2.20 Kita mulai merasakan jarak

11 1 0
                                    

Tujuh bulan berlalu dan hubungan keduanya seakan terlihat berjalan di tempat. Mereka masih bertukar pendapat selayaknya dua orang dewasa yang memandang dunia begitu terbuka hingga kita bisa memahaminya. Kita bisa tahu bahwa dewasa sama dengan masa terburuk setelah remaja, dalam fase masalah lebih berat dan hanya bisa dipahami bagi orang-orang dewasa saja.

"Gue makin paham kenapa kita selalu nemuin kalimat 'bilang mau resign, tapi gak jadi juga'. Karena pada akhirnya yang bikin kita bekerja bukan karena itu hal yang paling kita sukain, tapi karena kita butuh uang. Semua akan berakhir dengan uang," racau Lara sore itu selagi mereka menikmati senja di bibir pantai Ancol yang saat itu cukup ramai, menyisakan kegembiraan juga kegetiran yang larut dan menyatu di antara keduanya.

Jaka tersenyum. "Uang dan tuntutan dunia, bahwa setelah sekolah kita harus bekerja. Kemudian menikah, mempunyai anak, menjadi seorang kakek nenek, lalu meninggal. Tuntutan yang harusnya menjadi hal yang tidak menuntut. Bener, kan?"

"Selalu bener!" Lara terkekeh dan tangannya merasakan genggaman yang semakin erat dari cowok itu. Mendapati langit sore pukul 6 mulai berubah warna menjadi jingga dengan ungu-ungu pudar yang merayap dan akan semakin jelas beberapa menit lagi. Keduanya saling melempar tatapan sebelum tersenyum tipis.

"Tapi lo tahu gak sih hal paling menyakitkan sebagai orang dewasa itu apa, Ra?" bisik Jaka selagi mendekati wajahnya, menyatukan dahi mereka, merasakan napas gadis itu yang semakin kuat dan cepat.

Lara menaikan alisnya, mencari jawaban dari bola mata cowok itu yang selalu tidak memiliki tebakan tepat untuk dia jadikan jawaban. "Apa?"

"Percaya."

"Kenapa bisa gitu?" Lara kali ini makin antusias, merasakan sapuan bibir Jaka yang selalu pas menyentuh bibirnya, kemudian cowok itu menjauh lagi.

"Karena lebih banyak orang yang akan meninggalkan kita saat dewasa tanpa memperdulikan kepercayaan yang pernah tercipta. Kayak, percaya semacam gagasan kuno yang lebih pantas disebut mitos. Gak ada banyak orang yang bisa kita percaya untuk itu."

Kali ini, Lara seperti mendapatkan kepantasan untuk bisa menyetir kalimat laki-laki di sampingnya. "Itu bukannya karena kita yang terlalu nutup diri, ya? Percaya itu kan emang hak semua orang. Kalau nyatanya gak sesuai dengan kepercayaan, yaudah, gak, sih?"

"Lo bahkan gak percaya sama hati lo sebelum nerima gue, Ra," cowok itu mengejeknya, membawa kembali luka lama Lara dan pikiran penuhnya tentang perasaan Lara yang seakan mengaduk-aduknya saat itu.

Lara sedikit malu, tapi dia menunjukkan kepercayaan dirinya. Dia harus bisa menarik cowok itu dan membuka gerbang tersebut—bukan gerbang, mungkin yang menghalangi dirinya saat ini untuk bersama Jaka adalah tembok besar dan kokoh.

"Dan ini juga alasan lo belum bisa kasih tau sesuatu ke gue, kan, Jak?" dia bertanya dengan nada setengah menuntut, membawa acara kencan mereka sedikit pengap dan kegetiran itu semakin terasa. Menenggelamkan keduanya dalam rasa sakit yang tidak berkesudahan.

"Ra."

"Udahlah, Jak. Emang lo gak bisa percaya sama gue, kan? Parahan lo, dong," sahut Lara, kali ini lebih terdengar sinis dan saat itu Jaka mendapati dirinya seperti di dorong ke dalam jurang.

Jurang kemarahan.

"Oke kalo itu yang lo tangkep dari gue, Ra," cowok itu berdiri tapi tidak beranjak meninggalkan Lara. Dia hanya mengela napas dengan kasar sambil melepaskan emosinya yang bisa menyakiti gadis itu. Jaka tidak boleh marah, Jaka tidak boleh melampiaskan kekesalannya yang kenyataannya bahkan bukan karena Lara.

Larahati di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang