16. rumah, tangga?

17.6K 800 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



***




Pagi kembali tiba, matahari telah muncul ke permukaan bumi. Zara selaku istri sudah mondar mandir bebersih kamar serta mengumpulkan pakaian kotor yang hendak di cuci.

Saat memasuki area dapur, ternyata di sana sudah ramai, bukan hanya ada Ummi, Bulik dan mbak Ayu.

Tapi ada 3 santri lainya yang tengah rewong-rewong. Ketiga santri yang mendapat giliran membatu ndalem itu tampak asik berceloteh sembari mengupas bawang, ada juga yang memotong wortel.

"Nduk, Mas-mu kemana?"

Melihat sang menantu yang tengah membawa se-kerajang pakaian kotor membuat fokus Ummi Tika teralihkan.

"Ada di dalem, Mi. Lagi ada sedikit kerjaan," jawab Zara seraya tersenyum kecil.

Ia permisi pergi ke tempat cucian untuk mencuci pakaian yang sudah menggunung itu, padahal baru dua hari tapi sudah sekeranjang. Gimana kalo seminggu?

"Astaghfirullah, kalian lanjutkan saja nggeh, Umi permisi sebentar."

"Nggeh, Mbak." Bulik Widia menjawab.

Tujuan Umi sekarang adalah kamar sang anak pertama nya, rasanya Ummi sudah gatal ingin menjewer anak lelaki pertamanya itu.

Bagaimana mungkin dia membebankan sang istri dengan mencuci pakaian sendirian, suami macam apa dia?

Tok tok tok.

Tanpa menunggu jawaban dari pemilik kamar nya, Ummi segera membuka pintu dan menutup nya lagi dengan sedikit kencang.

Di sisi lain Aiden terkejut karena dia pikir yang mengetuk pintu adalah Zara, istrinya.

"Ummi, ada apa?" tanya Aiden mendekati Umi.

Begitu sampai di depan sang Umi, "akhh!" Ringisan itu tak tertahan lagi ketika Ummi Tika menjewer telinga nya hingga memerah.

"Um, Ummi kenapa sih, sakit telinga Iden, Mi .... " Dia meringis, sembari berusaha melepaskan jeweran maut dari sang Ummi tercinta.

"Ummi kenapa, Ummi kenapa! Kamu tuh yah! Ihhh!" Kesal Umi sembari semakin keras menjewer.

Aiden berteriak tertahan saat merasakan telinga nya semakin memanas, mungkin beberapa detik kemudian bisa saja terlepas.

"Um, mending Ummi jelasin dulu ada apa, supaya Iden paham," dan akhirnya jeweran itu pun terlepas.

Wanita yang sudah memasuki lansia awak itu, menatap nyalang ke arah Aiden. Yang di tatap pun kebingungan karena tidak merasa punya masalah.

"Kamu tuh! Bisa-bisa nya nyuruh anak perempuan Ummi nyuci baju segunung, sedangkan kamu malah asik-asikan duduk gini! Di mana rasa simpati kamu Mas? Kamu ngga kasihan lihat menantu Umi?"

"Dia rela jauh dari orang tua nya, dan saat udah jauh kamu malah biarin dia ngelakuin pekerjaan rumah sendiri? Kamu nggak kasihan, Hah?"

Aiden menunduk, dia sadar sih, tapi dia pikir mungkin Zara tak keberatan soal nya dia juga sedang sibuk-sibuknya mengurus pekerjaan.

"Kamu melupakan fakta bahwa pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, mencuci, memasak. Itu bukan kerjaan istri kamu, harus nya di lakuin bareng-bareng. Kamu lupa?"

"Maaf Ummi," sesal lelaki itu, menunduk dalam.

Dia tau betul bahwa itu adalah urusan rumah tangga, yang artinya apa-apa harus di lakukan bersama. Bukan sepihak.

Umi menatap anak lelaki nya kembali seperti semula, meskipun sedikit marah tapi Ummi tak sampai membentak.

Beliau mengatakan dengan tegas namun suaranya tak akan terjangkau hingga luar kamar yang tertutup.

"Sekarang kamu susul istri kamu, Mas. Kamu tinggalin dulu pekerjaan kamu itu. Urus dulu pekerjaan rumah tangga kalian, Ummi mohon, jangan buat Zara ngerasa ngga nyaman di sini, Ummi sayang sama anak perempuan Umi."

Setelah mengatakan kalimat terakhir nya, Umi melenggang pergi di ikuti Aiden.

Lelaki itu menurut, tanpa membereskan terlebih dahulu pekerjaan nya. Dia menghampiri Zara di tempat cuci pakaian.

"Maaf." Ujar nya pada sang istri.

Tangan nya mencekal pergelangan Zara yang tengah memasukan beberapa pakaian terakhir pada mesin cuci.

"Hah?" Beo Zara.

"Ngga papa, sini Mas bantu."

"Loh, bukan nya tadi Mas bilang mau beresin kerjaan dulu, yah? Kok jadi aneh gini?" Tanya perempuan itu bingung.

"Nanti aja deh, Mas pengen berduaan dulu sama istri Mas yang cantik ini"

"Hi-ilih!"


***


Selepas shalat isya, Zara mengintil suaminya mengajar di kelas Ulya dua. Tentu nya atas dasar permintaan Aiden.

Aiden takut istrinya akan kesepian jika di ndalem terus, lagian di rumah sedang tidak ada mbak Ayu, karena sehabis isya biasanya para mbak-mbak pengurus ada yang mengajar.

Di tengah perjalanan menuju kelas, Aiden dan Zara berpapasan dengan Ustadz Yusuf dan Ustadz Molana.

"Assalamualaikum, Gus, Ning." salam mereka berdua.

Zara dan Aiden pun menjawab. "Wa'alaikumsalam, Tadz."

"Ning Zara mengajar juga toh, Gus, atau hanya menemani?" Tanya Ustadz Yusuf ramah, tersenyum hingga lesung pipit nya terlihat.

"Menemani, tok, Tadz."

"Owalah," jawab kedua ustadz itu serentak.

"Mau bareng tidak Gus, Ning, saya sama ustadz Molana juga kebetulan mau ngajar di kelas Ulya," tawar ustadz Yusuf.

Zara hanya menunduk karena dia tak berani menatap kedua ustadz itu, takut di pelototi suaminya.


Diem-diem Aiden tuh suka posesif padahal selama sebulan di sini Zara belum pernah keliatan mengobrol santai dengan lawan jenis.

Kecuali Aiden sendiri tentunya.

Ternyata benar apa kata Fatma, Aiden itu galak. Yaa meskipun galaknya tidak pada Zara, tapi jika melihat suaminya yang sedang dalam mode singa itu membuat Zara ikut merinding.



***

Publish: 8 Agustus 2023 Revisi: 16 februari 2024

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Publish: 8 Agustus 2023
Revisi: 16 februari 2024

ZARAIDEN [ Tutug ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang