Menjadi bahagia adalah salah satu tujuan yang selalu hinggap di pikiran Lara setiap harinya. Bukan karena dia merasa selalu sedih, tapi dia memiliki banyak sekali pikiran dan anggapan tentang terlalu banyak bahagia pasti akan ada kesakitan setelahnya. Bukankah pikiran seperti itu memang selalu ada bagi kebanyakan orang?
Gadis itu menanti kapan rasa sakit itu datang, tapi di lain sisi, dia berharap tidak pernah merasakan perasaan sakit tentang apapun. Dia tidak mau menjadi penuh kesedihan. Dia mulai bosan menangis dan rasanya, dia tidak akan percaya bahwa bahagia akan selalu diisi dengan kebahagiaan. Akan tetapi, memangnya harus begitu, kan?
Kebahagiaan yang akan selalu diisi dengan bahagia, tidak ada kesedihan, tidak ada rasa sakit, harusnya selalu begitu.
Namun mengapa Lara mulai meragukannya? Perasaannya dan hatinya terus meragukan itu.
Meragukan dirinya, hubungannya bersama Jaka.
Gadis itu mengela napas panjang sambil menatap cowok yang berdiri tepat di depannya, di tengah kepadatan peron 6 dan 7 stasiun Manggarai hari Senin. Dia tersenyum tipis, tangannya bergerak masuk ke dalam saku blazer yang saat ini dikenakannya, cukup rapi untuk ukuran cowok yang lebih sering mengenakan outer kemeja atau hanya kaus dengan lengan melewati siku untuk menutupi sebagian tatonya.
"Kenapa?" cowok itu berbisik, menarik gadis itu merapat kepadanya selagi mereka sudah mulai bergabung di dalam kereta tujuan Kampung Bandan yang berhenti di peron 7.
Lara tersenyum. "Iseng aja."
"You such a lying people, Ra," ucap Jaka, mungkin dia bahkan bisa membaca pikiran Lara hanya dari bagaimana sikapnya seperti biasa. Mengenal Lara hampir 1 tahun dan sudah menjadi kekasihnya dalam waktu mendekati 6 bulan, tentu saja Jaka sangat tau sifat Lara. Baik dari segi sikap hingga fisiknya, seluruh bagian dari gadis itu rasanya sudah melekat dalam kehidupan Jaka.
Lara mengela napas pendek, menahan senyumnya dan berbisik. "So, what do you think about my mind?"
"Me?"
"Yeah, exactly. Jaka, sekarang jawab aku," gadis itu bicara lagi dan kali ini bola mata keduanya bertemu, suara Lara sangat pelan dan hampir terdengar parau ketika dia bertanya. "Ada yang mau kamu ceritain ke aku?"
Bola mata itu mengerjap, bergerak cukup gelisah lantas dia menjawab, dengan sama paraunya. "Apa lagi yang harus aku ceritain, Ra?"
Kereta mereka berhenti di stasiun Sudirman, dimana keduanya mengikuti arus penumpang turun tapi tidak ikut beranjak untuk meninggalkan peron stasiun. Lara masih menatap Jaka penuh harapan, tapi rasanya gadis itu hanya menemukan kotak kosong.
"Oke."
"Ra?"
Gadis itu melirik cowok yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya, tersenyum tipis. "Keburu telat, Jak. Ayo ke kantor," dia selalu bisa bersikap seolah tidak ada yang mengganjal pikirannya. Namun Jaka memahami itu, dia bisa melihat gadisnya mulai mencari tahu banyak hal yang mengganggu pikirannya, dan semua tentang Jaka.
***
Mungkin sudah hampir setengah tahun Jaka tidak pergi minum dan menikmati malam panjang bersama bau alkohol dan musik menyentak khas bar malam di daerah Kemang. Cowok itu masuk untuk bertemu teman-temannya, entah Jaka bisa menyebut mereka teman, karena Rezaka sudah lama tidak berjumpa dengan mereka semenjak menjadi kekasih Lara. Rasanya seakan ada garis yang harus Jaka buat untuk menyingkirkan kebiasaan buruknya dan minum merupakan bagian dari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larahati di Jakarta
ChickLitPart of Brothership Universe. Lara dikenal sebagai cewek jomlo selama 22 tahun karena gadis itu punya prinsip bahwa hidup sendirian itu lebih menyenangkan daripada hidup berdua bersama lawan jenis. Meskipun Mama sudah memperingati Lara untuk segera...