-LitPart of Brothership Universe. Lara dikenal sebagai cewek jomlo selama 22 tahun karena gadis itu punya prinsip bahwa hidup sendirian itu lebih menyenangkan daripada hidup berdua bersama lawan jenis. Meskipun Mama sudah memperingati Lara untuk segera...