1. Kabar Buruk

40.4K 1K 7
                                    


Seharusnya, hari ini masih menjadi hari libur yang menenangkan bagi para mahasiswa. Namun, tidak bagi Jingga Asmaranita. Tepat pukul 7 pagi gadis dengan tinggi tubuh 159 cm dan bersurai pendek seleher itu sudah tampak rapi. Ia kemudian menggeret koper besarnya keluar kosan yang sejak semester 1 sudah jadi saksi bisu segala keluh kesah dan senang-sedihnya menjadi mahasiswa jurusan Akuntansi.

"Jadi beneran? Kamu berangkat hari ini, Nak?"

Mirna, Ibu kos paling baik yang pernah Jingga kenal. Wanita yang sebagian rambutnya sudah memutih itu terlihat sedih kala harus melepas Jingga pergi ke negeri orang.

"Ibu jangan sedih. Doain supaya kegiatan Jingga berjalan lancar di sana," tutur Jingga dengan suara sehalus sutera.

Tak lupa gadis mungil itu menampilkan senyum manis dan menawannya. Senyum yang lantas mampu menghapus percik sendu di mata Mirna.

Mirna merengkuh tubuh mungil Jingga. Menghantarkan rasa nyaman yang sungguh berhasil mendatangkan keinginan untuk Jingga membatalkan niatnya pergi ke Inggris. Namun, cepat-cepat Jingga menepis keinginan itu. Mengingat betapa sulit halang rintang yang harus ia lalui demi lolos program pertukaran pelajar ke negara itu.

"Pasti. Ibu pasti akan mendoakan kamu," kata Mirna, lalu mengurai pelukannya.

Diusapnya pipi tembam Jingga dengan lembut.

"Kamu hati-hati di sana. London itu bukan Jakarta. Pergaulan dan lingkungannya pasti jauh lebih bebas." Mirna memberikan wanti-wanti pada Jingga layaknya pada anak sendiri.

"Iya, Bu. Jingga pasti hati-hati. Ibu juga hati-hati di sini. Jaga kesehatan."

Mirna mengangguk sebelum akhirnya mengantar Jingga menuju taksi yang sudah menunggu di depan gerbang kosan.

Sebelum memasuki taksi, sekali lagi Jingga memeluk Mirna. Sekedar ingin kembali merasakan nyaman dan hangat pelukan wanita itu agar ia bisa pergi dengan perasaan yang jauh lebih tertata.

Pukul 07.15 taksi mulai melaju meninggalkan daerah kosan Jingga.
Sepanjang jalan menuju bandara yang Jingga lihat hanya banyaknya kendaraan yang melaju pun memenuhi seluruh sisi jalan. Padahal hari masih cukup pagi. Jakarta memang kota yang sibuk.

Tak ingin pusing karena melihat banyaknya kendaraan, akhirnya Jingga memilih membuka ponsel. Dicarinya satu nama yang kerap sekali ia hubungi setelah sang ayah tentunya.

Diiringi senyum lembut, Jingga mengetikkan rangkaian kata pada sang tante, Santi.

Jingga:
Tante, Jingga berangkat. Titip ayah, ya.
Tolong jaga ayah selama Jingga di Inggris.

Tak lama, pesan balasan dari Santi pun muncul.

Tante Santi:
Pasti, sayang. Kamu juga jaga diri, ya, di sana.

Lengkung di bibir Jingga kian terlihat kala membaca pesan dari wanita yang sudah seperti ibunya sendiri itu. Kondisi Santi yang tidak memiliki anak membuat kasih sayang wanita itu benar-benar terlimpah untuk Jingga yang harus kehilangan sosok ibu saat usianya baru menginjak 10 tahun.

Tak ingin merasa sedih dan berat meninggalkan tante dan sang ayah, akhirnya Jingga memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya. Ia memilih mengusir rasa sedihnya dengan menikmati pemandangan jalan raya ibukota di pagi hari. Walau yang ia temui hanya puluhan kendaraan yang berpotensi membuat kepalanya pusing.

***

Setelah memakan waktu perjalanan selama 40 menit, akhirnya Jingga tiba di bandara. Sekitar 30 menit lagi pesawatnya akan berangkat menuju London, Inggris.

Kini gadis itu tengah duduk di kursi tunggu. Di tangannya tergenggam satu cup kopi yang sengaja ia minum untuk memudarkan kantuk dan pusing yang menyerang. Semalam Jingga memang tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan keberangkatannya pagi ini.

Sesungguhnya, Jingga masih tak percaya kalau akhirnya dia berhasil lolos program pertukaran mahasiswa.
Universitas Mahatma tempat Jingga kuliah memiliki kebijakan bahwa mahasiswa yang berhasil lolos seleksi pertukaran mahasiswa internasional akan dibebaskan dari kewajiban KKN dan magang. Selain itu, kampus juga memberikan uang saku sebagai bentuk apresiasi mengingat program ini memiliki kualifikasi yang cukup sulit. Dari yang Jingga tahu, sampai hari ini hanya 2 mahasiswa Mahatma yang berhasil lolos. Dan, jika semuanya berjalan lancar, maka Jingga akan jadi yang ketiga.

Jingga menarik napas pelan, kemudian meneguk kopinya sedikit guna menenangkan debar jantungnya yang kian menjadi seiring waktu keberangkatan yang semakin dekat.

Gadis itu lantas berdiri. Kakinya yang dibalut sepatu ankle boots sudah hendak melangkah meninggalkan kursi tunggu sebelum akhirnya terhenti oleh dering ponsel dalam saku mantel cokelatnya.

Terpaksa Jingga kembali mendudukkan diri, lalu memeriksa benda pipih itu. Ada panggilan masuk dari Santi. Cepat-cepat Jingga mengangkat panggilan dari wanita usia awal 40-an itu.

Dalam hati, Jingga bertanya-tanya mengapa tantenya menelepon saat ia sudah akan masuk pesawat. Ingin mengucapkan salam perpisahan? Ingin memberikan wejangan seputar tata krama hidup di negeri orang? Jingga ingat semalam ia sudah kenyang mendengarkan semua itu.

"Jingga?"

Segala tanya yang menjejali benak Jingga seketika sirna tatkala suara Santi yang sarat akan panik dan cemas menyeruak ke dalam gendang telinganya.

"Kenapa, Tante?" tanya Jingga mulai waswas.

Perasaannya sungguh tak enak. Seolah memberi tanda bahwa ada hal buruk yang sedang terjadi.

"Jingga …." Suara Santi terdengar bergetar, membuat Jingga semakin cemas.

Jantungnya berdetak kencang. Diikuti keringat dingin yang mulai muncul.

Jingga tidak menyukai ini. Jingga tidak suka ketika firasat buruknya sudah mengambil peran dan biasanya selalu jadi kenyataan.

"Ada apa, Tante? Bilang sama Jingga," pinta Jingga.

"Pulang, nak. Hiks … hiks … pulang … ayahmu sakit. Kondisinya kritis."

Kata-kata Santi bagai petir yang menyambar kepala Jingga. Sontak Jingga berdiri hingga tak sengaja menjatuhkan cup kopinya.

Tak ia pedulikan puluhan pasang mata yang menatap aneh padanya. Sekarang yang ada dalam pikiran Jingga hanya sebatas tanya tentang kondisi sang ayah di Bandung sana. Apa yang terjadi pada ayahnya? Bukankah dia baik-baik saja? Bukankah semalam masih sempat bercanda ria dengannya lewat panggilan video? Lantas, kenapa sekarang justru kabar mengerikan itu yang harus Jingga dengar?

"Mak-maksud Tante apa? Ayah sakit apa?" serbu Jingga terlampau cemas.

Mata bulat gadis itu, kini menatap papan pengumuman yang  menampilkan waktu keberangkatan pesawatnya. Perasaannya pun semakin kacau.

"Pulang, sayang. Tante mohon …," lirih Santi.

Hati Jingga bagai disayat benda tajam ketika Santi tak menjawab pertanyaannya dan malah memohon agar dirinya pulang. Selama ini tak pernah sekalipun Santi memohon hingga seperti ini padanya. Jadi, jika Santi sudah seperti ini berarti keadaan memang tidak baik-baik saja.

Berbagai pikiran negatif pun menyerang rongga kepala Jingga. Bagaimana jika ayahnya tidak selamat? Apa yang akan terjadi jika ayahnya pergi? Apa Jingga masih sanggup melanjutkan hidup?
Nggak! Ayah nggak boleh ninggalin Jingga sendirian! Teriak Jingga dalam hati.

"Tante … Jingga pulang sekarang," putus Jingga.

Dengan ini, Jingga harus merelakan kesempatannya pergi ke Inggris dan melihat dunia luar. Jingga harus mengubur mimpinya demi sang ayah yang sedang berjuang melawan kritis.

Kesempatan ini memang sangat berarti bagi Jingga. Tetapi, ayahnya jauh lebih penting. Semua ini tak akan berarti jika sang tak ada lagi.

Tak mempedulikan kopernya yang masih tertinggal, Jingga langsung berlari keluar bandara.

Ayah, jangan tinggalin Jingga! Jingga belum siap hidup tanpa ayah. Jingga belum siap ditinggalkan lagi! Raung Jingga dalam hatinya.





***

Happy new year, guys!

Selamat tahun baru.
Tahun baru cerita baru. Hehehe.



After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang