2.12 Situasi yang disebut siaga 1 pacaran

4 2 0
                                    

Selama pacaran, mereka jarang melakukan kencan yang bisa disebut beneran kencan. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi karena bertemu hampir setiap hari, membuat keduanya jarang memikirkan punya waktu berduaan di hari sengang seperti Sabtu dan Minggu yang umum dikenal sebagai waktu yang tepat buat nge-date.

Jaka melirik ke dalam kamar Rinai yang sedikit terbuka, membuatnya buru-buru mengintip dan menemukan adiknya yang tengah mengerjakan sesuatu di meja belajar. Sepertinya perempuan itu sedang menggambar yang membuat Jaka tergerak untuk melihat gambarnya. Jaka baru tahu, bahkan benar-benar tidak bisa menebak bahwa ternyata Rinai memiliki bakat satu ini.

"Hei!"

Rinai menoleh cepat hingga tangannya meleng, mendapati garis hitam lurus menghancurkan bangunan gedung yang sedang dia arsir menggunakan pensil gambarnya yang sudah semakin pendek, terlalu sering digunakan dan Rinai bisa menghabiskan setidaknya dua pensil untuk gambar selama kegiatannya itu.

Ini jenis gambar dengan hanya memadukan permainan arir tapi mampu menciptakan situasi gambar yang jelas. Kehidupan yang tampak penuh tanda tanya dari seorang gadis remaja yang usianya belum genap 16 tahun itu, membuat Jaka seperti baru saja disentil.

"Gak main?" dia tidak langsung bertanya mengenai kegiatan adiknya itu karena Rinai sepertinya punya niat mau menyembunyikannya.

Masih tersisa raut wajah masam gadis itu saat Jaka pertama kali memanggilnya pagi ini. "Ishak lagi ada acara keluarga."

"Oh, beneran jadi sama Ishak, ya?"

"Ihh! Sok tau lu, Bang!"

Jaka tertawa kecil. "Gak apa, apa, sih, Dek. Kayak sama siapa aja, sih?" balas laki-laki itu, kemudian bicara lagi. "Minat banget di gambar, Nai?"

Pertanyaan retoriknya itu dibalas dengan gerakan bahu naik turun. "Gak tau."

"Ya, gak apa, apa, kali Nai. Emang seni itu menenangkan, ya, kan?" cowok itu mengusap puncak kepala Rinai lalu bicara lagi. "Gue juga suka banget seni, kuliah di DKV, tapi berakhir jadi video editor. Masih ada bagian animasinya, sih, tapi ini kurang banget bagi gue," ucap Jaka membuat Rinai meliriknya penuh ingin tahu.

"Gimana Abang bisa kuliah DKV? Padahal disuruhnya masuk bisnis, ya, kan?"

Jaka meliriknya. "Ancam aja pake bawa nyoka, Nai. Papa bakal setuju, deh."

"Serius, ih!"

Jaka tersenyum dan mengusap puncak kepala gadis itu lagi. "Nai, gak ada salahnya kerja sesuai passion. Tapi, kalua itu bisa buat lo jauh dari apa yang lo punya sekarang. Mending cari yang lain, deh."

"Emangnya Bang Jaka berhasil jauhin apa dari hidup Abang?"

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Jaka jadi ingat lagi soal ibunya di Bandung dan bagaimana dirinya tidak bisa membawa Ibu lagi di pusat rehabilitasi Jakarta agar bisa dekat dengannya karena keegoisannya dan mimpinya sebagai videographer untuk sebuah acara televisi.

"Apa yang bakal kamu dapatkan dari pekerjaan gak jelas gini, Reza!"

Dia ingat sekali bagaimana teriakan ayahnya saat Jaka menunjukkan form daftar ulang dari salah satu fakultas di ITB beberapa tahun silam. Dia berhasil lolos FRSD, dari jurusan IPA dan tidak mengambil snmptn untuk pilihan Kedokteran yang dipilih atas dasar keinginan ayahnya agar Jaka punya pekerjaan yang jelas dan stabil.

"Kamu yang semangat, oke?" Jaka berkata lagi, menepuk puncak kepala Rinai sebelum meninggalkan kamar anak remaja itu yang menyisakan pertanyaan lain tanpa jawaban dari abangnya.

***

Lara saat itu sedang menunggu Jaka ke rumahnya sambil menjaga minimarket karena ibu lagi ada keperluan di rumah Pak RT, sedangkan ayahnya bergabung dengan kegiatan kerja bakti di masjid. Gadis itu bermain ponsel sambil melirik ke depan minimarket, berharap menemukan kehadiran Jaka yang katanya ingin melihat pameran discovery mengenai Indonesia dan kebudayaannya di salah satu gedung kesenian. Model pameran seni sinematografi yang cukup menarik tentunya akan disukai Lara meskipun gadis itu hanya sebatas tahu tentang seni sastra atau tanam-tanam ubi.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang