40. Sekelumit Rumit

6.2K 394 12
                                    


Waktu selalu menjadi hal yang paling terasa cepat berlalu. Setidaknya begitulah pikir Jingga. Hari ini, saat ia berhasil menyelesaikan ujian akhir semester 5 segera diingatnya apa saja yang telah terjadi selama kurun waktu 4 bulan ini. Ternyata hal paling nyata dan tak pernah Jingga sangka adalah pernikahannya dengan Arsen.

Empat bulan telah ia lalui bersama Arsen. Hidup di bawah atap yang sama dan menjalani rutinitas sehari-hari sembari terus mencoba mengenal dan memahami lelaki itu.

"Berhenti di depan aja, Pak," pinta Jingga.

Sopir taksi usia 40-an tahun itupun mengangguk. "Baik, Mbak."

Tak lama, taksi pun berhenti tak jauh dari gedung apartemen yang Jingga tinggali. Segera gadis itu keluar setelah mengangsurkan sejumlah uang pada Bapak sopir.

Kedua kakinya yang dibalut sneakers putih mulai mengayunkan langkah, memasuki gedung apartemen. Beberapa kali Jingga juga bertegur sapa dengan penghuni apartemen yang ia temui di lobi.

Keheningan lekas menyapa saat Jingga menaiki lift. Kini, netranya memandang lekat bayangannya melalui dinding lift yang dilapisi kaca. Senyumnya sedikit mengintip saat teringat pada momen lucu sekaligus menyebalkan ketika bersama Arsen. Tepatnya saat ia disangka adik Arsen oleh salah satu penghuni apartemen ini.

"Sekarang masih kelihatan gitu nggak, ya?" tanya Jingga seraya menoleh ke kanan-kiri.

Sekarang rambut gadis itu sudah mulai panjang. Bahkan, panjangnya beberapa senti di bawah bahu. Dengan rambutnya yang panjang, Jingga berpikir seharusnya tak ada lagi orang yang akan mengira dirinya adalah adik Arsen.

Lift akhirnya terbuka dan Jingga bergegas keluar. Ia menyusuri koridor yang selalu sepi, tetapi terasa nyaman.

Ketika tiba di depan pintu apartemen, ia disambut oleh keberadaan kardus ukuran cukup besar. Di bagian atas kardus ada tulisan yang menyebutkan kalau paket itu untuk Jingga. Namun, tidak Jingga temukan nama pengirimnya. Seketika pikiran Jingga melanglang buana. Ia kembali teringat paket teror yang pernah ia terima sekitar 2 bulan yang lalu.

Kesunyian koridor yang semula terasa nyaman, kini berubah mencekam. Rasa takut pun mulai merayapi Jingga. Bulu kuduknya bahkan sudah berdiri semua. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak. Berteriak? Itu opsi paling konyol bagi Jingga karena hanya akan menimbulkan keributan tanpa adanya solusi. Menghubungi Arsen? Tidak mungkin. Sebab, sekarang lelaki itu sedang melakukan studi banding dengan salah satu kampus di Jakarta. Memang masih dalam satu kota, tapi Jingga tetap tahu diri. Tak mungkin dia mengganggu kesibukan Arsen cuma karena paket yang belum pasti berisi teror ancaman seperti dulu.

"Gimana, ya?" bingung Jingga seraya menggigit bibir bawahnya.

Menarik napas panjang, akhirnya Jingga meraih kardus itu dan membawanya masuk.

Gadis yang memakai kaos pendek berwarna pink dan celana jeans boyfriend itu terduduk di sofa ruang tamu. Sementara kardus tadi berada di atas meja.

Tak menunggu lama, langsung saja Jingga meraih gunting di bawah meja dan mulai membuka kardus yang dibalut selotip di beberapa sudut itu.

"Selamat memasuki bulan ke-4 pernikahanmu, Jingga Asmaranita." Jingga membaca dengan seksama tulisan dalam kertas A4 yang berada dalam kardus.

Kemudian, ia menyingkirkan kertas itu untuk melihat benda apa yang ada di bawahnya.

Jantung Jingga serasa bagai dipukul palu godam. Sementara wajahnya pucat pasi. Ketegangan terpancar amat jelas melalui netra yang selalu berhasil memikat Arsen itu.

"Ini ... ke-kebaya ibu ...," lirih Jingga seraya meraih kebaya itu.

Kebaya yang ada di tangan Jingga benar-benar sama dengan kebaya milik ibunya. Kebaya itu seharusnya berwarna putih bersih. Persis seperti saat ia memakainya kala melangsungkan akad dengan Arsen 4 bulan lalu. Namun, kini yang Jingga lihat sangat berbeda. Kebaya itu dalam kondisi sobek sana-sini dan dihias noda cipratan darah.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang